FGD R KUHP – Komisi III DPR RI: Mengenal sistem Pemidanaan yang Adil dan Tidak Merusak yang sesuai dengan Tujuan Pemidanaan

Sesi II hari Kamis, 22 Oktober 2015

Pukul 09.30-13.00

Narasumber :

Prof Muladi

Prof Bagir Manan

Leiden University expert

Moderator :

Desmond Mahesa (Komisi III DPR RI)

Tema : Mengenal sistem Pemidanaan yang Adil dan Tidak Merusak yang sesuai dengan Tujuan Pemidanaan

Diskusi Dimulai pada pukul 09.30 WIB

Desmond Mahesa :

Assalamualaikum Wr Wb, Adapun tema dari sesi pertama yang akan disampaikan pada pagi hari ini yaitu “:Mengenal sistem Pemidanaan yang Adil dan Tidak Merusak yang sesuai dengan Tujuan Pemidanaan”. Pembicara yang hadir di tengah-tengah kita adala Prof Muladi dan Prof Bagir Manan

serta Leiden University Expert. Adapun Sesi ini akan membahas Sistem Pemidanaan.

Kepada pembicara pertama yaitu Prof Muladi saya persilahkan.

Muladi :

Assalamualaikum wr wb, Saya akan berbicara mengenai Sistem Pemidanaan yang Adil dan tidak Merusak yang sesuai dengan Tujuan Pemidanaan. Ada lebih dari 15 poin.

Sistem Pemidanaan terkait dengan 3 (tiga) elemen yaitu pengaturan tentang jenis Pidana (Strafsoort), Berat Ringannya Pidana (Strafmaat) dan cara Pidana dilaksanakan (Strafmodaliteit). Sistem pemidanaan tidak hanya merupakan sistem fisik (struktural dan substantif) tetapi juga merupakan sistem abstrak (kultural)yang sarat dengan filosofi dan hakikat pemidanaan.

KUHP Indonesia merupakan copy dari KUHP Belanda 1886 yang banyak dipengaruhi KUHP Prancis 1791 dan merupakan aliran klasik. Aliran Klasik sangatlah membatasi kebebasan Hakim

Yang Pertama yaitu Tujuan dan Hakikat Pemidanaan, Tim Perumus KUHP memperbandingkan berbagai teori baik yang bersifat relatif, absolut atau retributif. Pada akhirnya Tim Perumus sampai pada perumusan campuran sebagaimana pada pasal 55 R KUHP. Yang kedua yaitu Pedoman Pemidanaan, Ide dasar untuk menciptakan rumusan tentang pedoman pemidanaan terkait dengan fenomena disparitas pidana yang diberbagai negara dianggap sebagai masalah kritis. Prof Molly pernah mengadakan riset yang hasilnya menyimpulkan bahwa kegagalan sistem pembinaan napi akibat disparitas pidana. Disparitas pidana terjadi karena kekuasaan kehakiman yang merdeka memberikan kebebasan pada hakim untuk menentukan berat ringannya suatu putusan. Monopoli kekuasaan hakim ini perlu untuk disertai dengan akuntabilitass. Dalam R KUHP Pedoman pemidanaan diatur di dalam Pasal 56 R KUHP.

Yang ketiga yaitu Syarat Pemidanaan atau Syarat Penjatuhan Pidana, dipenuhinya unsur tindak atau perbuatan pidana yaitu perbuatan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh perundang-undangan diancam dengan pidana. Perbuatan tersebut harus bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Di mana tidak terdapat alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan unsur sifat melawan hukum. Dan adanya unsur pertanggujawaban pidana atau adanya kesalahan subyektif si pelaku (Pasal 38 R KUHP).

Yang keempat yaitu, Berkembangnya pidana alternatif dari pidana kemerdekaan jangka pendek (Pidana pengawasan, pidana denda dengan sistem kategori dan Pidana kerja sosial. Selanjutnya Pidana pengawasan merupakan penyempurnaan dari pidana bersyarat (Pasal 79 R KUHP), Pidana kerja sosial (Pasal 88 R KUHP), Pidana denda kategori (Pasal 82 R KUHP), Pidana Verbal, Pidana ini berlaku bagi Pelaku TP Anak, Pidana Tutupan (Pasal 78 R KUHP), untuk tindak pidana politik, Rumah tutupan bukan suatu penjara biasa tetapi merupakan tempat yang lebih baik dari penjara biasa, Pidana pemenuhan kewajiban adat, pidana tambahan ini dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana (pasal 102 ayat (1) R KUHP), Prinsip keadilan restoratif dan sistem Pemidanaan Anak, Stelsel Pidana minimum khusus dan maksimum berdasarkan keadilan dan untuk mengurangi disparitas pidana

