Hukum Yang Hidup Dalam Rancangan Undang Undang Kitab Undang Undang Hukum Pidana
Rancangan Undang- Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) meneruskan suatu tradisi yang sudah berlangsung sejak era kolonialisme yaitu akomodasi Hukum yang Hidup atau Hukum Adat ke dalam sistem hukum formal. Dalam bidang hukum pidana, sekalipun sejak tahun 1918 telah dilakukan unifikasi hukum, tidak lantas sama sekali menghapuskan tradisi akomodasi. Dalam era Indonesia merdeka, tradisi akomodasi oleh hukum pidana formal muncul dalam Undang-Undang Darurat No. 1/1951 tentang Tindakan- Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil.
RUU KUHP (versi 28 Agustus 2019) telah mengakomodasi Hukum Adat dengan cara yang terbilang tidak biasa bila diukur dari dua hal. Pertama, jumlah ketentuan yang menyebut-nyebut mengenai kedudukan atau peran Hukum (Pidana) Adat dalam pemidanaan yaitu sebanyak 15 ketentuan (lihat Lampiran I). Kedua, kedudukan hukum pidana adat mencakup dasar pemidanaan, pertimbangan pemidanaan, dan bahkan sebagai sanksi pidana. Akomodasi yang tidak biasa ini dan peran sentral KUHP dalam sistem hukum nasional, membuat RUU KUHP seperti menghidupkan kembali momentum memberikan peran penting Hukum Adat dalam sistem hukum nasional. Tidak hanya itu, akomodasi ini juga seperti menggoyahkan tesis dasar Positivisme Hukum, yang menjadi penopang utama bagi sistem hukum pidana, yaitu aturan hukum hanya yang bersumber dari negara (the sovereign) dan dipositifkan dengan cara menuliskannya.
Untuk mencermati soal akomodasi Hukum Adat ke dalam RUU KUHP diperlukan pemeriksaan yang seksama. Pemeriksaan dilakukan dengan cara menyisir seluruh ketentuan dalam RUU ini yang menyebut hukum pidana adat baik yang tersurat maupun tersirat. Untuk memahami eksemplar-eksemplar pemikiran dibalik teks-teks ketentuan, Naskah Akademik RUU ini juga dibaca untuk disimak. Tujuan pencermatan ini, tidak lain, untuk memahami cara berpikir RUU KHUP mengenai Hukum yang Hidup dan penuangannya kedalam ketentuan-ketentuan.
Naskah ini dibagi menjadi lima bagian utama. Pertama, uraian mengenai pemikiran-pemikiran yang mendasari akomodasi hukum pidana adat dalam RUU KUHP (Bagian B). Kedua, deskripsi dan ulasan kritis tentang bagaimana RUU KUHP memposisikan hukum pidana adat (Bagian C). Ketiga, naskah ini menunjukan bahwa sekalipun mempunyai 15 ketentuan guna mengkomodasi hukum pidana adat, RUU KUHP masih mengandung kelemahan pada aspek doktrinal, berpotensi mendegradasi hukum adat, dan mendatangkan dampak-dampak sosial yang buruk. RUU ini menyimpan masalah doktrinal karena kabur dan inkonsisten dalam menjelaskan istilah ‘Hukum yang Hidup’. Masalah doktrinal terletak pada penggunaan lima istilah untuk menunjuk Hukum yang Hidup, tanpa menjelaskan perbedaan masing-masing (Bagian D.1). Adapun potensi dampak sosial yang buruk dapat berasal dari rencana menuliskan atau mengkodifikasi hukum adat (Bagian D.2). Hukum adat dapat bermetamorfosa dari aturan sumbernya adalah kehidupan sosial sehari-hari (customary living law) menjadi aturan yang sumbernya berupa dokumen tertulis (lawyer’s law, official customary law). Bila dilakukan dengan tanpa agenda mendorong transformasi sosial komunitas adat, akomodasi hukum adat dalam RUU KUHP dapat berujung pada pelanggengan relasi sosial diskriminatif pada kelompok rentan. Keempat, pandangan dan sikap koalisi masyarakat sipil terhadap akomodasi pidana adat dalam RUU KUHP (Bagian E). Kelima, uraian ditutup dengan tawaran dan gagasan kami terkait akomodasi hukum adat yang lebih utuh dan terhubung dengan realitas sosio-kultural masyarakat (Bagian F). Sebagai brief paper, naskah ini tidak memilih menanggapi redaksional teks-teks dalam RUU KUHP, namun berfokus pada konstruksi pemikiran yang mendasari rumusan teks
- Pusat Kajian Hukum Adat ‘Djojodigoeno’ Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
- Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa)
- Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
- Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
- debtWATCH Indonesia
- Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
- Public Interest Lawyer Network (PILNET Indonesia)
- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
Unduh Publikasi Disini