Laporan Singkat Rapat Tim Perumus R KUHP 10 Oktober 2017

LAPORAN SINGKAT RAPAT TIM PERUMUS

TENTANG RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)

 

Tahun Sidang                          : 2017-2018

Masa Persidangan                  : I

Sifat                                         : Terbuka

Jenis Rapat                              : Rapat Tim Perumus

Dengan                                    : Tim Pemerintah dan Proofreader

Hari/tanggal                           : Senin, 10 Oktober 2017

Waktu                                      : Pukul  14.16 – 23.34  wib

Tempat                                    : Hotel Sahid Jakarta

Agenda                                    : Hasil masukan proofreader

 

KESIMPULAN/KEPUTUSAN

 

  1. PENDAHULUAN

 

Rapat Tim Perumus tentang RUU KUHP dibuka pada pukul 14.16 WIB oleh Ketua Rapat, Benny K Harman dari Fraksi Demokrat dengan agenda rapat sebagaimana tersebut diatas.

 

  1. POKOK-POKOK PEMBAHASAN

 

Beberapa DIM RUU tentang Pemberantasan KUHP yang dilakukan pembahasan, diantaranya sebagai berikut:

 

  1. Benny K Harman (F-Demokrat):

 

Kita akan melanjutkan rapat tim perumus rancangan UU KUHP, sebagaimana tadi malam sudah kita sepakati 4 hal, hal yang petama kita sudah sepakat hasil buku ke-satu yang disiapkan oleh pemerintah dan telah dikaji oleh proofreader lalu disetujui di timus, kemudian kita minta ahli bahasa untuk membaca dan meneliti kembali naskah buku ke-satu ini dari segi bahasa Indonesia, jangan sampai ada rumusan yang tidak memenuhi kaidah bahasa. Kesepakatan yang ketiga semalam, penjelasan Prof.Muladi dimasukkan kedalam penjelasan bagian umum. Kemudian, yang keempat pemerintah dan para ahli diminta untuk melanjutkan penelitian dan pengkajian terhadap naskah buku ke-dua hasil panja untuk kemudian disampaikan dalam Timus dan Timsin. Kita sekarang ini akan melanjutkan pembahasan buku ke-satu, berarti kita akan mulai sisir satu per satu.

 

  1. Tim Pemerintah:

Tadi pagi jam 9 antara Pemerintah, Proofreader bersama dengan ahli bahasa mencoba melakukan sinkronisasi hal-hal yang perlu perhatian, ternyata setelah dimulai sampai pasal 7 atau pasal 8 ini, kalau kita bahas satu per satu tanpa sadar masuk lagi ke subtansi, ini yang bisa bolak-balik terus. Oleh karena itu kami bersepakat dengan proofrider dan ahli bahasa. Kadang-kadang ada kaidah bahasa Indonesia yang tidak sama persis manakala dicantumkan didalam sebuah bahasa hukum, yang kemudian bisa menjadi perdebatan yang tidak pas. Hemat kami kalau pimpinan setuju, timus timsin kecil yang terdiri dari ahli bahasa, DPR, dan Tim Pemerintah untuk menyisir bahasa-bahasanya atau reposisi yang subjek dan predikatnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. Pembahasan Pasal:

 

RANCANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR … TAHUN …

TENTANG

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

DISETUJUI TIMUS dan TIMSIN

 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DISETUJUI TIMUS dan TIMSIN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DISETUJUI TIMUS dan TIMSIN

 

Menimbang:

  1. bahwa untuk mewujudkan hukum pidana nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu disusun hukum pidana nasional untuk mengganti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan pemerintahan kolonial Hindia Belanda;

DISETUJUI TIMUS dan TIMSIN.

 

  1. Ahli Bahasa:

Kalau “dengan mengganti” itu berarti yang lama diganti, keterangan alat. Kalau “disusun untuk”, berarti penyusunan itu “bertujuan untuk”.

 

  1. Benny K Harman (F-Demokrat):

Tidak usah “dengan maksud” lagi, langsung saja “untuk mengganti”.

 

  1. TB Soenmandjaja (F-PKS):

Perlu saya sampaikan bahwa kita sudah punya Kitab Undang-undang Hukum Pidana punya kita, kita tidak pernah menggunakan hukum colonial, karena tidak seluruhnya warisan belanda. Mengapa kita tidak percaya diri mengganti KUHP yang ada punya kita.

 

  1. Benny K Harman (F-Demokrat):

Jadi Undang-undang no 1 Tahun 19946 itu, menegaskan bahwa kita pakai KUHP warisan pemerintah colonial, jadi jangan kita tinggalkan.

 

  1. Tim Pemerintah:

Kalau kami dari Pemerintah menyepakati bahwa ada nilai historis yang memang bisa kita dikenang.

