Kisah Wamenkum Didatangi 12 Dubes Asing Pertanyakan Hukuman Mati di RKUHP

Jember – Rancangan KUHP dijadwalkan akan disahkan bulan ini. Berbagai isu terus menjadi diskusi yang tak berkesudahan, salah satunya soal pidana mati. Sejumlah dubes negara sahabat mendesak agar hukuman mati dihapuskan.

“Yang ingin mempertahankan hukuman mati dan paham yang ingin menghapus pidana mati sama kuatnya. Dan itu bisa dijelaskan secara teoretik dan kedudukannya sama kuat,” kata Wamenkumham Prof Edward Omar Sharif Hiariej.

Hal itu disampaikan saat menjadi dosen tamu di Fakultas Hukum Universitas Jember yang disiarkan di channel YouTube FH Unej, Kamis (2/6/2022). Hadir dalam acara itu Rektor Unej Iwan Taruna, mahasiswa Unej, dan jajaran Muspida Jember.

“Sampai dunia kiamat pun, perdebatan setuju pidana mati dan tidak setuju pidana mati pasti akan ada,” ucap Profesor UGM yang biasa dipanggil Eddy itu.

Eddy lalu menceritakan dinamika politik dalam membahas RKUHP. Salah satunya cerita kementeriannya didatangi belasan duta besar (dubes) negara sahabat.

“Karena itu, ketika kami, Pak Menteri Prof Yasonna dan saya, menerima kunjungan dari 11 duta besar Uni Eropa, semua mempertanyakan pidana mati. Yang soft hanya Amerika (Amerika Serikat) saja. Ada dari Kedutaan Amerika juga karena Amerika juga masih memberlakukan pidana mati,” ucap Eddy.

Meski didatangi banyak dubes asing, Kemenkumham tetap mempertahankan pidana mati masuk dalam RUU KUHP. Mengapa?

“Pidana mati di Indonesia ini, ini bukan persoalan hukum. Ini persoalan politik, persoalan religi,” kata Eddy tegas.

Eddy kemudian membeberkan survei yang dilakukan pada 2018 dengan 200-300 responden. Dari jumlah itu, 80 persen setuju hukuman mati. Tapi dari 80 persen itu, hanya 20 persen yang setuju teroris dihukum mati.

“Pertanyaan di awal apakah saudara setuju pidana mati? 80 persen setuju dengan pidana mati. Di bagian akhir ada pertanyaan apakah saudara setuju teroris dijatuhi hukuman mati? Dari 80 persen, tinggal 20 persen yang setuju teroris dijatuhi hukuman mati. Ini kan bukan persoalan hukum. Harusnya konsisten. Ini berarti apa? Ini bukan persoalan hukum, ada politik, ada persoalan religi,” ucap Eddy.

Sementara itu, Dekan FH Unej Prof Bayu Dwi Anggono menyatakan kuliah umum kali ini bisa menjadi sarana sosialisasi Rancangan KUHP bagi masyarakat, khususnya kelompok akademisi. Hal itu sesuai dengan amanat UU tentang Pembentukan Perundang-Undangan.

“Ini bisa menjadi sarana sosialisasi. Bagaimana sih perkembangan RUU KUHP kita yang rencananya akan disahkan Juni 2022 ini. Bulan ini. Sejauh mana perkembangan? Menarik kita dengarkan bersama,” ujar Prof Bayu.

Baca berita selengkapnya di sini 

Leave a Reply