Langkah Mundur Pengaturan Tindak Pidana Lingkungan di RKUHP

Tindak Pidana Lingkungan Hidup dalam rancangan KUHP masuk dalam Bagian Kedelapan Pasal 389 s.d Pasal 394 di Buku Kedua. Pengaturan tindak pidana lingkungan hidup dalam RKUHP ini cukup banyak catatan, beberapa diantaranya adalah bahwa denda yang dicantumkan dalam semua pasal di atas adalah denda karena perbuatan yang mencemari/merusak lingkungan, membahayakan nyawa atau kesehatan dan menyebabkan matinya orang. Namun biaya sosial dan ekonomi seperti nilai-nilai lokal yang hancur karena lingkungan yang rusak dan pendapatan yang berkurang karena pencemaran lingkungan tidak dihitung sebagai ongkos sosial yang harus digantikan oleh pelaku tindak pidana. Permasalahan lain berkaitan dengan rumusan  tindak pidana lingkungan hidup cenderung berorientasi kepada kasus-kasus lingkungan urban yang sarat dengan polusi industri. Rumusan seperti itu belum menjangkau tindakan seperti kebakaran hutan, pencemaran tanah oleh akar dan zat kimia dari pohon sawit.

Sebagai rangkaian FGD Aliansi Nasional Reformasi KUHP, ELSAM mendiskusikan lebih dalam atas rancangan Pasal-pasal Tindak Pidana Lingkungan Hidup tersebut pada Kamis, 19 Mei 2016 dengan menghadirkan Narasumber: Muhnur Satyahaprabu (Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum WALHI) dan Andri Wibisana, Ph.D (Pengajar Hukum Lingkungan FHUI), dimoderatori oleh Marthin Hadiwinata (KNTI).

Satyahaprabu memulai diskusi ini dengan memberi beberapa catatan atas Pasal-pasal dalam RKUHP. Menurutnya: “Pertama, aturan tentang tindak pidana lingkungan hidup dalam RKUHP sulit diimplementaskan, karena aturan tersebut juga telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32/2009). Kedua, pengaturan aturan tentang tindak pidana lingkungan hidup yang hanya berdiri sendiri, mengabaikan fakta yang saat ini eksis bahwa kejahatan lingkungan hidup sangatlah terkait dengan kejahatan di bidang sumber daya alam (SDA). Kedua poin di atas menjadi kritik utama bagi pengaturan norma tindak pidana lingkungan hidup dalam RKUHP yang akan dibahas”.

Dia juga menyarankan agar tindak pidana Lingkungan Hidup dikeluarkan saja dari RKUHP, karena justru lebih buruk dari UU PPLH.

Pada aspek lain, jika dilihat rancangan KUHP ini ada nilai positifnya, karena dalam Pasal 48 R-KUHP sudah mengatur bahwa Koporasi merupakan subjek hukum Cukup positif adalah dalam Rancangan KUHP,khususnya dalam Pasal 48 sudah mengatur bahwa Korporasi merupakan subjek hukum. “Ini penting, mengingat tindakan-tindakan pencemaran kerap kali dilakukan korporasi, bukan individu” papar Andri mengawali persentasinya.

Secara khusus dalam Pasal-pasal Tindak Pidana Lingkungan Hidup, nampak sekali keanehannya. Lihat Pasal 391, ini delik formil, cukup dia (pelaku) tahu tindakannya membuang sesuatu ke air, akan membahayakan bagi nyawa atau kesehatan orang. Ini positif, artinya tidak perlu lagi pembuktian air tersebut benar-benar tercemar. Namun untuk tindak pidana bagi pelaku yang karena kealpaannya, justru lebih berat pembuktiannya karena bunyinya justru menjadi delik materiil. Bagaimana bisa, Pasal 391 (delik formil) yang ancaman hukumannya lebih berat, namun lebih mudah beban pembuktiannya daripada Pasal 392 yang ancaman hukumannya lebih rendah karena mengatur kealpaan. Ini rancangan Pasal yang cukup aneh.

Tindak pidana untuk kealpaan justru dilihat dari bunyi pasalnya menjadi delik materiil, otomatis beban pembuktian menjadi lebih berat.

Selain itu, rumusan dalam Pasal 391 sangat mirip dengan bunyi Pasal 43 UU 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Saya keberatan kalau kita kembali seperti Pasal 43 UU LH yang lama itu. Karena dalam banyak kasus di persidangan justru harus dibuktikan akibat adanya pencemaran tersebut, padahal pasal itu bunyinya formil. Ini banyak dalam putusan pengadilan.

Andri melanjutkan: “Sebagai contoh, ada perusahaan membuang limbah yang tidak diolah langsung ke sungai Citarum, sudah tercemar, terbukti melampaui baku mutu. Tapi sulit dibuktikan bahwa dialah yang melakukannya, karena rumusan delik formilnya menjadi materiil. Kemudian hal ini dihindari dengan hadirnya Pasal 100 UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), dengan bunyi pasal kira-kira demikian: jika melampaui baku mutu, sudah bisa dipidana, tidak perlu lagi dibuktikan apakah mengakibatkan pencemaran atau tidak.”

“Namun ternyata kemajuan ini dimentahkan kembali dengan Pasal-pasal Tindak Pidana Lingkungan Hidup dalam Rancangan KUHP”, pungkas Andri di menutup paparannya.

Leave a Reply