Jalan Tengah Diterapkannya Hukuman Mati, RKUHP Berikan Harapan Pengampunan
Wacana penghapusan hukuman mati dari peradilan pidana Indonesia masih menghadapi jalan terjal karena kuatnya pro dan kontra di masyarakat. Padahal, mayoritas negara di dunia sudah menghapuskan hukuman mati. Di Indonesia, polarisasi itu coba ditengahi dengan pengaturan di Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sudah lama dibahas di DPR bersama pemerintah.
Indonesia termasuk salah satu negara yang mempertahankan hukuman mati dalam peradilan pidananya. Padahal, berdasarkan data Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), sudah ada 144 negara yang menolak hukuman mati. Tersisa 55 negara, termasuk Indonesia yang masih mempertahankan hukuman mati.
Berdasarkan data dari Kementerian Hukum, dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), saat ini terdapat 404 terpidana hukuman mati dari tujuh jenis kejahatan. Hukuman mati paling banyak dijatuhkan pada perkara narkotika 260 terpidana, dan pembunuhan 118 terpidana. Dari kedua perkara itu, jumlah perempuan terpidana mati dari kasus narkoba ada enam orang, dan lima orang untuk kasus pembunuhan.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly saat ditemui di kantornya, Rabu (1/12/2021), mengatakan, hukuman mati adalah pidana pokok yang diberlakukan untuk melawan kejahatan serius salah satunya narkotika. Yasonna mengakui, walaupun eksekusi terpidana mati sudah dilakukan selama tiga gelombang di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, hunian di lembaga pemasyarakatan tetap meningkat. Hunian terutama didominasi oleh tindak pidana narkotika.
”Walau sudah ada eksekusi mati, (kejahatan) narkoba jalan saja. Coba kalian lihat di Amerika Serikat yang banyak menghukum mati. Di sana tingkat kriminalitas tetap lebih tinggi daripada di Eropa yang tidak menerapkan hukuman mati. Memang saya akui tidak efektif,” kata Yasonna.
Meskipun demikian, Yasonna juga mengakui bahwa masyarakat Indonesia masih banyak juga yang menginginkan kebijakan punitif. Hal itu setidaknya terlihat dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas. Sebanyak 60,7 persen warga masih setuju dengan hukuman mati. Mereka menilai ketegasan dibutuhkan untuk mengatasi kerusakan luar biasa yang disebabkan oleh kejahatan, seperti narkoba dan terorisme.
”Masih ada dua kubu (sikap terkait hukuman mati). Maka, kita kolaborasi saja, cari jalan tengahnya. Kami belum bisa menghapus seperti tuntutan kaum abolisionis. Masyarakat kita ini masih punitif,” kata Yasonna.
Oleh karena itu, jalan tengah yang ditempuh pemerintah adalah mengusulkan revisi KUHP, RUU Pemasyarakatan, dan UU Narkotika. Dampak yang diharapkan dari perubahan regulasi itu adalah akomodasi pengampunan bagi terpidana hukuman mati setelah menunjukkan perubahan sikap dan perilaku ke arah yang lebih baik. Salah satu ukurannya adalah keberhasilan program pembinaan di lapas.
”Di RKUHP, hukuman mati bukan lagi menjadi pidana pokok, melainkan hukuman alternatif. Ada waktu 10 tahun untuk mengevaluasi sehingga lamanya hukuman bisa diubah,” kata Yasonna.
Menurut Yasonna, jika RKUHP sudah disahkan di DPR, terpidana mati yang sudah 10 tahun menjalani hukuman di penjara saat ini juga mendapatkan hak untuk dikurangi masa hukumannya. Dia menegaskan, sejak RKUHP berlaku, otomatis para terpidana mati yang memenuhi syarat bisa menggunakan haknya.
Melanggar HAM
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan, pihaknya secara tegas menentang hukuman mati untuk segala kasus tanpa terkecuali. Baik siapa yang dituduh melakukan kejahatan, sifat kejahatan, bersalah atau tidak bersalah, maupun metode eksekusi yang digunakan. Sebab, hukuman mati adalah pelanggaran hak hidup yang bertentangan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM).
