Kodifikasi RKUHP yang Masih “Setengah Hati”
Tenaga Ahli Anggota Komisi III Fraksi PKS DPR RI, Mei Susanto mengatakan, kodifikasi RKUHP masih “setengah hati”. Hal ini terlihat dari belum jelasnya metode kodifikasi yang akan dilaksanakan DPR dan Pemerintah. Apalagi, banyak UU yang memberikan kesempatan pencantuman pidana di luar KUHP.
“Kodifikasi masih setengah hati. Mau dibawa kemana kodifikasi ini,” katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (30/7).
Padahal, lanjut Mei, hukum harus membumi dan tak hanya dipahami oleh aparat penegak hukum saja. Tapi juga, bisa memberikan pemahaman yang baik bagi masyarakat luas. Untuk itu, metode kodifikasi yang benar menjadi jalan keluar dalam mewujudkan tujuan tersebut.
“Seharusnya kodifikasi RKUHP ini menjadi dasar aturan menyeluruh terhadap hukum pidana. Termasuk kualifikasi extraordinary crime,” kata Mei.
Konsistensi DPR dan Pemerintah sangat diperlukan dalam pembahasan RKUHP ini. Menurutnya, ke depan banyak tantangan yang bisa menghadang pembahasan. Salah satunya, persoalan politik seperti masalah Pilkada Serentak. “Pembahasan RKUHP itu butuh kerja keras. Maka dari itu butuh dorongan masyarakat sipil untuk mendorong pembahasan RKUHP ini menjadi lebih jelas.”
Hal serupa juga diutarakan Program officer monitoring kebijakan dan pengembangan jaringan advokasi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar. Menurutnya, model pembahasan RKUHP melalui Daftar Inventarisasi Maslaah (DIM) satu persatu bisa menyebabkan overlapping.
Maka itu, perlu ada model pembahasan yang maju sehingga tidak menyebabkan overlapping. Atas dasar itu, pembahasan RKUHP tidak lagi disamakan dengan pembahasan RUU lainnya. “Bisa nggak sih kita mengajukan model pembahasan lain dalam RKUHP?” katanya.
Selain itu, sebagai pembuat UU, DPR dan Pemerintah seharusnya konsisten dalam melakukan kodifikasi RKUHP ini. Misalnya jika ingin dilakukan kodifikasi total, maka DPR dan Pemerintah tak perlu lagi mengatur aturan pidana dalam sebuah RUU lain. Inkonsistensi lainnya perumus UU mengatakan bahwa mereka akan mengatur delik-delik yang independen, yang sifatnya khusus, tapi di satu sisi mereka inginnya kodifikasi total.
“Maka itu, perlu suatu proses kodifikasi dengan konsolidasi koordinasi yang sinergis, agar tidak over kriminalisasi. Yang ada nantinya RKUHP nasional, jangan sampai justru over criminalize, lebih mengekang masyarakat sipil, bahkan lebih mengekang dari KUHP zaman Belanda dulu,” pungkasnya.