Ancaman Kebebasan Berekspresi Makin Nyata: Pasal Penghinaan Masuk Revisi KUHP
Kalangan masyarakat sipil merasa gerah dengan proses revisi KUHP yang menghidupkan kembali pasal-pasal yang mengancam kebebasan berekspresi. Hal ini dinilai tidak sejalan cita-cita reformasi, di mana pemerintah wajib melindungi kebebasan sipil, bukan malah membatasi.
Deputi Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar mengatakan, tanpa kebebasan berekspresi tidak ada demokrasi dan reformasi 1998. Saat ini Indonesia tengah memasuki periode transisi demokrasi, dimana publik dihadapkan pada pilihan mempertahankan reformasi 1998 atau kembali ke rezim otoritarian.
“Bukan Orde Baru yang bangkit lagi, tapi Orde Baru masih hidup dalam tatanan politik, buktinya banyak pembatasan kebebasan berekspresi yang terjadi belakangan ini, mulai dari pelarangan buku, pembubaran diskusi dan nonton film,” ujarnya di Jakarta.
Wahyudi menuturkan, seharusnya revisi KUHP dapat mengintegrasikan semangat reformasi dan penegakan HAM sesuai kondisi kekinian. Namun dalam materi rancangan KUHP yang terbaru, kata dia, nuansa pembatasan lebih kuat dari perlindungan terhadap kebebasan berekspresi.
“Sejak meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik pada 2005, pemerintah Indonesia diwajibkan agar seminimal mungkin ikut campur dalam hak-hak sipil dan politik warga negara,” katanya.
Dia melihat, dalam pasal-pasal revisi KUHP hampir semua tindakan yang berkenaan dengan kebebasan berekspresi dapat dipidanakan dengan alasan keamanan negara. Revisi KUHP juga masih diramaikan dengan delik larangan penyebaran marxisme, leninisme, maoisme dan lainnya.
“Dalam situasi politik internasional saat ini, marxisme bukan lagi ancaman aktual. Seharusnya hal-hal yang dianggap sebagai ancaman politik harus disesuaikan dengan kondisi saat ini,” paparnya.
Pihaknya juga mengeluhkan dihidupkannya kembali pasal penghinaan presiden dalam revisi KUHP. Padahal dulu pasal tersebut sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) karena tidak sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini.
“Pidana terhadap privasi pun belum merefleksikan kondisi saat ini. Aturan penyadapan hanya masih soal surat dan telepon, sementara saat ini ada internet di mana pengaturan penyadapannya perlu diatur dengan seksama dalam KUHP,” kata Wahyudi.
Ketua Badan Pengurus Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahju mengatakan, pihaknya mempertanyakan kembalinya pasal penghinaan terhadap presiden di revisi KUHP. Dia menegaskan, KUHP yang merupakan warisan penjajah Belanda kurang relevan dengan kondisi kekinian.
“Di Belanda ada kepala negara yaitu raja atau ratu, dan kepala pemerintahan yakni perdana menteri, memang mengkritik raja/ratu itu tidak boleh, tapi mengkritik perdana menteri itu biasa saja,” katanya.
Dia bilang, dalam negara demokrasi kritik dan kecaman terhadap pemerintah merupakan hal yang lumrah. Misalnya di Jakarta, banyak orang yang mengkritik gubernur lantaran kesal karena kebijakan penggusuran semena-mena. Selain itu kritik jangan sampai disamakan dengan penghinaan dan pencemaran nama baik.
“Dalam frase penghinaan itu ada yang namanya penistaan, fitnah, dan persangkaan palsu, tapi di revisi KUHP ancaman hukumannya malah dinaikkan tanpa dijelaskan apa alasannya,” sebut Anggara.
Pihaknya mengusulkan, jika penegakan hukum atas suatu tindakan tidak jelas manfaatnya, maka tindakan tersebut tidak boleh dikriminalisasi. “Apakah karena tidak ada pasal penghinaan terhadap presiden lantas kondisi negara memburuk?” imbuhnya.
Komisioner Komnas HAM, Roichatul Aswidah mengaku heran atas pencantuman kembali delik penghinaan presiden dalam revisi KUHP. Padahal delik tersebut pada 2006 lalu telah dibatalkan MK.
“Indonesia sebagai negara pihak dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, harus mempedomani ketentuan Pasal 19 Kovenan tersebut apabila kebebasan berpendapat hendak dibatasi,” katanya.