”Masyarakat Indonesia belum tentu setuju dengan hukuman mati karena mereka punitif atau kejam. Bisa jadi karena sistem penegakan hukum di Indonesia yang banyak kekurangan sehingga masyarakat merasa pelaku yang tertangkap perlu dihukum seberat-beratnya,” terang Usman.
Usman juga menyebut bahwa hukuman mati di Indonesia terbukti tidak efektif dan menciptakan efek jera. Menurut hasil riset Amnesty Internasional Indonesia, hukuman mati sama sekali tidak menimbulkan efek jera. Justru, yang menimbulkan efek jera adalah kepastian adanya hukuman.
”Seharusnya yang dilakukan adalah membenahi sistem hukum yang masih melanggengkan impunitas, bukan semakin menambah tingkat kekejaman hukuman,” imbuh Usman.
Terkait dengan pengaturan norma hukuman mati di RKUHP, Usman menilai langkah tersebut perlu diapresiasi. Namun, perlu dilihat lebih detail bahwa pasal-pasal yang menetapkan hukuman mati sebagai pidana alternatif masih memberikan banyak diskresi kepada hakim. Di pasal 100 RKUHP, misalnya, disebut hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun. Jika bergantung pada diskresi hakim, artinya pengurangan hukuman mati tidak bisa dipastikan di Indonesia.
Di dunia, lanjut Usman, jumlah vonis hukuman mati menurun 36 persen dari 2019 ke 2020. Jumlah eksekusi mati juga menurun 26 persen. Apalagi, 108 negara di dunia telah sepenuhnya menghapus hukuman mati dari UU mereka. Dan 144 lainnya telah menghapus hukuman mati dalam praktik hukum mereka. Indonesia diharapkan melihat tren global ini, dan menyadari bahwa hukuman mati adalah hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan derajat dan martabat manusia.
Diskresi hakim
Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Raynov Tumorang Pamintori, berharap pemerintah dan DPR nantinya membuka kembali pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP yang sudah mendapat persetujuan tingkat pertama oleh DPR periode sebelumnya. Pembahasan ulang sejumlah hal krusial, termasuk di dalamnya soal pidana mati, penting untuk memperbaiki sejumlah hal.
Raynov mengakui bahwa pengaturan norma hukuman mati pada RKUHP dapat dibilang lebih maju daripada KUHP yang berlaku saat ini. RKUHP tidak lagi menempatkan hukuman mati sebagai pidana pokok, tetapi pidana alternatif dengan masa percobaan 10 tahun. Akan tetapi ada hal yang perlu dikritisi dalam pengaturan tersebut.
”Misalnya tentang penentuan masa percobaan 10 tahun. Kita masih bingung angka 10 tahun itu dari mana. Ini sering kita tanyakan, dan belum juga dijawab dengan clear oleh tim penyusunan RKUHP. Belum ada analisis juga apakah 10 tahun ini memang waktu yang cukup untuk menilai perubahan seseorang,” ujar Raynov.
Pasal 98 RKUHP menyebutkan, pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat.
Selain itu, ia menyikapi secara kritis tentang ketentuan bahwa masa percobaan 10 tahun tersebut bukan sesuatu yang wajib diberikan. Namun, semua itu tergantung hakim akan menjatuhkan hukuman dengan masa percobaan yang 10 tahun itu atau tidak. ”Bukan (sesuatu yang mutlak). Karena redaksionalnya hakim dapat, bukan hakim harus. Sifatnya jadi kebolehan,” ujanya.
Pasal 100 RKUHP juga berbunyi;
(1) Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun jika:
- terdakwa menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki;
- peran terdakwa dalam Tindak Pidana tidak terlalu penting; atau
- ada alasan yang meringankan.
(2) Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.
