Eksistensi Hukum Pidana diluar KUHP dalam Revisi KUHP
Refki Saputra |Peneliti Indonesian Legal Roundtable
Proses amandemen Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tengah bergulir di Dewan Perwakilan Rakyat. Salah satu produk hukum pemerintah kolonial yang masih bertahan hingga saat ini tersebut hendak direkonstruksi, direformulasi dan dikonsolidasikan[i] sebagai hukum pidana nasional.
KUHP merupakan bentuk aturan hukum pidana yang dihimpun dalam satu dokumen atau buku sebagai suatu kesatuan atau yang dinamakan sebagai kodifikasi. Didalamnya terdapat berbagai jenis tindak pidana, seperti pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, penipuan, penganiayaan, pemalsuan dan lain sebagainya. Dengan kata lain, KUHP merupakan himpunan dari berbagai tindak pidana yang disusun secara sistematis dalam satu dokumen. Dengan memahami KUHP sebagai suatu kodifikasi atau himpunan tindak pidana, maka dari sini dapat disimpulkan tujuan adanya kodifikasi tersebut adalah untuk mempermudah penegak hukum maupun masyarakat luas menemukan macam-macam tindak pidana karena sudah terhimpun dalam satu buku.
Selain himpunan peraturan, KUHP juga berisikan asas-asas hukum pidana yang mengatur batasan-batasan dari penerapan pasal-pasal dari tindak pidana tersebut. Asas yang dimaksud bukan merupakan hukum acara pidana yang mengatur tata cara penegak hukum menjalankan peradilan pidana yang diatur dalam peraturan sendiri. Asas-asas hukum pidana ini terdapat dalam buku I KUHP yang mengikat penerapan pasal-pasal tindak pidana yang tercantum dalam Buku II dan Buku III KUHP dan yang diatur diluar KUHP sepanjang tidak ditentukan lain (Pasal 103 KUHP).
Semenjak Indonesia merdeka, hukum pidana positif ternyata tidak hanya yang tersedia dalam KUHP atau hukum pidana yang terkodifikasi. Setidaknya ada 3 jenis hukum pidana tertulis diluar KUHP, yakni : (1) undang-undang yang merubah/menambah KUHP, (2) undang-undang pidana khusus; dan (3) aturan hukum pidana dalam undang-undang yang bukan mengatur hukum pidana. Undang-undang pidana khusus yang murni mengatur tindak pidana diluar KUHP (generic crime) misalnya seperti tindak pidana ekonomi, tindak pidana subversif, tindak pidana terorisme, tindak pidana Hak Asasi Manusia, tindak pidana narkotika, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, dan lain sebagainya. Sementara, aturan hukum pidana dalam undang-undang bukan hukum pidana sering juga disebut sebagai tindak pidana administrasi (administratif penal law), seperti tindak pidana dibidang perbankan, tindak pidana pajak, tindak pidana dibidang konstruksi dan sebagainya.
Perkembangan hukum pidana diluar KUHP tersebut menjadi salah satu persoalan yang mengemuka dalam revisi KUHP. Beberapa pengaturan hukum pidana diluar KUHP dianggap jauh menyimpangi KUHP dan memunculkan ‘dualisme hukum pidana’ nasional.[ii] Dalam naskah akademik RKUHP disebutkan beberapa masalah undang-undang pidana dilauar KUHP, yakni:
- banyak perundang-undangan khusus tidak menyebutkan/ menentukan kualifikasi tindak pidana sebagai ”kejahatan” atau ”pelanggaran”;
- Mencantumkan ancaman pidana minimal khusus, tetapi tidak disertai dengan aturan pemidanaan/penerapannya.
- Subjek tindak pidana ada yang diperluas pada korporasi, tetapi ada yang tidak disertai dengan ketentuan ”pertanggungjawaban pidana korporasi.
