FGD R KUHP – Komisi III DPR RI: Arah Politik Hukum Pidana Indonesia Berdasarkan Sistem Kodifikasi Terbuka yang Sesuai dengan Kultur Masyarakat Indonesia
Sesi I hari Rabu, 21 Oktober 2015
Pukul 10.30-13.30
Pembicara :
Prof Nicko (Leiden University)
Prof Dr. Nur Basuki Minarno (Unair)
Moderator :
Benny K Harman (Komisi III DPR RI)
Tema : Arah Politik Hukum Pidana Indonesia Berdasarkan Sistem Kodifikasi Terbuka yang Sesuai dengan Kultur Masyarakat Indonesia
Diskusi Dimulai pada pukul 10.30 WIB
Benny K Harman :
Assalamualaikum Wr Wb, Puji Syukur kita panjatkan kepada Allah swt atas berkah dan karunianya kita dapat menyelenggarakan diskusi mengenai Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sangat penting ini pada pagi hari ini. Adapun tema dari sesi pertama yang akan disampaikan pada pagi hari ini yaitu “Arah Politik Hukum Pidana Indonesia Berdasarkan Sistem Kodifikasi Terbuka yang Sesuai dengan Kultur Masyarakat Indonesia”. Pembicara yang hadir di tengah-tengah kita adalah Prof Nicko dari Leiden University dan Prof Dr. Nur Basuki Minarno dari Universitas Airlangga.
Masing-Masing Pembicara 15 menit nanti akan dilanjutkan ke pertanyaan. Kepada pembicara pertama saya persilahkan
Pembicara Pertama : Nur Basuki
Saya akan berbicara tentang Politik Hukum Pidana Nasional ke depannya. Rancangan KUHP sudah sejak tahun 2005 namun sampai sekarang belum selesai. Politik Hukum Pidana yang harus terlebih dahulu dibahas, karena Politik Hukumlah yang mewarnai ketentuan-ketentuan hukum pidana ke depannya.
Sasaran/tujuan RKUHP: dekolonisasi, demokratisasi, konsolidasi, dan harmonisasi diwujudkan dalam kodifikasi dan unifikasi hukum pidana.
KUHP sendiri bukanlah peninggalan kolonial, KUHP merupakan peninggalan kerajaan Belanda, KUHP saat ini masih banyak yang relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia, banyak juga dilakukan perubahan terkait substansi dalam KUHP tersebut.
RKUHP saat ini merupakan kodifikasi terbuka karena UU Pidana masih banyak yang di luar KUHP.
Kalau ditinjau dalam RKUHP Buku II, pembuat bertujuan untuk memasukan beberapa tindak pidana untuk dimasukkan ke dalam RKUHP. Keinginan pembuat sepertinya kodifikasi tertutup.
Pasal 211 RKUHP menyatakan bahwa dimungkinkan ada ketentuan di luar RKUHP atau Kodifikasi terbuka.
Sehingga hemat saya adalah Harus ada kesamaan pendapat, apakah kodifikasinya nanti akan terbuka/tertutup atau dalam KUHP hanya mengatur hal-hal bersifat umum?
Sebagai contoh KUHP Belanda dan Perancis merupakan kodifikasi terbuka
Ada beberapa pengertian dari Politik Hukum Pidana.