 

  1. Arsul Sani (F-PPP):

Bagi saya enggak ada persoalan, karena kalau kita belajar hukum pidana, kita semua yang pernah kuliah di Fakultas Hukum atau Fakultas Syariah, kata-kata warisan colonial itu memang barang yang melekat. Artinya saya tidak keberatan dengan ini, memang kalau kita lihat dibagian menimbangnya KUHAP memang tidak ada kata warisan colonial belanda, senang tidak senag kita harus menggantinya dengan produk pasca kemerdekaan.

 

 

 

 

 

 

  1. bahwa materi hukum pidana nasional tersebut harus disesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang bertujuan menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

DISETUJUI TIMUS dan TIMSIN.

 

Penjelasan:

  1. Benny K Harman (F-Demokrat):

Kalau bisa kata “materi”nya tidak perlu, bahwa hukum pidana nasional tersebut dan seterusnya.

  1. Ahli Bahasa:

Kalau tata bahasa lama setiap dua kata kerja ditambahkan reposisi, kalau tata bahasa baru sekarang bisa. Misalnya “yang bertujuan menangkap”.

  1. Arteria Dahlan (F-PDIP):

Ini “materi hukum pidana” kenapa dihapus?. Ini berbicara kata “harus disesuaikan” berarti ada hukum pidana nasional yang lama, jadi jangan “harus disesuaikan”, “ditujukan” atau apa. Saya sepakat “bertujuan untuk” karena “untuk” ini merupakan penegasan daripada kita buat di hukum pidana nasional.

  1. Taufiqulhadi (F-Nasdem):

Kalau berbicara apakah “materi” kita masukan atau tidak, menurut saya harus konsisten, tidak perlu dimasukan “materi” disini.

  1. Erma Suryani Ranik (F-Demokrat):

Demokrat mengusulkan kata “materi” dihapus kemudian “berdasarkan nilai” juga dihapus. Yang lain-lainnya sama.

  1. Arsul Sani (F-PPP):

Kalau kita bicara tentang keseimbangan itu antara apa dan apa?

 

  1. Bahwa materi hukum pidana nasional juga harus mengatur keseimbangan antara kepentingan umum/negara dan kepentingan individu, antara perlindungan terhadap pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana, antara unsur perbuatan dan sikap batin, antara kepastian hukum dan keadilan, antara hukum tertulis dan hukum yang hidup dalam masyarakat, antara nilai nasional dan nilai universal, serta antara hak asasi manusia dan kewajiban asasi manusia.

DISETUJUI TIMUS dan TIMSIN.

 

  1. Benny K Harman (F-Demokrat):

Kalau saya mengusulkan pidana nasional juga harus mengatur keseimbangan antara kepentingan umum dan kepentingan individu, antara kepentingan Negara dan kepentingan pribadi/kelompok, antara perlindungan terhadap pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana, antara unsur perbuatan dan sikap batin, antara kepastian hukum dan keadilan, antara hukum tertulis dan hukum yang hidup dalam masyarakat, antara nilai nasional dan nilai universal, serta antara hak asasi manusia dan kewajiban asasi manusia.

 

  1. Erma Suryani Ranik (F-Demokrat):

Kepentingan umum itu menjadi tugas Negara untuk menjamin kepentingan umum, jadi kalau dihadapkan, kepentingan umum itu kan dihadapkan kepada kepentingan individu. Menurut saya tidak usah ada lagi kepentingan Negara.

  1. Arsul Sani (F-PPP):

Kalau saya mengusulkan keseimbangan yang terkait dengan kepentingan itu dijadikan satu, jadi “keseimbangan antara kepentingan umum atau Negara, keseimbangan umum dan individu”, karena tidak selalu kepentingan umum itu sama dengan kepentingan Negara.

  1. Taufiqulhadi (F-Nasdem):

Kalau ingin perhadapkan maka harus dihadapkan secara pas, kalau indivdu itu berhadapan dengan umum, kalau Negara dengan Warga Negara.

 

 

 

  1. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu dibentuk Undang-undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

DISETUJUI TIMUS dan TIMSIN.

 

TIDAK ADA PEMBAHASAN.

Mengingat:

  1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

DISETUJUI TIMUS dan TIMSIN.

 

TIDAK ADA PEMBAHASAN

 

  1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

DISETUJUI TIMUS dan TIMSIN.

 

TIDAK ADA PEMBAHASAN

 

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DISETUJUI TIMUS dan TIMSIN

MEMUTUSKAN:

 

Menetapkan :   UNDANG-UNDANG TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA.