- Pemufakatan jahat dipidana sama dengan tindak pidananya, namun tidak ada ketentuan yang memberikan pengertian/batasan/syarat-syarat kapan dikatakan ada ”pemufakatan jahat” seperti halnya dalam KUHP (Pasal 88).
Dalam naskah RKHUP terdapat beberapa undang-undang diluar KUHP dan undang-undang tindak pidana khusus masuk menjadi bagian Buku II KUHP. Kekeliruan perumusan undang-undang pidana diluar KUHP dan undang-undang pidana khusus tersebut kemudian menjadi landasan perumus untuk melakukan sinkronisasi, dengan memasukkannya kedalam RKUHP dengan segala konsekuensi yuridis dari sistem kodifikasi.
Pada dasarnya, sangat tidak mungkin memasukkan semua aturan pidana diluar KUHP karena jumlahnnya yang begitu banyak. Namun, hampir seluruh undang-undang tindak pidana khusus masuk menjadi bahagian dalam KUHP. Perumus melupakan bahwa eksistensi undang-undang pidana diluar KUHP juga disebabkan oleh kekhususan yang dimiliki masing-masing peraturan yang menyimpangi ketentuan asas-asas hukum pidana dalam KUHP. Pertanyaannya kemudian, apakah mengkodifikasi undang-undang pidana khusus yang sudah berkembang diluar KUHP harus menjadi pilihan utama atas permasalahan tersebut? Mengingat kesalahan yang muncul cenderung terjadi pada wilayah praktik perumusan, bukan pada konsep penyimpangan itu sendiri yang memang berdasarkan ilmu pengetahuan hukum merupakan suatu keniscayaan.
Hukum pidana khusus
Dalam konteks akademik, memang sebaiknya hukum pidana memiliki kesatuan asas yang dapat dipraktikkan kepada seluruh aturan hukum pidana. Namun ternyata dalam perkembangan, harus ada aturan khusus yang kemudian menyimpangi atau menegecualikan asas-asas hukum pidana umum karena kebutuhannya yang mengharuskannya demikian. Namun penyimpangan tersebut tetap harus didasari oleh landasan atau pertimbangan yang cukup, tidak semata-mata hanya berdasarkan kehendak pembentuk undang-undang saja.
Bambang Poernomo dalam bukunya yang berjudul Pertumbuhan Hukum Penyimpangan diluar Kodifikasi Hukum Pidana menjelaskan, fenomena kemunculan beberapa peraturan hukum pidana diluar hukum pidana kodifikasi (KUHP) di Indonesia tersebut. Walaupun tidak menjelaskan mengenai konstruksi teoritik atau bahkan filosofis dari konsep hukum penyimpangan, namun setidaknya titik pijaknya berawal dari adanya perobahan sosial dalam masyarakat.[iii] Hukum penyimpangan menurutnya diartikan sebagai paradigma yang mengorientasikan hukum pidana sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat, yang dalam kepustakaan ilmu pengetahuan dikenal sebagai “hukum eksepsional”.[iv]
Penyimpangan yang dimaksud disini adalah terkait dengan norma dalam buku I KUHP tentang asas-asas penerapan pasal-pasal tindak pidana. Dalam padanan lain, disebut menyimpangi hukum pidana materil yang merupakan salah satu ciri dari hukum pidana khusus. Hukum pidana khusus mempunyai ciri mengatur hukum pidana material dan formal yang berada diluar hukum kodifikasi, dengan memuat norma, sanksi, dan asas hukum yang disusun khusus menyimpang karena kebutuhan masyarakat terhadap hukum pidana yang mengandung, peraturan dari anasir-anasir kejahatan yang konvensional”.[v] Sementara menurut Utrecht dan Pompe, kebutuhan terhadap hukum pidana khusus untuk mengatur beberapa subyek hukum dan/ atau perbuatan pidana khusus, dan oleh sebab itu memuat ketentuan dan asas yang menyimpang dari peraturan hukum pidana umum. Misalnya hukum pidana militer, hukum pidana fiskal, hukum pidana ekonomi dan hukum pidana politik.[vi] Dari pandangan tersebut maka jelas suatu penyimpangan tertentu terhadap materi formal dan materil dalam hukum pidana khusus membuatnya berada diluar KUHP.