Prof Muladi menyatakan Politik Hukum Pidana yaitu : kebijakan menyeleksi atau melakukan kriminalisasi/dekriminalisasi terhadap suatu perbuatan. Lebih lanjut, Prof Muladi menyatakan bahwa Dalam Politik Hukum Pidana ada sasaran yang hendak dicapai.Terkait dengan ini mewujudkan suatu kodifikasi KUHP kita adalah kodifikasi terbuka. Prof Muladi menghendaki (dalam RKUHP) pidum masuk KUHP, Tipisus diatur di luar KUHP
Namun, Bagaimana dengan R KUHP kita sekarang?Apakah R KUHP kita sekarang menganut kodifikasi tertutup atau terbuka?Kalau kita melihat buku 2, nampaknya konseptor ingin memasukkan tindak pidana di luar KUHP untuk dimasukkan ke dalam KUHP. Sedangkan KUHP kita? Apakah Kodifikasi terbuka? Tampaknya kodifikasi Tertutup
KUHP kita misalnya mengatur tentang kejahatan pejabat negara dalam Tindak Pidana Korupsi. Yang menarik apakah Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika, Tindak Pidana Terorisme, dll perlu dimasukkan ke dalam rancangan kodifikasi
Sebenarnya tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana umum, menurut saya tidak perlu dimasukkan ke dalam KUHP. Hal ini akan menyebabkan Pasal di KUHP nanti akan sangat banyak. KUHP kita jangan sampai Pasalnya ribuan
Syarat dari saya adalah kodifikasi kita terbuka namun dengan syarat. Ketentuan umum dalam KUHP dan ketentuan khusus diluar KUHP. Bagaimana pembuatan KUHP berdasarkan karakter Indonesia, Asas Legalitas yang diperluas, Kita tidak mendengar Hukum adat nasional.
Untuk permasalahan Pembaharuan KUHP Berbasis KeIndonesiaan. Kita tahu bahwa Indonesia merupakan negara heterogen. Apakah memperkaya nilai moral bisa dilakukan dengan kodifikasi hukum adat nasional?
Parameternya hukum nasional / hukum adat
Saya tidak sepakat kalau asas legalitas yang diperluas. Asas legalitas merupakan lex/wet/uu, bukan hukum adat. Hukum adat bukan asas legalitas. Bagaimana unifikasi hukum karena tidak ada hukum adat nasional? Siapa yang berwenang menjatukan tindak pidana adat? Gimana kepastian hukum (principles of benefit)? Bagaimana dengan putusan MK (terkait ajaran melawan hukum formil). Hal itu perlu dipikirkan bersama.
Prof Nicko :
Pembicara sebelumnya telah membahas hal yang menarik berkaitan dengan pelanggaran hukum adat. Prinsip legalitas merupakan prinsip yang sangat penting, Jangan sampai kita memberikan kesempatan kepada aparat penegak hukum melakukan perbuatan yang sewenang wenang. Kalau ada permasalahan adat kita bisa memakai ketentuan hukum perdata untuk menyelesaikan permasalahan. Jadi hukum adat tidak dihapuskan sama sekali, namun tetap menjadi bagian hukum pidana
Prof Volenhoven dulu mencoba untuk mendaftarkan pelanggaran hukum adat yang terjadi.Saya menyadari bahwa ini bukan tugas yang mudah. Bisa saja anda membagi pelanggaran hukum adat menjadi 2 golongan : yaitu pelanggaran pidana yang berkaitan dengan KUHP dan pidana yang tidak ada hubungannya dengan KUHP. Misal, pencurian. Hal ini ada aturannya dalam hukum adat.
Saya beri contoh ketentuan pidana yang tidak diatur dalam hukum adat misal, ada dua orang pasangan bercinta dan wanitanya hamil. Bisa saja ini tidak ada aturannya di hukum adat dan bukan pidana. Usulan saya bawa saja ke hukum perdata. Kalau pilihan saya tidak bisa ditegakkan. Solusi disini kita tidak mungkin bisa menegakkan keseluruhan aturan hukum adat
Sehingga ada tida opsi yang dapat diajukan :
- Jangan memidanakan hal-hal yang bisa diselesaikan dengan sistem hukuman perdata, seperti jika ada seorang laki laki menolak menikahi perempuan setelah terjadinya kehamilan. Lebih baik diselesaikan secara perdata saja.
- Jika ada hukuman bagi pencuri kemudian telah ada pemaafan dari korban bisa dijadikan faktor untuk meringankan pidananya.
