Cara Berpikir Kodifikasi RKUHP Harus Dibenahi

Aliansi Nasional Reformasi RKUHP terus memberikan masukan terkait penyusunan UU tersebut. Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Avokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Arsil mengatakan, salah satu yang wajib dibenahi adalah cara berpikir kodifikasi baik oleh Pemerintah maupun DPR. Pembenahan tersebut bisa berupa dimasukkannya ketentuan pidana dari aturan-aturan baru ke dalam KUHP.

“Kodifikasi itu bukan soal buku, tapi bagaimana arah legislasi nasional. Cara berfikir kodifikasi yaitu jika suatu aturan disusun secara kodifikasi, segala macam aturan baru seharusnya ketentuan pidana itu dimasukkan ke dalam KUHP,” katanya dalam media briefing di Jakarta, Kamis (30/7).

Misalnya, lanjut Arsil, cara yang pernah diterapkan pemerintah pada tahun 1970-an silam. Pada tahun itu, setiap aturan baru yang dikeluarkan pemerintah selalu dimasukkan ke dalam KUHP. Sehingga tidak semua delik dimasukkan ke dalam KUHP. Seperti UU No. 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bertalian Dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-Undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasaran Penerbangan.

“Yang administratif tidak dimasukkan KUHP, yang ada unsur pidana masuk dalam KUHP. Sebenarnya tidak semua KUHP kita adalah buatan Belanda,” ujar Arsil.

Tapi hal berbeda terjadi setelah zaman reformasi. Misalnya saja UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Saat UU itu disusun, pasal-pasal yang berkaitan dengan korupsi dalam KUHP dicabut dan dimatikan untuk diatur dalam UU Tipikor. “Dari hal itu saja sudah menunjukkan bahwa kita sudah meninggalkan praktik kodifikasi,” katanya.

Menurutnya, jika cara berpikir kodifikasi seperti yang terjadi saat penyusunan UU Tipikor, maka itu telah merusak sistem kodifikasi. Kerusakan tersebut terlihat dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dalam UU tersebut pidana pencemaran nama baik lebih berat hukumannya daripada korupsi.

“Ketika pemerintah banyak keluar dari sistem kodifikasi dengan membuat aturan pidana di luar KUHP, semua itu muncul karena kita sudah keluar dari cara berpikir kodifikasi,” katanya.

Tenaga Ahli Anggota Komisi III Fraksi PKS, Mei Susanto menambahkan, ada tren pemikiran dari Pemerintah jika membuat UU harus selalu ada pidananya. Pemikiran ini yang menyebabkan munculnya persoalan seperti yang diutarakan Arsil. “Pemikiran seperti itu harus ditinjau ulang,” katanya.

Atas dasar itu, Mei menyarankan agar, Presiden Joko Widodo dapat jelas membuat roadmap seperti apa dan bagaimana sistem pemidanaan Indonesia. Tanggung jawab pun tidak hanya dibebankan kepada DPR saja, tapi juga kepada Pemerintah. Sejalan dengan itu, pembahasan RKUHP wajib melibatkan masyarakat.

“Dengan waktu yang ditargetkan dan bila semua pihak dapat mengefektifkan waktu, pembahasan RKUHP akan lebih mudah,” tutup Mei.

Leave a Reply