Indonesia Masih Butuh Pengaturan Penyiksaan dalam Rancangan KUHP, Rancangan KUHAP dan RUU Penyiksaan

“Sudah Lama Indonesia Menunggu Lahirnya Tindak Pidana Penyiksaan”

Pada 26 Juni 2015, Indonesia dan Dunia akan memperingati hari anti penyiksaan Internasional. Praktis, sudah 17 tahun Indonesia meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan, namun sampai saat ini situasi regulasi anti penyiksaan di Indonesia masih lemah. Salah satu problem yang paling mendasar adalah masalah legislasi yang dianggap memberikan celah paling besar terhadap praktik penyiksaan. Working Group on the Advocacy Against Torture (WGAT), Koalisi masyarakat sipil untuk Advokasi Anti Penyiksaan, melihat bahwa Indonesia sampai saat ini tidak memiliki regulasi yang secara khusus mengatur penegakan dan penghukuman bagi pelaku-pelaku penyiksaan.

Masih digunakannya KUHP khususnya ketentuan-ketentuan mengenai penganiayaan dalam menjerat pelaku-pelaku penyiksaan menjadikan gradasi tindak pidana penyiksaan menjadi “turun” menjadi penganiayaan biasa dan tidak memberikan efek jera bagi pelaku;  Akibatnya, hukuman bagi pelaku-pelaku penyiksaan – karena dijerat dengan KUHP – ringan, sehingga mengakibatkan pelaku tak tersentuh hukum, serta berpotensi untuk mengulangi perbuatannya. Regulasi KUHP tidak dapat menjadi sarana untuk menghentikan (non recurence)  berulangnya praktik-praktik penyiksaan.

Berdasarkan pemantauan  WGAT di beberapa rancangan undang-undang yaitu, R KUHP, R KUHAP serta RUU Anti Penyiksaan sebetulnya telah memasukkan materi anti penyiksaan. Namun semua RUU tersebut belum dibahas di DPR. Hanya R KUHP 2015  yang saat ini masih dalam proses awal pembahasan di DPR. Sedangkan R KUHAP belum masuk prioritas 2015, dilain sisi RUU penyiksaan belum rampung penyusunannya. WGAT memiliki beberapa catatan penting terkait beberapa materi dalam rangka mengarusutamakan prinsip anti penyiksaan dalam pengaturan R KUHAP.

Saat ini, R KUHP 2015 telah coba mengatur tindak pidana penyiksaan dalam Pasal 668 dan 669 R KUHP. Pasal 668 mengatur mengenai tindak pidana Pegawai negeri yang dalam perkara pidana menggunakan paksaan, baik paksaan agar orang mengaku maupun paksaan agar orang memberikan keterangan. Sedangkan dalam Pasal 669mengatur tindak pidana  bagi setiap pejabat atau orang-orang lain melakukan perbuatan yang menimbulkan penderitaan atau rasa sakit yang berat, baik fisik maupun mental terhadap seseorang dengan tujuan untuk memperoleh dari orang tersebut atau pihak ketiga informasi atau pengakuan.

 Penyiksaan dalam dua ketentuan R KUHP masih kurang kuat mengingat terjadi pengurangan ancaman pidana bagi pelakunya. Kriminalisasi penyiksaan dalam R KUHP juga masih terbatas karena hanya mengkriminalisasi Pasal 1 Konvensi Anti Penyiksaan dan belum mengatur ketentuan kriminal atas Pasal 16 Konvensi Anti Penyiksaan yang pada pokoknya mengatur tentang perbuatan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat.

 Sedangkan dalam pengaturan R KUHAP masalah jangka waktu penahanan masih menjadi sorotan dimana muatan RKUHAP tersebut tidak sesuai dengan prinsip Internasional yang memerintahkan agar setiap penahanan yang dikenakan wajib meminta ijin dari Hakim dengan menghadapkan orang tersebut kedepan Hakim. Dalam R KUHAP, polisi diijinkan untuk melakukan penahanan selama 5 hari tanpa ijin dari Hakim. Lamanya masa penahanan menjadi akar dari terjadinya penyiksaan, ditambah dengan masih terdapatnya dualisme pengelolaan tempat penahanan, sehingga aparat penegak hukum seperti Polisi dapat menahan seseorang di kantor – kantor polisi.

