Ini Ragam Persoalan RKUHP Versi Pemerhati Hukum
Tak banyak mengalami perubahan. Substansinya baru sekedar penambahan dari KUHP dan delik-delik tindak pidana yang tersebar di luar KUHP.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengeluarkan Surat Presiden (Surpres) mengenai kesiapan pemerintah dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada 5 Juni 2015 lalu. Tapi sayangnya, RKUHP yang dibuat pemerintah tersebut masih memiliki beberapa permasalahan.
Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Arsil mengatakan, persoalan tersebut berkaitan dengan substansi dari RKUHP itu sendiri. “Pada prinsipnya RKUHP yang ada sekarang masih cukup bermasalah. Permasalahannya jika ditarik ke sejarah, dari awal memang sudah bermasalah,” ujarnya saat menjadi narasumber dalam diskusi “Pembaruan Hukum Pidana Materill di Indonesia”, di Jakarta (8/6).
Arsil mengatakan, RKUHP yang ada saat ini sebenarnya sudah pernah dibahas dan dirancang dalam Seminar Hukum Nasional I di Semarang tahun 1963 lalu. Kala itu, seminar tidak hanya membahas soal KUHP, melainkan dibahas juga mengenai beberapa undang-undang besar, diantaranya KUHAP, KUH Perdata, KUH Dagang.
Sehingga, lanjut Arsil, hasil seminar mengenai KUHP tidak begitu siginifikan. “Kalau kita lihat, hasil dari seminar itu sebenarnya pembaruan hukum pidana saat itu tidak terlalu besar dari KUHP yang digunakan pada saat itu (dengan sampai sekarang yang masih digunakan, red),” katanya.
Meski tidak menghasilkan hasil yang signifikan, seminar hukum nasional yang pertama itu menjadi titik awal penelusuran sejarah pembahasan KUHP di Indonesia. Menurut Arsil, salah satu hasil seminar itu di antaranya mengenai penambahan delik-delik yang dimasukan dalam KUHP.
“Esensi yang ada dalam pembaruan hukum pidana kita yang dalam pembahasan RKUHP saat ini sebenarnya berasal dari Seminar Hukum Nasional tahun 1963. Yang mana mengatur soal penembahan delik-delik tentang kejahatan keamanan negara, lalu delik soal tindak pidana ekonomi, delik yang memasukan nilai adat, lalu nilai-nilai Islam, dan kesusilaan,” jelasnya.
Tapi sayangnya, lanjut Arsil, dalam RKUHP yang akan dibahas DPR dan Pemerintah tersebut tidak memiliki perubahan yang signifikan dari hasil seminar tahun 1963 silam. Substansi dalam RKUHP yang akan dibahas oleh DPR dan pemerintah hanya berisi delik-delik tambahan dan ketentuan dalam KUHP yang berlaku sekarang plus delik-delik pidana yang tersebar di luar KUHP.
“Jadi, dia hanya merekodifikasi tindak pidana yang ada dalam KUHP, yang ada di luar KUHP, kemudian digabungkan beberapa tindak pidana baru yang idenya itu sudah ada pada tahun 1963. Bahkan bisa dibilang hampir 95 persen, materi yang ada dalam KUHP (yang berlaku saat ini, red), itu tetap ada,” ujar Arsil.
Arsil mengingatkan bahwa, yang terpenting dari pembaruan hukum pidana nasional adalah kualitas dari rumusan RKUHP. Sehingga, jangan hanya terjadi duplikasi pasal-pasal yang ada dalam KUHP yang sekarang, tapi substansi dalam RKUHP wajib selaras dengan dinamika pemidanaan yang terjadi saat ini. Selain itu, pembaruan hukum pidana juga harus sejalan dengan arah politik hukum pidana di Indonesia.
Hal serupa juga diutarakan Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Miko S Ginting. Menurutnya, persoalan lain yang wajib jadi konsentrasi pembentuk UU adalah metode pembahasan. Ia mengatakan, RKUHP memiliki karakteristik yang berbeda dengan UU lainnya. Sehingga, pembahasannya juga dengan metode yang khusus juga.
Menurut Miko, pembentuk UU harus mengelompokkan titik fokus dalam topik-topik pembahasan. Hal itu dilakukan dengan memilih dan memilah delik apa yang masih relevan dengan dinamika pemidanaan. “Pertama dilakukan adalah mengevaluasi seluruh delik-delik yang ada dalam KUHP. Kemudian yang mana masih akan dijadikan sebagai perbuatan pidana (kejahatan), mana yang kemudian perbuatan yang masih diancam dengan pidana penjara,” jelasnya.
Tak hanya itu, Miko mendorong agar pembahasan RKUHP menggunakan Metode Clustering. Metode itu, masih berkaitan dengan metode pertama di mana topik-topik permasalahan dikelompokkan sesuai dengan karakteristiknya. Ia percaya, dengan metode itu pembahasan RKUHP bisa selesai tepat waktu.
Selama ini, Miko menambahkan, pembentuk undang-undang sering terjebak ketika menggunakan metode DIM (Daftar Inventaris Masalah), yang memakan waktu dengan memperdebatkan pasal per pasal dan bahkan kata per kata. “Nah, Metode DIM itu seringkali menjebak untuk membahas kata per kata. Metode Clustering ada dua tim, pertama tim substansi dan kedua tim redaksional,” pungkasnya.
Sumber: HukumOnline.com