Sejarah mencatat sistem kodifikasi mulai dilakukan pada abad ke XVI-XIX di Eropa dan Amerika latin yang pada dasarnya agar hukum itu sederhana, tersusun secara rapi, serasi dan logis, serta mempunyai sifat tertentu dan pasti. Selain itu juga untuk menggantikan keadaan hukum yang berbeda-beda dari berbagai propinsi atau wilayah, dengan membentuk satu sistem hukum yang bersifat kesatuan dan nasional seperi politik hukum di Jerman tahun 1907. Khusus untuk politik kodifikasi hukum di Indonesia pada masa kolonial yang bernama Hindia Belanda pada waktu itu adalah untuk dapat memberikan kepastian hukum yang lebih besar kepada setiap kepemilikan harta dan setiap langkah usaha, dan khususnya juga kepada setiap bentuk transaksi aktivitas ekonomi yang diharapkan dapat cepat berkembang.[vii]
Kodifikasi bukanlah suatu hal yang tanpa cacat, karena pada dasarnya waktu terus berputar dan menimbulkan suatu perkembangan pemikiran dalam masyarakat. Masalah-masalah baru bermunculan yang tidak dapat diramalkan sebelumnya yang menimbulkan tumbuhnya filsafat baru dalam kehidupan masyarakat.[viii] Beberapa sarjana yang mengkritik sistem kodifikasi (walaupun tidak untuk menghapuskan kodifikasi) misalnya datang dari Von savigny dan Paul Scholten, yang mana pada intinya menyatakan bahwa undang-undang tidaklah mungkin sempurna memuat ketentuan yang diharapkan karena kesukaran teknis perumusan, pengaruh kepentingan yang bersifat politis pada penyusunan, dan mengabstrasikan norma-norma yang sudah ada dalam hukum.[ix] Artinya, kodifikasi tidak menjawab persoalan kompleksitas kejahatan yang muncul dalam masyarakat yang selalu berkembang. Tidak mungkin kejahatan yang baru muncul kemudian dipaksa masuk dalam kodifikasi mengikuti asas yang ada didalamnya.
Namun demikian, adanya penyimpangan dalam hukum pidana khusus tidak juga bisa serampangan. Ia harus memiliki landasan dan sejumlah persyaratan yang ketat. Dalam hal ini misalnya, Dr. Loebby Loqman menyatakan bahwa pembentukan undang-undang pidana khusus haruslah mempunyai alasan yang memadai dan haruslah masih dalam suatu rangkaian sistematis asas-asas umum yang berlaku dalam hukum pidana umum. Ia kemudian menekankan bahwa, harus benar diperhatikan keseimbangan antara tujuan yang hendak dicapai dari adanya penyimpangan-penyimpangan asas-asas hukum pidana umum tersebut.[x]
Adapun sejumlah kriteria dalam hal pembentukan hukum pidana khusus yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:[xi] Pertama, penyimpangan boleh dilakukan karena bila dipergunakan asas yang lama justru akan menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat. Kedua, untuk kepentingan kemudahan pembuktian. Ketiga, jika dimasukkan dalam kodifikasi maka akan mengacaukan atau merusak sistem kodifikasi tersebut. Keempat, suatu perbuatan dalam undang-undang tersebut untuk mengatur suatu keadaan tertentu, yakni keadaan darurat dengan catatan, apabila kondisi darurat sudah dilalui hukum pidana khusus seketika tidak dapat diberlakukan lagi. Ketatnya kriteria dalam merumuskan hukum pidana khusus menandakan bahwa pada dasarnya hukum pidana yang utama tetaplah yang terkodifikasi.
