FGD R KUHP – Komisi III DPR RI: Perkembangan Bentuk Sistem Pertanggungjawaban Pidana yang Sesuai dengan Cita-Cita Negara Indonesia yang Modern

Sesi III hari Rabu, 21 Oktober 2015

Pukul 19.30-22.00

Pembicara :

Prof Nicko (Leiden University)

Prof Harkristuti Harkrisnowo (UI)

Prof Adrianus Meliala (UI)

Moderator :

Trimedya Panjaitan (Komisi III DPR RI)

Tema : Perkembangan Bentuk Sistem Pertanggungjawaban Pidana yang Sesuai dengan Cita-Cita Negara Indonesia yang Modern

Diskusi Dimulai pada pukul 19.30 WIB

Trimedya Panjaitan :

Assalamualaikum Wr Wb, Adapun tema dari sesi ketiga yang akan disampaikan pada malam hari ini yaitu “:Perkembangan Bentuk Sistem Pertanggungjawaban Pidana yang Sesuai dengan Cita-Cita Negara Indonesia yang Modern”. Pembicara yang hadir di tengah-tengah kita adalah Prof Nicko dari Leiden University, Prof Harkristuti Harkrisnowo dari UI, serta Prof Adrianus Meliala dari UI. Kepada pembicara pertama saya persilahkan.

Prof Harkristuti Harkrisnowo

Terima kasih, saya akan mencoba menyampaikan pandangan saya mengenai PetanggungJawaban Pidana khususnya dalam Hal Pertanggungjawaban Korporasi. Seperti yang kita ketahui Perbuatan pidana ditambah dengan kesalahan menghasilkan Pertanggungjawaban Pidana.

Terdapat dua aliran dalam Pertanggungjawaban pidana yaitu yaitu Aliran Monistis dan Dualistis.

Aliran Monistis yaitu Pandangan dalam ilmu hukum pidana yang tidak memisahkan antara perbuatan dengan pertanggungjawaban pidana, sedangkan Aliran dualistis yaitu Pandangan dalam ilmu hukum pidana yang memisahkan antara perbuatan dengan pertanggungjawaban pidana.

Sementara kita tahu terdapat, Empat pengertian kesalahan yaitu :

  1. Kesalahan sebagai unsur delik
  2. Kesalahan dalam arti pertanggungjawaban pidana (Ketercelaan seseorang)
  3. Kesalahan dalam arti bentuk khusus (culpa)
  4. Kesalahan yang digunakan dalam rumusan delik untuk menetapkan bahwa pidana dapat diancamkan pada pelaku

Dapat dipersalahkan sehingga dapat dipertanggungjawabkan, terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi yaitu kemampuan bertanggungjawab, ada hubungan psikis antara pelaku dengan perbuatannya dan tidak ada dasar penghapus kesalahan.

Kesalahan sebagai Dolus dibagi menjadi Sengaja sebagai maksud atau tujuan, sengaja berkeinsyafaan kepastian dan sengaja berkeinsyafan kemungkinan. Kesalahan sebagai Culpa dibagi menjadi Culpa Lata dan Culpa Levis.

Ketiadaan Alasan pemaaf, Alasan Pemaaf yaitu alasan yang dapat menghapus pidana seseorang yang telah memenuhi unsur tindak pidana, karena adanya : tidak sehat jiwanya, adanya daya paksa, bela paksa melampaui batas, dengan itikad baik menjalankan perintah yang tidak sah, tiada kesalahan, belum cukup umur untuk bertanggung jawab secara pidana

Kemampuan bertanggungjawab, Pelaku melakukan perbuatannya dengan bebas tanpa paksaan, pelaku menginsyafi bahwa perbuatannya melawan hukum dan mengerti akibatnya. Dalam praktik setiap pelaku dianggap mampu bertanggungjawab ; kecuali bila ada dugaan pelaku sakit jiwa atau tidak sempurna tumbuhnya.

Asas Pertanggungajawaban pidana : Tiada Pidana tanpa kesalahan/actus non facit reum, nisi mens sit rea. Seseorang hanya dapat bertanggung jawab secara pidana apabila kesalahannya dapat dibuktikan, meskipun seseorang telah melakukan perbuatan melawab hukum namun tanpa adanya kesalahan maka dia tidak dapat dipidana. Tiada Pidana tanpa kesalahan merupakan salah satu bentuk Asas Legalitas

Selanjutnya, kita masuk ke dalam Korporasi sebagai subyek hukum pidana. Pada awalnya kita mengenal konsep “individual criminal liability”. Asas tiada pidana tanpa kesalahan, kesalahan hanya dapat dimiliki oleh manusia (natural person) yang mampu berkehendak. Yang dapat dipidana hanyalah manusia karena hanya manusia yang dapat merasakan derita.

Namun ternyata tindak pidana yang dilakukan korporasi acapkali membawa akibat atau kerugian yang sangat besar dibandingkan dengan yang dilakukan individu.