Raynov khawatir, menyerahkan keputusan pemberian masa percobaan kepada hakim justru akan menjadi sumber ”permainan” di masa mendatang. ”Lagi pula, kalau memang paradigma kita dalam penjatuhan hukum adalah untuk mengubah perilaku, mengapa masa percobaan ini tidak diberlakukan ke semua orang yang dijatuhi hukuman mati supaya mereka terdorong dan punya waktu untuk mengubah perilaku,” katanya.
Selain menyoroti regulasi hukuman mati di dalam RKUHP, Raynov juga memberi catatan mengenai pentingnya pedoman bagi apparat hukum, terutama hakim, bagaimana menangani perkara dengan ancaman hukuman mati. Hal tersebut penting untuk memastikan bahwa pidana mati tersebut dijatuhkan di titik dimana hakim tidak memiliki keraguan lagi bahwa terdakwa bersalah. Prinsipnya, beyond reasonable doubt atau tidak ada keragu-raguan lagi.
Raynov yang sebelumnya aktif mendampingi dan memantau perkara dengan terdakwa yang terancam hukuman mati mengatakan, banyak terpidana mati yang tidak mendapatkan pendampingan hukum yang layak saat proses hukum berjalan dari penyidikan, penuntutan, hingga persidangan. Ini terjadi terutama bagi para terdakwa yang lemah secara ekonomi sehingga menggunakan pengacara yang dibiayai negara. Pembelaan yang diperoleh pun sekadarnya saja.
”Banyak orang di deret hukuman mati ini adalah orang-orang yang tidak mampu membayar pengacara yang layak, jadinya mendapatkan lawyer dari penunjukan hakim. Bisa jadi mereka banyak kasus yang ditangani, sehingga tidak memiliki cukup waktu untuk bertemu kliennya untuk menggali kasus dan fakta-fakta yang meringankan. Ya itulah jadinya, sekadar ada di sidang,” kata Raynov.
Untuk itu, ia mengusulkan agar MA mengeluarkan pedoman bagaimana hakim seharusnya menangani tindak pidana yang ancamannya hukuman mati. Hal itu penting sebab hakim dapat menggali fakta apakah terdakwa selama menjalani proses hukum mulai dari penyidikan telah mendapat perlakuan sepantasnya atau sesuai haknya.
Standar yang lebih ketat bagi penanganan perkara dengan ancaman hukuman mati juga disuarakan oleh Guru Besar Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto. Ia pernah melakukan penelitian terhadap terpidana mati perempuan dan menemukan adanya irisan antara tindak pidana perdagangan orang dengan kasus narkotika yang mengantarkan para perempuan tersebut ke hadapan regu tembak.
Menurut dia, banyak terpidana mati perempuan yang sebenarnya adalah korban perdagangan orang tetapi dijerat dengan pasal perdagangan narkotika. Dalam penelitian yang dilakukan hampir dua decade lalu, ia menemukan bahwa para perempuan yang terjerat kasus narkoba karena pacar ataupun suaminya (siri atau sah). Para perempuan ini dipacari secara persisten, ada pula yang kemudian dinikahi, tetapi setelahnya diminta untuk bepergian ke negara lain atau balik ke Indonesia sembari membawa tas yang ternyata berisi narkotika.
”Ada yang diminta memakai BH yang sudah dilapisi narkoba. Saat ditanya kenapa BHnya berat, dibilang kamu tidak usah tanya-tanya. Ada pula yang diminta ke Indonesia tetapi sebelumnya diminta menelan 45 butir pil. Tertangkaplah mereka di bandara,” ujarnya.
Selama persidangan, tambahnya, para perempuan ini benar-benar tidak memahami apa yang terjadi. Sebab, bahasa hukum tidak sama dengan bahasa sehari-hari. Apalagi bagi warga asing yang tak memahami bahasa Indonesia dan juga bahasa Inggris. Menurut dia, perlu assessment ulang bagi perkara-perkara yang semacam ini. ”Kalau saya, high call-nya adalah hapus hukuman mati,” ujarnya.
Artikel asli klik di sini