Antara “De Jure” dan “De Facto”
Fakultas Teologi Wedabhakti Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Sabtu (31/10), menyelenggarakan diskusi terbatas pidana hukuman mati. Pembicara Nyoman Serikat Putra Jaya, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro; Marcus Priyo Gunarto, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada; Albertina Ho, Ketua Pengadilan Negeri Bekasi; Eddy OS Hiariej dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada; dan G Sri Nurhartanto, Rektor Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Dimoderatori Endro Susilo dari Fakultas Hukum Universitas Atma jaya Yogyakarta, pengantar mereka ditanggapi sejumlah penang-gap. Berikut ini catatannya.
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana tetap mencantumkan pidana mati sebagai pidana pokok yang bersifat khusus dan diancamkan secara alternatif. Dalam penerapannya, hakim perlu mempertimbangkan faktor kepentingan korban, masyarakat, dan negara.
Penerapan pidana dan pelaksanaan hukuman mati bertahun-tahun jadi wacana pro dan kontra. Pelaksanaan hukuman mati selama tahun 2014 dan 2015 dalam berbagai kasus membangkitkan kembali wacana pro dan kontra, dalam ranah hukum yurisprudensi dan sosial maupun ranah etika, filsafat, dan teologi. Di kalangan yang pro ataupun yang kontra tidak ditemukan pendapat yang seragam, pun dalam ranah ilmu filsafat dan teologi yang bahwa hukuman mati bertentangan dengan hak asasi. Apalagi apa yang sesuai dan baik belum tentu tepat dikenakan dalam hukum.
Pencantuman Pasal 66 itu merupakan upaya membangun jalan tengah, semacam kompromi di antara kedua front yang berseberangan. Pidana mati masih dicantumkan, tetapi pengaturannya dibuat sangat ketat RUU KUHP menyebut pidana mati sebagai pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Rancangan revisi itu juga mengatur masa percobaan bagi terpidana mati yang membuka kemungkinan pidana mati diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara 20 tahun. Penerapan pidana mati berdasar RUU KUHP bersifat selektif, hati-hati, dan berorientasi pada perlindungan individu. Pengaturan pidana mati dalam RUU merupakan jalan tengah menjembatani perbedaan pendapat antara pihak yang pro dan kontra terhadap hukuman mati.
Empat pola
Pernyataan jalan tengah atau kompromi disetujui hampir semua peserta diskusi meskipun diselingi pendapat sebagai solusi pragmatis, sarat kepentingan politis, dan tidak mencerminkankarakter hukum. Pembicara yang juga praktisi hukum sebagai hakim pun setuju ancaman pidana mati tetap perlu dicantumkan dalam KUHP sebagai tindakan preventif melindungi masyarakat. Namun, apabila ke depan nilai-nilai masyarakat tak lagi menyetujui pidana mati, hakim bisa saja tak menjatuhkan hukuman mati meski hal itu dimungkinkan KUHP. Dalam memutus perkara, hakim harus menggali nilai-nilai dalam masyarakat Jadi, bisa dimungkinkan secara de jure pidana mati tercantum dalam KUHP, tetapi secara de facto tidak ada hakim yang menjatuhkan hukuman mati.
Dalam era kecenderungan semakin banyaknya negara menghapus pidana mati, ada empat pola penerapan pidana mati di dunia. Pertama, menghapus ancaman pidana mati dari aturan perundang-undangan. Kedua, mempertahankan pidana mati . untuk kejahatan-kejahatan tertentu. Ketiga, ancaman pidana mati masih dicantumkan dalam peraturan, tetapi secara faktual tidak berlaku. Keempat, menerapkan pidana mati dengan masa percobaan. Yang jarang ditemukan adalah pola ketiga, yang antara lain terjadi di Belgia. Hukuman mati tetap diancamkan, tetapi tidak ada hakim yang melakukannya sehingga de facto pidana mati tidak ada.
Ancaman hukuman mati perlu dicantumkan dalam KUHP dengan sejumlah syarat. Pertama, pidana mati hanya diancamkan pada kejahatan tertentu. Kedua, ada aturan yang mempersulit penjatuhan hukuman mati. Ketiga, ada aturan tentang masa percobaan yang memungkinkan terpidana mati lepas dari hukuman mati apabila berkelakuan baik dalamjangka waktu tertentu.
Mengakui RUU KUHP lebih baik daripada KUHP yang berlaku sekarang, berkembang pendapat upaya menghapus hukuman mati harus terus dilakukan. Penghukuman perlu dijauhkan dari balas dendam, selain mempertimbangkan kepentingan korban, masyarakat, negara, juga pelaku. Penghukuman harus disertai semangat mendidik dan prinsip-prinsip menghargai kehidupan. Keselamatan jiwa adalah hukum tertinggi. Tuntutan mutlak penghapusan hukuman mati perlu dilakukan sebab masih tenis terjadi kesalahpahaman dalam masyarakat. Tawaran “jalan tengah” hanya menenangkan hati yang kontra pidana mati.
Menyetujui pendapat dan tuntutan tertinggi penghapusan pidana mati diingatkan bahwa pembahasan RUU KUHP masih akan berlangsung lama. Masih ada waktu semua pihak yang menentang hukuman mati terus berjuang agar RUU KUHP tidak mencantumkan pidana mati. Apalagi, penghapusan hukuman mati merupakan tren global yang seharusnya diikuti di Indonesia. RUU KUHP mengambil jalan tengah dari sikap re-tentionis dan abolitionis. Se-nyampang itu dilakukan perbaikan dalam perundangan berikut implementasi dalam proses peradilan.
Diskusi terbatas itu, dalam arti jumlah peserta, tidak mengambil kesimpulan. Sesuai tradisi diskursus kampus, sifatnya exercise intellectual, jauh dari kepentingan praktis. Mayoritas peserta setuju tawaran jalan tengah, kompromi, make the best of it, atau apa pun namanya, tetapi realitas amburadulnya Indonesia dalam proses peradilan, berbagai bentuk kejahatan yang mengancam martabat kemanu-siaan, seperti terorisme, narkoba, korupsi, dan kejahatan sadis-tis lainnya, dengan penghapusan pidana mati, bisa menyuburkan praktik kejahatan kemanusiaan. Hukum senantiasa perlu disesuaikan perkembangan zaman. Dalam kondisi saat ini dan di sini, bukankah tawaran pidana mati de jure perlu dicantumkan sebagai ancaman yang relative walaupun tidak ada hakim yang akan melakukan atau dituntut lebih cermat terbebas dari kepentingan politik praktis atau ancaman sosial. Rumusan lebih tajamnya de jure dicantumkan, de facto tidak.
Sumber: Harian Kompas