Beberapa bentuk penyimpangan dalam hukum pidana khusus misalnya terdapat dalam sistem “pertanggungjawaban pidana fiksi” dalam tindak pidana pers yang dapat dijatuhkan kepada redaktur, padahal bukan ia yang senyatanya menulis berita yang melanggar hukum. Delik percobaan dalam tindak pidana korupsi yang dianggap delik selesai, dan adanya kumulasi sanksi pidana pokok antara penjara dan denda. Ketidakberlakuan asas berlaku surut (retroactive) dalam tindak pidana HAM berat dan paradigma in rem (aset) dalam tindak pidana pencucian uang yang sama sekali berbeda dengan KUHP yang mengedapkan tuntutan kepada subjek hukum (im personal).
Ketidakjelasan parameter
Masuknya beberapa undang-undang pidana diluar KUHP kedalam RKUHP tidak didasari dengan parameter yang jelas, karena tidak semua undang-undang yang memiliki sanksi pidana dimasukkan. Apakah yang masuk hanya tindak pidana yang bersifat mala in se (kejahatan yang secara natural bertentangan dengan moral dan kepaturan) atau juga mala prohibita (kejahatan karena undang-undang)? atau hanya terhadap undang-undang pidana yang dianggap menimbulkan kekacauan dalam sistem hukum pidana karena pengaturannya tidak lengkap atau tidak mengikuti asas hukum pidana?
Sebagai contoh, terdapat beberapa tindak pidana yang bersifat administratif penal law yang masuk dalam RKUHP seperti tindak pidana penerbangan dan pelayaran, namun tidak termasuk tindak pidana dalam undang-undang lalu-lintas dan angkutan jalan. Kemudian dalam RKUHP dimasukkan tindak pidana perasuransian, tindak pidana terhadap persaingan usaha tidak sehat, namun tidak memasukan tindak pidana tentang perlindungan konsumen yang masih dalam lingkup yang sama.
Tindak pidana narkotika dan psikotropika yang dimasukkan dalam RKUHP tapi tidak memasukkan beberapa aspek penjelasan yang berkaitan dengan pasal tersebut. Misalnya rumusan Pasal 507 RKUHP : “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman,…”. Dalam RKUHP dan Penjelasan tidak dimasukkan apa yang disebut dengan Golongan I tersebut yang merujuk kepada Lampiran UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dimana disitu dijelaskan secara detail jenis-jenis narkotika Golongan I tersebut. Maka, jika rumusan dalam RKUHP tidak mencantumkan lampiran tersebut, maka untuk memahami pasal tindak pidana narkotika, harus melihat lagi lampiran dalam UU No. 35 Tahun 2009. Dengan demikian tujuan kodifikasi untuk menyederhanakan atau memudahkan dalam menemukan rumusan tindak pidana malah tidak tercapai.
Lalu bagaimana dengan tindak pidana khusus, seperti tindak pidana korupsi, pencucian uang, terorisme, HAM. Dalam Naskah Akademis dijelaskan, bahwa KUHP nantinya akan menjadi sumber utama dan satu-satunya sumber norma hukum pidana nasional Indonesia yang memuat ketentuan umum hukum pidana (asas-asas hukum pidana) dan memuat perbuatan pidana (perbuatan yang dilarang dan diancam sanksi pidana) yang termasuk kategori kejahatan/independent crimes/generis crime.[xii] Dari sini dapat dipahami bahwa, perumus hendak menghilangkan tindak pidana khusus yang sudah eksis diluar KUHP yang memiliki sifat eksepsionalitas/pengecualian/ penyimpangan. Dimana, hal ini merupakan bagian dari perkembangan hukum pidana yang tidak mungkin dihilangkan.