- Kalau di KUHP merupakan tindak pidana dan adat juga, maka dijadikan pemberat. Tapi kalau cuma di adat aja lebih baik diselesaikan secara adat ke kepala adat.
Leiden University Expert:
Saya ingin memperluas mengenai keputusan hakim. Saya ingin menekankan pentingnya intrepertasi.
Dalam ilmu hukum tidak ada teks yang bisa berdiri sendiri. Begitu pula hakim, hukum bisa ditegakkan kalau hukum sudah dienkripsi. Pendiri UI menyatakan metode hukum perdata, Bersama dengan Prof Soepomo.
Kita tahu secara pasti bahwa pekerjaan hakim memang untuk mengintrepertasikan hukum. Saya punya pendapat bahwa Profesi Hukum harus dapat memberikan kepastian hukum. Teks hukum harus diinterpretasikan terlebih dahulu sebelum dapat diimplemantasikan.
DPR sebagai badan legislasi harus bisa mengejar seluruh perubahan yang ada di masyarakat
Benny K Harman :
Terima kasih kepada para pembicara atas Pemaparannya. Apabila ada hal yang ingin didiskusikan saya persilahkan
Divkum Polri (John Henry, kepala divisi bantuan hukum mabes polri):
Mengenai hukum adat, misal di kalimantan sudah ada norma-norma yang berlaku di masyarakat. Kodifikasi hukum adat kalau dinasionalkan saya yakin tidak akan bisa
Mahkamah Agung :
Tertarik akan apa yang disampaikan, kebijakan KUHP akan beroengaruh kepada badan peradilan. Kami butuh ketentuan hukum yang aplikatif dan tidak butuh banyak intrepertasi. Banyak peraturan yang tumpang tindih.
Hukum adat harus jadi aturan yang diversal, kalau kita kodifikasi Hukum adat yang ada secara nasional akan menyulitkan karena adat tiap daerah sangat berbeda.
Eva (FH UI)
Ada pilihan mengenai model kodifikasi, atau malah kompilasi. Sampai sekarang kita belum sepakat menentukan model pembahasan R KUHP.Politik Hukum bukankah ini hanya akan berimplikasi kepada hukum acara dan huikum pelaksanaan pidana
LBH APIK :
Ketentuan mengenai perlindungan perempuan harus diperkuat. Kodifikasi dan asas legalitas. Arah kodifikasikan kemana?
KUHP tanpa disertai dengan ketentuan penghidupan hukum adat sudah cukup membantu bagi kasus-kasus perempuan.
Penanya 5 :
Ada pilihan hukum yang harus diclearkan dulu, sesuai dengan perspektif Indonesia
Benny K Harman :
kodifikasi terkait dengan hukum adat kita nanti bagaimana? Komisi III nanti akan kesulitan dalam pembahasannya
Nur Basuki :
Asas Legalitas tidak bisa berhadap-hadapan dengan hukum adat, namanya legalitas itu lex (undang-undang). Dengan berlakunya asas legalitas maka hukum adat tidak akan berlaku lagi
Terkait dengn pilihan model pembahasan, keberhasilan penegakan hukum salah satunya diaturdalam KUHP. Kodifikasi yang terbuka tapi bersyarat sangat diusulkan
Benny K Harman :
Hukum adat ini kan nilai-nilai, kalau tidak diatur dalam KUHPitu tidak masalah. Masalahnya kalau nilai-nilai yang ada di masyarakat ini bertentangan dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat.
Nilai-nilai ini masih existing. Bagaimana parameter nilai yang masih hidup?
Polri :
Hukum adat kalau dikodifikasikan akan merepotkan. Lebih baik tidak perlu
Benny K Harman :
Sekian Pemaparan dari Pembicara Sesi Pertama Apabila ada yang ingin didiskusikan lebih lanjut dapat menghubungi para Pembicara langsung. Sekian, terima kasih. Wassalamualaikum wr wb.
Diskusi Selesai pada pukul 12.30