Di Prancis tahun 1579 memperkenalkan tanggungjawab pidana korporasi. Tahun 1988 the Council of Europe merekomendasikan negara Eropa untuk mempertimbangkan pertanggungajawaban pidana korporasi. Belanda, Prancis, Belgia, mengikuti rekomendasi ini segera. Inggris mengatur korporasi sebagai subyek hukum pidana tahun 1840, walau hanya strict liability. Lalu terdapat pro dan kontra pertanggungajawaban korporasi tersebut

Lalu Council of Europe memberi saran yaitu : Perusahaan harus bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan dalam kegiatan usaha mereka, termasuk juga kejahatan diluar tujuan perusahaan. Tanggung jawab perusahaan bersifat tambahan atas tanggung jawab individual dan penerapan sanksi harus sesuai proporsional dengan kerugian atau potensi bahaya yang ditimbulkan

Adapun, Doktrin tentang Pertanggungjawaban Korporasi yaitu Strict Liability, diterapkan pada tindak pidana yang membahayakan ketertiban dan keamanan umum hal ini Diatur di Pasal 88 UU PPLH. Vicarious Liability, seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain hal ini Diatur di Pasal 116 UU 32/2009 LH

Tindak pidana oleh Korporasi, yang dapat bertanggung jawab yaitu Korporasi itu sendiri, pengurus atau Korporasi dan Pengurus.. Masalah yang terjadi yaitu kecenderungan Penegak hukum hanya menjatuhkan pidana pada pengurus saja karena memudahkan pemidanaan.

Jenis sanksi pada korporasi menurut Pasal 82 R KUHP yaitu Pidana Pengganti denda untuk korporasi, serta Pidana tambahan bagi korporasi. Sekian dari saya, terima kasih.

Adrianus Meliala :

Saya akan menyampaikan pertanggungjawaban pidana dari sudut pandang keilmuan saya, yaitu Kriminologi. Pertama-tama saya perlu menjelaskan mengenai Classical Criminology yang dipengaruhi oleh penjelasan natural. Kejahatan lahir sebagai produk free choice dari individu dan hukuman memiliki tujuan untuk menangkal atau mencegah individu melakukan kejahatan tertentu.

Prinsip penangkalan. Pelaku Kejahatan yang rasional diasumsikan akan menimbang-nimbang antara keuntungan dan kerugian melakukan kejahatan, mereka akan melakukan kejahatan apabila keuntungannya lebih tinggi dari kerugiannya

Prinsip beccaria terhadap penggunaan hukum dan penghukuman, pembuat hukum seharusnya mendefinisikan kejahatan dan hukumannya secara jelas, peran hakim seharusnya menentukan kesalahan seseorang. Derita yang muncul di masyarakat digunakan untuk menentukan apakah suatu kejahatanh serius atau tidak. Hukuman harus proporsional. Penghukuman harus cepat dan pasti serta tepat dan tertentu. Hukum untuk mencegah kejahatan terjadi. Sebelum menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak kriminal harus memperhatikan kriteria umum

Kebijakan pidana, tentang bagaimana negara bereaksi terhadap penyimpangan, pelanggaran aturan dan kejahatan, dalam rangka menyambut reaksi sosial dari masyarakat, melalui berbagai mekanisme dan atribut formal khas negara

Mengapa Perspektif Ekonomi kerap terlupakan, terdapat pilihan kebijakan yang relatif lebih mahal dibanding yang lain, namun diambil karena satu dan lain hal. Pilihan kebijakan pidana : Kriminalisasi, Kodifikasi, Legalisasi, Ratifikasi, Inkapasitasi, Prisonisasi. Alternatifnya : De- Kriminalisasi, De- Kodifikasi, De-Legalisasi, De-Ratifikasi, De-Inkapasitasi, De-Prisonisasi

Kecenderungan Revisi KUHP, berpotensi membuat KUHP semakin tebal karena yang baru dimasukkan, yang sudah ada direvisi tapi tidak ada yang dikeluarkan. Kasus UU Sistem Peradilan Pidana Anak, Apakah seimbang dengan dampak menurunnya kenakalan anak? Belum tentu

Kasus KPK Mania, semua masalah harus diselesaikan melalui penegakan hukum. Sekali dimulai penegakan hukum harus jalan dan apabila berhenti di tengah-tengah pasti ada apa-apanya. Pertimbangkan Pilihan Kebijakan Alternatif/Terobosan/Reformis

Saya menyarankan Pemerintah haruslah mencoba menggunakan Restorative Justice karena memberikan banyak manfaat dan Keuntungan. Sekian dari saya, terima kasih

Prof Nicko :

Di Belanda Perusahaan bisa bertanggungjawab secara pidana, hal yang perlu diperhatikan apakah korporasi mendapatkan uang atau keuntungan dari Tindak Pidana yang dia lakukan?

Hal ini bisa menjadi contoh misal Perusahaan Pembakar Hutan di Indonesia harus bertanggungjawab sesuai dengan perbuatannya. Hal ini merupakan hal perlu dipertimbangkan untuk melihat apakah perusahaan tersebut dapat bertanggungjawab atau tidak?

Dalam Peradilan Pidana tidak ada kriteria ketat dan MA Belanda sekedar menyusun saja panduan untuk Pengadilan di bawahnya. Ada ketentuan hukum yang saya suka yaitu pengetahuan, kelalaian adalah merupakan kesalahan yang tidak dapat ditolerir. Ini Berlaku juga kepada korporasi. Saya menyukai ketentuan ini.

Jaksa Agung dan MA namun belum mengeluarkan panduan yang ketat, saya lebih suka panduan yang ketat.

Diskusi selesai pada pukul 22.00 WIB

Leave a Reply