R KUHAP masih belum memuat ketentuan yang mewajibkan setiap tersangka untuk didampingi penasihat hukum pada setiap pemeriksaan. Ketidakhadiran penasihat hukum mengakibatkan metode interogasi diserahkan sepenuhnya kepada penyidik tanpa ada pengawasan dari penasihat hukum ataupun adanya rekaman sebagai bukti tidak terjadinya tindakan penyiksaan tidak difasilitasi. Akibatnya celah ini sering dimanfaatkan untuk memaksa keterangan dan mendapatkan pengakuan dari orang atau tersangka yang diperiksa. R KUHAP juga belum  secara eksplisit memuat doktrin The Exclutionary Rule (alat bukti yang tidak dapat digunakan di persidangan) dalam pengumpulan alat bukti sebagai dasar pembuktian dipersidangan. Dalam KUHAP saat ini hanya diatur alat bukti yang sah, tanpa menekankan bahwa alat bukti tersebut tidak boleh didapat secara melawan hukum. R KUHAP harus memuat ketentuan yang menyebutkan bahwa setiap alat bukti yang didapat dengan metode penyiksaan, dan secara melawan hukum pada umumnya, harus dinyatakan tidak sah dan tidak memiliki kekuatan pembuktian di persidangan. Dengan begitu ada desakan kepada aparat penegak hukum untuk meninggalkan praktik-praktik penyiksaan guna mendapatkan alat bukti. Terakhir, hal yang tidak kalah penting adalah R KUHAP harus mengatur secara tegas mengenai pemulihan atau reparasi korban penyiksaan.

Mengenai RUU Penyiksaan yang di inisiasi oleh Kementrian Luar Negeri (Kemlu) dan Kementrian Hukum dan HAM (Kemenhukham) sejak tahun 2014 sampai saat ini prosesnya masih tertahan di Kemenhukham, berdasarkan pemantauan WGAT, beberapa kali pertemuan telah dilaksanakan antara Kemenhukham dan lembaga terkait serta masyarakat sipil, namun nampaknya RUU Penyiksaan masih membutuhkan waktu panjang. Menjadi catatan penting bahwa RUU Penyiksaan mestinya bisa mengisi kekosongan pengaturan yang lebih fokus mengenai penyiksaan, sembari menunggu pemerintah meratifikasi Optional Protocol to the CAT (OPCAT), sebuah instrumen internasional turunan konvensi anti penyiksaan yang menekankan pengawasan dan monitoring tempat-tempat yang rentan menjadi lokasi penyiksaan.

Terkait hal tersebut WGAT mendesak Pemerintah Indonesia sesegera mungkin mendorong secara serius prinsip-prinsip anti penyiksaan dalam regulasi-regulasi yang saat ini akan dibahas di DPR maupun dalam tahapan penyusunan di Pemerintah. WGAT menyerukan kepada Pemerintah dan DPR mengupayakan seluruh langkah yang bisa diambil untuk memastikan Indonesia berkomitmen untuk melawan segala tindakan penyiksaan, salah satu yang paling penting adalah dengan merampungkan pembahasan R KUHP, R KUHAP dan RUU Anti Penyiksaan guna mewujudkan komitmen anti penyiksaan itu sendiri.

WGAT, Working Group on the Advocacy against Torture: ELSAM [Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat], ICJR [Institute For Criminal & Justice Reform], HRWG [Human Rights Working Group], PBHI [Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia], YPHA [Yayasan Pemerhati Hak Anak], KPI [Koalisi Perempuan Indonesia], LBH Jakarta dan Elpagar Kalbar.

Leave a Reply