“Menertibkan” yang diluar, memperbaiki yang didalam
Memasukkan beberapa tindak pidana diluar KUHP dalam RKUHP, baik yang bersifat administratif penal law atau tindak pidana khusus tanpa alasan dan paramater yang jelas akan menimbulkan kerumitan tersendiri dalam pembahasan RKHUP. Kalaupun mau dimasukkan, harus dipilih mana tindak pidana yang keberadaannya diluar KUHP tidak ada sifat kekhususan dan pengaturan yang terperinci mengenai aspek-aspek administatif atau petunjuk dari pasal-pasal tindak pidananya. Hal ini sesuai dengan semangat kodifikasi untuk menyederhanakan pasal-pasal tindak pidana yang bertebaran diluar kodifikasi tanpa urgensi apapun.
Sistem kodifikasipun sebenarnya bukan hanya untuk tindak pidana dalam KUHP semata. Melainkan berlaku juga untuk tindak pidana diluar KUHP, sepanjang tidak ditentukan lain. Artinya, walaupun berada diluar KUHP, sebenarnya beberapa undang-undang pidana diluar KUHP (khususnya tindak pidana administratif) adalah bagian dari kodifikasi KUHP. Jikapun banyak diantara undang-undang tersebut yang menyalahi (bukan menyimpangi) kodifikasi dalam pengaturannya, maka dapat dilakukan revisi terhadap undang-undang yang bersangkutan.
Lebih baik menertibkan aturan pidana yang diluar KUHP agar kembali merujuk kepada aturan kodifikasi hukum pidana nasional. Termasuk terhadap aturan yang memiliki sejumlah kekhususan atau penyimpangan agar mengikuti kriteria penyimpangan hukum yang dibolehkan. Hal ini penting agar pembentuk undang-undang juga tidak sembarangan dalam menentukan hukum pidana khusus.
Mengingat kompleksnya permasalahan dalam RKUHP, lebih baik pemerintah dan DPR fokus pada pembenahan tujuan-tujuan pemidanaan yang dinilai semakin jauh dari cita-cita reformasi. Dalam menunjang masyarakat yang demokratis, seharusnya RKHUP lebih mengedepankan semangat pemberdayaan, humanis dan anti-diskriminatif. Namun, faktanya perkembangan pengaturan sanksi pidana di Indonesia pasca reformasi lebih ditujukan sebagai strategi kontrol sosial, yakni untuk memastikan masyarakat Indonesia patuh terhadap aturan yang telah diundangkan dan bukan untuk menyelesaikan masalah kriminalitas.[xiii] Beberapa ancaman sanksi pidana dalam RKUHP untuk tindak pidana yang sama malah lebih berat ketimbang dalam KUHP. Hal ini menandakan RKHUP yang saat ini diharapkan sebagai produk hukum nasional ternyata lebih represif dan eksesif ketimbang hukum pidana kolonial.
[i] Naskah Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2015, hlm. 13
[ii] ibid., hlm. 8
[iii] Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan diluar Kodifikasi Hukum Pidana (Jakarta: Bina Aksara, 1984), hlm. 6-7
[iv] Ibid., hlm. 68
[v][v] Ibid., hlm. 11
[vi] Ibid., hlm. 18.
[vii] Soetandyo Wignjosoebroto, 2014, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial-politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Edisi Revisi (Jakarta: HuMa; VVI-Leiden; KITLV-Jakarta; Epistema Institute, 2014), hlm. 23
[viii] Bambang Poernomo, Op. Cit., hlm. 35
[ix] Ibid., hlm. 37.
[x] Loebby Loqman, Delik Politik di Indonesia (Jakarta: IND-HILL-CO, 1993), hlm. 107
[xi] Ibid., hlm. 109-113
[xii] Naskah…., Op. Cit., hlm. 171
[xiii] Anugerah Rizki Akbari, Potret Kriminalisasi Pasca Reformasi Dan Urgensi Reklasifikasi Tindak Pidana Di Indonesia, http://reformasikuhp.org/potret-kriminalisasi-pasca-reformasi-dan-urgensi-reklasifikasi-tindak-pidana-di-indonesia/