Aturan Perkosaan dalam Revisi KUHP Dinilai Sempit

Seharusnya tidak hanya mengatur persoalan alat vital, dan pidananya tidak disamaratakan.

Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Indonesia (FHUI), Adery Ardhan Saputro, berpendapat pengaturan mengenai perkosaan di dalam Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) terlalu sempit. Sebab, Pasal 491 hingga Pasal 499, mengatur bahwa tindakan perkosaan atau pemerkosaan hanya terkait penetrasi organ intim pria ke perempuan. Hal ini membuat pengaturan mengenai perkosaan menjadi tidak jelas.

Adery mengungkapkan, dalam berbagai ketentuan internasional istilah yang digunakan adalah ‘peneterasi seksual’ yang memiliki makna jauh lebih luas dibandingkan persetubuhan. Menurutnya, pengaturan perkosaan tidak bisa hanya dibatasi pada persoalan alat vital semata. Ia menegaskan, perkosaan juga termasuk jika terkait bagian lain dalam tubuh perempuan.

“Dalam RKUHP Pasal 491 ayat 1 masih menggunakan istilah ‘persetubuhan’ dengan signifitas gender yakni pelakunya laki-laki, korban perempuan. Jika terjadi sebaliknya, pelaku perempuan dan korban laki-laki. Selain itu, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) sudah jelas terdapat hukum pidananya, seperti jika seorang korban perkosaan terkena HIV Aids atau diperkosa oleh anggota keluarga, pemerkosa mendapatkan hukuman pidana,” kata Adery di Jakarta, Sabtu (18/6).

Hukuman pidana mengenal prinsip lex certa yang berarti rumusan tindak pidana harus jelas mengenai apa yang dilarang undang-undang. Namun, Adery menilai tampaknya RKUHP tidak mengindahkan prinsip ini dengan merumuskan delik perkosaan secara kabur. Sebagai contoh, Pasal 491 ayat 1 huruf a mengatur perkosaan yang dilakukan ‘bertentangan dengan kehendak perempuan’ dan Pasal 491 ayat 1 huruf b mengatur perkosaan yang dilakukan ‘tanpa persetujuan perempuan’.

Adery menambahkan, RKUHP hanya masih menanggap pelaku perkosaan atau pemerkosaan yang hanya dilakukan laki-laki. Pada kenyataannya, Adery melihat ada kemungkinan laki-laki juga sebagai korban. Selain itu, tidak ada pasal yang mengatur soal bagaimana menindak pelaku yang masih dalam satu keluarga.

Dalam kesempatan yang sama, Eva Achjani Zulfa, pengajar hukum pidana FHUI menyayangkan tindakan perkosaan masih ditempatkan dalam Bab Tindak Pidana Kesusilaan. Menurutnya, penempatan itu sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Ia mengatakan, perkosaan seharusnya masuk dalam kejahatan seksual dan kejahatan terhadap integritas tubuh.

“Penempatan delik perkosaan dalam Bab Tindak Pidana Kesusilaan perlu ditinjau ulang karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan yang ada saat ini,” tutur dia.

Dia mengkritisi penyamarataan segala bentuk perkosaan dengan ancaman pidana yang sama. Ia mencontohkan, perkosaan yang dilakukan tanpa persetujuan dalam Pasal 491 ayat 1 huruf b RKUHP, dengan perkosaan yang dilakukan dengan ancaman untuk dibunuh atau dilukai dalam Pasal 491 ayat 1 huruf c RKUHP, memiliki ancaman pidana yang sama, meskipun yang terakhir seharusnya memiliki bobot pemidanaan yang lebih berat daripada yang pertama.

“Jika hal ini tetap dipertahankan, rumusan delik perkosaan dalam RKUHP tidak akan jauh berbeda dari apa yang dirumuskan KUHP saat ini,” tandasnya.

Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Azriana mengamini bahwa tidak seharusnya perkosaan diangap sebagai tindakan asusila. Penempatan itu menurutnya justru membuat pengaturan perkosaan di dalam RKUHP belum sepenuhnya mengakomodir keadilan. Terutama, keadilan bagi korban pemerkosaan.

“Perkosaan bukan hanya mengganggu kesusilaan masyarakat, tapi yang dihancurkan oleh perkosaan adalah integritas tubuh perempuan, korbannya,” katanya.

Ia pun tak sependapat jika dalam RKUHP, perkosaan dibahasakan dengan persetubuhan karena indikasi penafsiran dari kata tersebut adalah pertemuan dan penetrasi antara dua alat kelamin. Meski dalam ayat selanjutnya dijelaskan mendetail tentang bentuk lain perkosaan seperti penetrasi alat kelamin ke mulut, anus atau organ lain yang bukan alat kelamin.

“Dari hasil pemantauan Komnas Perempuan, ada perkosaan terjadi menggunakan jari. Dalam draft revisi KUHP disebutkan (kata) ‘atau benda-benda lain yang bukan anggota tubuh’. Kalau alat tubuh diartikan cuma alat kelamin, rumusan itu tidak mengenal ada bagian tubuh lain yang bisa digunakan untuk memperkosa. Perlu diralatnya kalimat ‘atau benda-benda lain yang bukan anggota tubuh’ menjadi ‘atau benda-benda lain yaitu anggota tubuh dan bukan anggota tubuh’,” pungkasnya.

Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5767c883779ad/aturan-perkosaan-dalam-revisi-kuhp-dinilai-sempit

Leave a Reply