Aturan Pemidanaan dalam Perda Mesti Tunduk terhadap RUU KUHP

Agar tidak terjadi over kriminalisasi, aturan pemidanaan dalam Perda tak perlu masuk RUU KUHP.

Anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Surpriyadi Widodo Eddyono, berpandangan seluruh aturan pemidanaan dalam peraturan Daerah (Perda) maupun Qanun harus tunduk dalam aturan KUHP. Pasalnya, sedemikian banyak  ribuan pasal pidana di tingkat Perda seluruh Indonesia tersebar di luar KUHP yang berlaku saat ini.

“Aliansi Nasional reformasi KUHP melihat, bahwa pada saat ini sudah terlalu banyak pengaturan pidana di Perda yang kebablasan bahkan melanggar banyak syarat kriminalisasi maupun ketentuan pidana dalam KUHP,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima hukumonline, Senin (14/9).

Supriyadi mengingatkan, RUU KUHP memang telah berupaya mengatur hukum pidana dalam Perda. Menurutnya, dalam Pasal 776 huruf a  RUU KUHP menyebutkan, “….pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, maka  kualifikasi kejahatan dan pelanggaran yang disebut dalam Undang-Undang di luar Undang-Undang ini atau Peraturan Daerah harus dimaknai sebagai tindak pidana”.

Sayangnya, Supriyadi menilai pengaturan tersebut kuran tegas. Malahan bersifat transisi dan terlampau mengakomodir pengaturan pemidanaan yang berpotensi melanggar batas-batas pidana dalam KUHP. “Menurut aliansi ini sangat berpotensi mengakibatkan overcriminalisasi dan merusak rencana unifikasi hukum pidana Indonesia,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) itu berpandangan, dalam menjaga sinkronisasi antara Perda dan kebijakan pidana nasional, diperlukan pemberlakukan prinsnip lex superior derogat legi inferiori. Menurut Supri, prinisp tersebut mengakibatkan hukum lebih tinggi kedudukannya menghapus hukum yang lebih rendah.

“Melalui ketentuan ini, dapat dipahami bahwa aspek materiil hukum pidana atau tindak pidana yang tercantum dalam Perda kedudukannya diakui pula dalam RUU KUHP. Namun tentunya dengan batas dan syarat-syarat tertentu, jika tidak, maka tatanan pengaturan tindak pidana dalam perda berpotensi akan bertentangan dengan RUU KUHP,” ujarnya.

Anggota Komisi III Arsul Sani berpandangan, Perda mengatur berbagai pelanggaran. Ia menilai skema Perda acapkali tidak pada pidana pemenjaraan semata, namun juga denda. Menurutnya, penyesuaian kebijakan pidana materil nasional ke depan yang bersifat pelanggaran diserahkan pada peraturan perundangan di bawah RUU KUHP.

“Itu bisa ada dalam Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Menteri dan bisa juga Perda atau Qanun,” ujarnya.

Dengan begitu, aturan pemindanaan di Perda maupun Qanun tidak perlu dimasukan dalam RUU KUHP. Pasalnya, Arsul beralasan tidak adanya isu yang diperlukan masuk dalam RUU KUHP. Makanya, RUU KUHP terdiri dari dua buku.

“Yang jadi isu kalau RUU KUHP tetap mempertahankan pelanggaran sehingga makin banyak terjadi kriminalisasi. Karena di RUU KUHP diatur pelanggaran di dalam peraturan lain termasuk Perda dan Qanun itu diatur juga,” ujarnya.

Menurutnya, dengan aturan dalam Perda tidak masuk dalam RUU KUHP setidaknya tidak menimbulkan over kriminalisasi. Sebaliknya, over kriminalisasi merupakan sesuatu yang berkembang di masyarakat sehingga berdampak luas pada kehidupan masyarakat. Kendati demikian, Arsul menilai kriminalisasi tak menjadi persoalan sepanjang nilai-nilai yang hidup di masyarakat menyatakan dapat dikriminalisasi. “Yang tidak boleh over penjaraisasi,” imbuh politisi PPP itu.

Ketua Komisi III Aziz Syamsuddin mengatakan, usulan dan kritikan terhadap pembahasan RUU KUHP menjadi masukan bagi DPR. Ia menilai banyaknya aturan pemidanaan dalam Perda boleh jadi masuk dalam RUU KUHP. Namun, semua bergantung dalam pembahasan nanti. “Tapi ini kan masih dalam proses, kita lihat nanti,” pungkasnya.

Sumber: HukumOnline.com

Leave a Reply