Selanjutnya kita juga perlu Menghindari overcriminalization sebagai wujud negara hukum bukan kekuasaan, dalam R KUHP juga perlu adanya Pengakuan HAM, asas keseimbangan dan obyektif. Yang terakhir Pidana Mati bersyarat sebagai jalan tengah abolisionis dan retensionis, mengeluarkan pidana mati sebagai pidana pokok dan menempatkannya sebagai pidana pokok yang bersifat khusus dan adanya ketentuan tentang pidana mati bersyarat merupakan usaha untuk mengambil jalan tengah

Sekian pemaparan dari saya, terima kasih, wassalamualaikum wr wb

Desmond Mahesa:

Terima kasih Pak Muladi, selanjutnya silahkan Pak Bagir Manan untuk menyampaikan pendapatnya

Bagir Manan :

Banyak hal yang bisa dicermati dari pemaparan prof muladi, Saya ingin menyempaikan pandangan saya mengenai Pidana Alternatif. Begitu pula mengenai kebebasan pers. Sehingga saya akan memberikan catatan catatan awam saja mengenai bagaimana seharusnya R KUHP mengatur

Saya akan memulai dengan kodifikasi terlebih dahulu, yang perlu dipikirkan yaitu konsekuensi dari kodifikasi. Basic Policy yang kita harapkan dari kodifikasi, saya tahu bahwa kodifikasi tidak hanya menjamin kepastian hukum namun riwayatnya adalah agar hukum di masyarakat dapat terakomodir. Yang kedua kodifikasi digunakan agar hakim tidak sembarang dalam memutuskan suatu perkara. Yang diketahui di Indonesia, Hakim tunduk pada perintah Undang-Undang dan Hukum Adat bukan ketentuan di dalam Undang-Undang. Sehingga untuk permasalahan hukum adat Hakim tidak terikat dengan ketentuan hukum adat. Namun Hakim perlu untuk melihat nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Sehingga dalam hal ini hukum adat menjadi hidup dan perlu dipertimbangkan dalam pengambilan putusan seorang Hakim

Andi Nirwanto (Kejaksaan Agung) :

Kami dari Kejaksaan tetap pada usulan pertama kami, kami menginginkan ketentuan mengenai Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang untuk dipisahkan atau dicabut dari ketentuan R KUHP karena ketentuan itu akan mengebiri kewenangan kami dalam Penindakan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya, Dari praktek penegakan hukum banyak para pelaku yang umurnya dibawah 18 tahun melakukan kejahatan yang dampaknya justru melebihi daripada pelaku yang berumur dewasa. Bila hal ini diterapkan sebagaimana tertuang dalam Pasal 71 bahwa terhadap pelaku yang umurnya belum 18 tahun tidak dipidana. Oleh karena itu batasan umur yang tercantum dalam Pasal 71 perlu dipertimbangkan. Terima kasih

Prof Nicko (Leiden University):

Hukuman mati adat jarang dan luar biasa sehingga jarang dilaksanakan. Berdasarkan rezim Kaisar Nero dulu yang sangat sering melakukan hukuman mati. Pada abad pertengahan juga banyak terjadi hukuman mati. Pada saat itu para Penyihir dihukum mati. Pada saat Raja Inggris dan Prancis dulu berkuasa sangat besar, hukuman mati diterapkan dimana-mana. Pada abad ke 19 yang merupakan masa surut. Mulai dikurangi hukuman mati. Sehingga berangsur-angsur hukuman mati dihilangkan oleh rezim yang berkuasa. Dan setelah perang dunia kedua, hukuman mati mulai dihilangkan oleh Negara-negara Eropa tepatnya setelah Pengadilan Nuremberg dilaksanakan. Pada saat ini kewajiban Internasional mewajibkan untuk penghapusan hukuman mati, dan gerakan hukuman mati mulai bergema di seluruh dunia.

Begitu juga ICC, saat ini yurisdiksi ICC hanya untuk menghukum pidana saja dan tidak berwenang untuk melakukan hukuman mati. Penghapusan hukuman mati disuarakan sebagai bentuk dari penghormatan terhadap hak asasi manusia. Sidang Umum PBB juga sudah meminta negara-negara untuk melakukan moratorium terhadap pelaksanaan hukuman mati bagi negara yang sudah menjatuhkan hukuman mati.

Leave a Reply