DISETUJUI TIMUS dan TIMSIN

BUKU KESATU

ATURAN  UMUM

DISETUJUI TIMUS dan TIMSIN

BAB I

RUANG LINGKUP BERLAKUNYA KETENTUAN

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA

DISETUJUI TIMUS dan TIMSIN.

Bagian  Kesatu

Menurut Waktu

Pasal 1

  • Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.

DISETUJUI TIMUS dan TIMSIN.

Pembahasan:

  1. Benny K Harman (F-Demokrat):

Rumusan panja ini jauh lebih mudah dipahami.

 

  • a. Dalam Menetapkan adanya tindak pidana, analogi dilarang digunakan.
  1. Dalam menetapkan adanya tindak pidana, dilarang digunakan analogi
  2. Dalam menetapkan adanya tindak pidana, penggunaan analogi dilarang.
  3. Penetapan adanya tindak pidana, dilarang menggunakan analogi.

 

(b) DISETUJUI TIMUS DAN TIMSIN

 

 

  1. Benny K Harman (F-Demokrat):

Salah satu saja, mana yang pas?

 

  1. Ahli Bahasa:

Kalau saya yang D.

 

  1. Tim Pemerintah:

Tadi dengan Tim Ahli kita bersepakat B.

 

 

  1. Benny K Harman (F-Demokrat):

Yang benar itu “digunakan” bukan “menggunakan”, karena tidak ada subjeknya,

 

 

 

Pasal 2

  • Ketentuan sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum (tidak tertulis) yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang undangan.

Catatan Timus dan Timsin:

Subtansi mengenai “hukum yang hidup dalam masyarakat” diputuskan dalam Raker atau Paripurna.

DIPENDING TIMUS TIMSIN

 

  1. Benny K Harman (F-Demokrat):

Saya waktu itu termasuk yang menolak ini, karena nati polisi dan jaksa suka-suka, Bahaya sekali ini.

 

  1. Arsul Sani (F-PPP):

Beri saja catatan, bahwa secara materi ini belum kita sepakati.

 

  1. Tim Pemerintah:

Justru perbedaan hukum pidana nasional kita ada disini, tadi ada keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan, kepastian hukum itu ayat satu, yang ayat dua itu untuk memenuhi keadilan itu walaupu tidak diatur dalam undang-undang,  tetapi menurut adat istiadat masyarakat setempat mengatakan bahwa itu merupakan suatu perbuatan melawan hukum dan patut untuk dipidana maka dapat dinyatakan sebagai tindak pidana.

 

  1. Arsul Sani (F-PPP):

Terus terang kalau bagi kami di Fraksi PPP ini juga salah satu pintu masuk agar seperti di Aceh itu ada tempatnya, karena dulu tidak tau hukum cambuk dimasukkan sebagai salah satu pidana khusus.

 

  1. Benny K Harman (F-Demokrat):

Waktu itu kita tidak sepakat soal ini, jadi kita tidak usah bahas. Fraksi kami termasuk yang tidak setuju dengan rumusan ini dulu. Jadi kami setuju ini, tetapi khusus hakim di Pengadilan, bukan untuk penegak hukum, kepolisian dan kejaksaan.

 

 

 

 

  • Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui oleh masyarakat beradab dan dalam tempat hukum itu hidup.

DIPENDING TIMUS TIMSIN

 

DITUNDA UNTUK DIPUTUSKAN PADA PLENO DAN PARIPURNA.

 

Pasal 3

 

  • Dalam hal terdapat perubahan peraturan  perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perundang-undangan yang baru, kecuali ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama menguntungkan bagi pembuat tindak pidana.

DISETUJUI TIMUS TIMSIN

 

Usulan TIMUS dan TIMSIN

(1A) Dalam hal proses hukum sedang berlangsung dan perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan tindak pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru, proses hukum terhadap tersangka atau terdakwa harus dihentikan demi hukum.

DISETUJUI TIMUS TIMSIN

 

(1B) Dalam hal ketentuan pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1A) diterapkan bagi tersangka atau terdakwa yang berada dalam tahanan atau di luar tahanan, pejabat yang melaksanakan pembebasan adalah dibebaskan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan.

DISETUJUI TIMUS TIMSIN

 

  1. Benny K Harman (F-Demokrat):

Ini harus betul-betul memberikan kepastian. Maksud saya harus ada penegasan yaitu “kecuali ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama menguntungkan bagi pembuat tindak pidana”.

 

 

  • Dalam hal setelah putusan  pemidanaan  memperoleh kekuatan hukum tetap, perbuatan yang  terjadi tidak lagi merupakan tindak pidana menurut peraturan perundang undangan yang baru, maka pelaksanaan putusan pemidanaan dihapuskan.

DISETUJUI TIMUS TIMSIN

 

  1. Benny K Harman (F-Demokrat):

Pertanyaan saya, kalau masih dalam proses orang ini bagaimana?

