Konsep Kodifikasi RUU KUHP Dinilai Tak Matang
Aliansi Nasional Reformasi KUHP, yang terdiri dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat di bidang hukum menyatakan, konsep kodifikasi atau kumpulan aturan pidana yang dilakukan pemerintah melalui Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan konsep yang tidak matang. Jika dipaksakan dan disahkan menjadi KUHP, dikhawatirkan akan terjadi kekacauan dalam pelaksanaannya, terutama terkait penegakan hukum.
Direktur Eksekutif Institute Criminal For Justice Reform (ICJR) Supriyadi W. Eddyono menyatakan, kodifikasi aturan pidana melalui revisi KUHP merupakan ide yang mulia. Dengan kodifikasi, seluruh aturan pidana berada dalam satu buku yang khusus, sistematis, dan efisien. Namun, RUU KUHP yang ada saat ini jauh dari harapan.
Hal ini lantaran dalam buku II RUU KUHP, pemerintah memaksakan agar seluruh ketentuan pidana di luar KUHP dimasukkan dalam RUU KUHP, dengan cara adopsi yang kurang baik dan menghilangkan asas-asas kekhususan dari setiap aturan pidana di luar KUHP. Padahal, model kodifikasi parsial telah tertuang dalam Pasal 218 RUU KUHP 2015.
“Dikhawatirkan akan terjadinya kekacauan hukum dikarenakan banyaknya persilangan dan benturan antara pengaturan di dalam dan di luar KUHP. Akibatnya kondisi hukum pidana di Indonesia bergerak mundur jauh dari KUHP pertama kali diundangkan di Indonesia,” kata Supriyadi dalam diskusi “Tarik Ulur Kodifikasi dan Nasib Tindak Pidana di Luar KUHP” di Jakarta, Kamis (17/9).
Supriyadi menilai, tidak semua aturan pidana dapat dimasukan ke dalam KUHP. Sejumlah aturan pidana di luar KUHP, seperti tindak pidana pencucian uang, korupsi, narkotika, pelanggaran HAM berat, dan pornografi berbenturan dengan asas pidana umum yang ada dalam RUU KUHP.
Aturan pidana mengenai pornografi misalnya, RUU KUHP telah menghilangkan batasan dan pengertian mengenai pornografi yang sebenarnya telah diatur oleh UU pornografi. Akibatnya, penegakan hukum terkait pornografi dikhawatirkan akan bersifat represif dan eksisif.
Senada dengan Supriyadi, Program Officer Monitoring dan Advokasi Elsam Wahyudi Djafar menyatakan, secara harfiah kodifikasi bermakna kompilasi atau kumpulan yang memudahkan orang untuk mengakses kumpulan tersebut. Namun, kata Wahyudin, pemerintah dan perumus RUU KUHP belum menentukan secara tegas metode kodifikasi yang digunakan, apakah kodifikasi secara tertutup dengan memasukan seluruh aturan mengenai tindak pidana, atau kodifikasi terbuka yang masih mengakui adanya ketentuan pidana di luar KUHP. Hal ini lantaran pemerintah tetap bersikukuh ingin memasukan seluruh aturan tindak pidana ke dalam KUHP.
Namun, di sisi lain, pemerintah juga tengah berinisiatif membahas sejumlah undang-undang khusus dengan DPR. “Seperti minuman beralkohol, lalu Kementerian Komunikasi dan Informasi membahas dengan Komisi I DPR soal revisi UU ITE. Jadi paradigmanya belum selesai,” ujarnya.
Sumber: Beritasatu.com