Konsistensi Pemerintah dan DPR dalam Kodifikasi RKUHP Dipertanyakan

Kodifikasi total atau terbuka. Jika kodifikasi total, pemerintah dan DPR mesti mengambil langkah kebijakan moratorium penyusunan aturan hukum pidana di luar KUHP.

Draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sudah berada di tangan DPR. Pembahasan dalam waktu dekat bakal dimulai. Belakangan, konsistensi pemerintah dan DPR dalam melakukan kodifikasi RKUHP dipertanyakan Aliansi Nasional Reformasi RKUHP. Pasalnya, belum ada kejelasan sikap apakah menggunakan kodifikasi total atau kodifikasi terbuka.

“Hari ini juga memunculkan pertanyaan akan model kodifikasi seperti apa yang berlaku dalam RKUHP,” ujar Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Arsil di Jakarta, Kamis (30/7).

Arsil berpandangan eksistensi kodifikasi menjadi penting dalam RKUHP. Konsistensi kodifikasi penting dilakukan dalam rangka mencegah terjadinya persoalan adanya duplikasi aturan sanksi pidana di luar RKUHP. Pasalnya, menjadi persoalan ketika adanya aturan sanksi pidana jenis tindak pidana di dalam RKUHP dan UU lain. Misalnya, ketika seseorang diduga melakukan tindak pidana pencemaran nama baik, polisi dapat dengan serta merta menjerat dengan pasal 310 KUHP jo Pasal 27 jo Pasal 45 UU ITE.

Ke depan, kata Arsil, dalam pembahasan RKUHP perlu ketegasan dan kejelasan politik hukum nasional yang dilakukan DPR dan pemerintah. Menurutnya, jika pemerintah dan DPR bersepakat menggunakan kodifikasi total, maka aturan sanksi pidana terhadap semua jenis tindak pidana cukup diatur dalam RKUHP.

“Sebenarnya yang perlu dilakukan adalah komitmen menerapkan kembali sistem kodifikasi. Kemudian menghentikan atau moratorium penyusunan aturan hukum pidana di luar KUHP. Contohnya, kalau sudah ada ketentuan sanksi pidana terhadap pelanggar contempt of court dalam RKUHP, tidak perlu lagi diatur di luar RKUHP,” ujarnya.

Dikatakan Arsil, model kodifikasi total dalam RKUHP menitikberatkan upaya menarik semua ketentuan pidana di luar KUHP ke dalam RKUHP. Namun langkah tersebut menimbulkan dampak bagi sejumlah pasal dalam UU sektoral yang memuat ketentuan generic crime  di luar KUHP. Ia menilai kodifikasi yang memisahkan generic crime  dengan administrative crime bakal menimbulkan pertanyaan.

“Bagaimana menarik generic crime yang ada dalam UU sektoral  di luar KUHP ke dalam RKUHP pasca lahirnya rancangan tersebut, dan akan mengakibatkan adanya pemetaan ulang dari tindak pidana adminstrative,” ujarnya.

Program officer monitoring kebijakan dan pengembangan jaringan advokasi  Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar, menambahkan adanya ketidaksepakatan model kodifikasi total atau terbuka yang akan digunakan oleh tim penyusun RKUHP. Pasalnya jika menggunakan kodifikasi total mestinya tidak ada lagi aturan sanksi pidana di luar RKUHP.

Namun di lain sisi, kata Wahyudi, setidaknya terdapat 143 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang mengatur ketentuan aturan pidana di luar KUHP. “Kritik saya konsistensi terhadap pembentuk UU, yakni DPR dan pemerintah,” katanya.

Ia khawatir jika Panja RKUHP di Komisi III mulai melakukan pembahasan RKUHP, sementara Komisi I melakukan revisi terhadap UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi dan Elektronik (ITE) akan berbenturan. Padahal, semestinya pembahasan RKUHP dilakukan terlebih dahulu untuk kemudian dilakukan harmonisasi dan singkronisasi. Hal itu dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih aturan pidana terhadap jenis tindak pidana yang sama dengan ancaman hukuman pidana yang berbeda.

Lebih jauh Wahyudi berpendapat inskonsistensi pembuat UU menjadi persoalan. Pasalnya RKUHP merupakan aturan sanksi pidana bagi seluruh masyarakat. Ia menyarankan agar pemerintah dan DPR melakukan koordinasi agar adanya kesamaan pandangan dalam pembahasan RKUHP.

“Supaya KUHP baru nantinya tidak mengancam masyarakat sipil. Kalau mereka mau kodifikasi total, apakah mereka sudah menyiapkan proses transisinya?. Sepanjang belum ada road map bagaimana arah kebijakan politik hukum nasional kita, yang terjadi akan overlapping,” tandasnya.

Tenaga Ahli Anggota Komisi III dari Fraksi PKS, Mei Susanto mengatakan DPR dalam menyusun UU acapkali mengatur sanksi pidana. Pasalnya UU tanpa sanksi pidana dinilai tidak sempurna. Ia menilai paradigma DPR tersebut mesti ditinjau ulang. Makanya masukan dari Aliansi Reformasi RKUHP menjadi penting. Ia mengakui masih banyaknya persoalan dalam sistem kodifikasi yang digunakan dalam penyusunan RKUHP.

Terlebih belum adanya kesepakatan antar fraksi model kodifikasi apa yang akan digunakan, total atau terbuka. Hanya saja, antar fraksi partai telah memiliki kesepakatan dalam pembaharuan aturan sistem penegakan hukum yang bermasalah, standarisasi dari penerimaan remunerasi penegakan hukum.

“Jadi belum jelas pada masalah RKUHP. Kita berharap Jokowi bisa bicara dengan elite politik untuk membagas politik hukum kita ke depan. RKUHP yang diajukan pemerintah memang banyak masalah, makanya harus kita buat peta yang jelas ke depan,” pungkasnya.

Sumber: HukumOnline

Leave a Reply