DPR Nilai Masih Ada Kontradiksi Kodifikasi dalam RKUHP
Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil menilai masih ditemukan kontradiksi sistem kodifikasi dalam RKUHP yang disampaikan pemerintah melalui surat Presiden tanggal 5 Juli 2015 lalu. “Rekodifikasi dalam RKUHP terlihat setengah hati, masih ditemukan kontradiksi sistem kodifikasi didalamnya,” katanya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan beberapa pakar di DPR, Selasa (1/9).
Hadir sebagai narasumber dalam RDPU kali ini, adalah pakar hukum pidana Andi Hamzah, Yenti Garnasih dan Ronny Nitibaskara. Lebih lanjut Nasir menilai, beberapa kontradiksi itu terlihat dari penyimpangan aturan main dalam UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Penempatan istilah dalam RKUHP justru ditempatkan pada Bab terakhir RKUHP yakni Pasal 164-Pasal 217, sejatinya istilah diletakkan pada Bab 1, jika kita mau taat asas dalam pembentukan peraturan perundang2an” ungkap Nasir.
Selain itu, Nasir menilai, RKUHP ini tak berhasil meninggalkan warisan kolonial, yakni KUHP yang terdiri dari dua buku. “Buku pertama berbicara tentang ketentuan umum dan buku kedua tentang tindak pidana (kejahatan), namun yang membedakan pada KUHP kolonial ada buku ketiga yang berbicara mengenai pelanggaran,” tuturnya.
Nasir menambahkan, RKUHP belum berhasil menyatukan sistem pemidanaan dan tumpang tindihnya ketentuan pidana dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. “Hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 218 RKUHP yang menyatakan ketentuan dalam Bab 1 sampai dengan Bab V buku kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan lain kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang,” katanya.
Nasir berharap, dalam kerangka politik hukum, persoalan sistem kodifikasi dalam RKUHP ini perlu dipertegas sebelum adanya pembahasan.”Persoalan sistem kodifikasi ini sangat fundamental, jangan sampai RKUHP justru menimbulkan ketidakpastian hukum dan kekacauan penerapan pasal dalam peraturan perundang-undangan, penerapan undang-undang tindak pidana khusus dalam RKUHP terkesan asal comot, sehingga RKUHP ini dapat menjadi persoalan baru dalam criminal justice system di Indonesia,” tegasnya.
Anggota Komisi III Dossy Iskandar mengatakan, pembahasan RKUHP tak boleh tergesa-gesa. Hal ini dikarenakan rancangan ini akan menjadi master hukum pidana materil di Indonesia. Ia menyarankan agar pembahasan RKUHP dilakukan berdasarkan konteks yang ada dalam rancangan.
“Harusnya pembahasan ini harus bertitik tolak padak konteks. Misalnya konteks Pancasila, kejahatan berdimensi baru, kemudian basic keilmuan. Karena kalau tidak, akan menimbulkan bahaya bagi nasib negara,” tutup Dossy.