 

  1. Arteria Dahlan (F-PDIP):

Ternyata yang dipidana itu tidak hanya pembuat tindak pidana, pembantu tindak pidana juga dipidana.

  1. Benny K Harman (F-Demokrat):

Maksud saya dalam hal orang ini diproses secara hukum berdasarkan perbuatan tindak pidana hukum yang lama ini, dengan adanya undang-undang yang baru itu harus dihentikan prosesnya, harus tegas itu. Kalau begitu kita buat ayat (1A), jangan loncat begini.

 

  1. Arsul Sani (F-PPP):

Kalau saya ini ditekankan di penjelasan tidak apa-apa, bahkan ditegaskan sekalian apabila ketentuan baru tersebut mendekriminalisasi maka proses hukum harus dihentikan.

 

  1. Tim Pemerintah:

Kalau yang kedua itu memang khusus untuk mendekriminalisasi, setelah putusan berkekuatan hukum tetap, kalau yang pertama itu ada dua macam, ada yang pengurangan pidananya ada yang mendekriminalisasi, sehingga dua-duanya menguntungkan bagi ketentuan.

 

  1. Arteria Dahlan (F-PDIP):

Ini harus diatur secara rinci, tidak bisa kita gampangkan begini. Penjelasan itu tidak mengikat, kalau bisa dinormakan lagi.

 

  1. Kejaksaan RI:

Kalau misalnya kita masukan ke norma yang menghentikan, akan bersinggungan dengan hukum acara, mengingat ada ketentuan-ketentuan yang menyebutkan bahwa dalam hal-hal apa kita dapat menghentikan penyidikan, menghentikan penuntutan.

 

  1. TB Soenmandjaja:

Ketika ayat (2) selesai maka sesungguhnya kaidah yang menyerupai seperti itu apalagi dibawahnya juga otomatis selesai. Artinya dari dinamika forum ini ada ingin penegasan. Saya tidak tau apakah dalam persidangan pernah terjadi seperti itu?. Seumpama peristiwa seperti itu terjadi dan tidak diatur secara tegas, maka khawatir nanti ada penegak hukum yang mengabaikan, kalau diatur secara tegas maka dia merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan.

 

  • Dalam hal setelah putusan pemidanaan berkekuatan hukum tetap dan perbuatan yang terjadi diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut peraturan perundang undangan yang baru, pelaksanaan putusan pemidanaan disesuaikan dengan batas batas pidana menurut peraturan perundang undangan yang baru.

DISETUJUI TIMUS TIMSIN

 

TIDAK ADA PEMBAHASAN.

 

Pasal 3A

  • Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1A) diterapkan bagi etrsangka atau terdakwa yang berada dalam tahanan dibebaskan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan.

 

  • Dalam hal putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), instansi atau pejabat yang melaksanakan pembebasan adalah pejabat eksekutif.
  • Pembebasan pidana tersebut tidak menimbulkan hak bagi terpidana menuntut ganti kerugian.

DIPINDAHKAN KE PASAL 3

  1. Benny K Harman (F-Demokrat):

Pasal 3A ayat (2) waktu itu ramai kita diskusikan, yang didiskusikan waktu itu siapa yang melakukan, selama ini lempar bola dan segala macam, belum nanti kita lebih detail lagi kapan dinyatakan ini, apakah sejak UU itu berubah atau menunggu instruksi lebih lanjut. Ada lagi masalah UUnya sudah berubah tetapi peraturan pelaksanaannya belum berubah. Waktu itu kita diskusikan juga harus dinyatakan serta merta tanpa menunggu lagi peraturan lebih lanjut, maka muncul ayat ini.

 

  1. Kejaksaan RI:

Khususnya kata “eksekutif” ini memang baru pertama kali kita mengenal sebagai bahasa perundang-undangan yang khususnya menyangkut masalah hukum pidana, dalam penjelasan tidak dijelaskan siapa “eksekutif” ini, padahal untuk takaran dibedakan dengan legislatif, yudikatif, eksekutif ini banyak sekali, kalau tidak kita jelaskan secara konkrit disini. padahal disini dimaksud adalah bagaimana pelaksanaan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (Pasal 3A ayat 2), bahwa sebelum putusan inkrah dan setelah inkrah jika ada perubahan perundang-undangan, yang dimana perubahan itu menguntungkan atau mengatur tidak dipidananya seseorang, maka serta merta tidak melaksanakan pidana. Mungkin kata “eksekutif” bisa diganti dengan kata “pejabat yang berwenang”.

 

  1. Tim Pemerintah:

Pejabat eksekutif itu yang dimaksud karena itu sudah berkekuatan hukum tetap, maka ada Menteri Hukum dan HAM dan kejaksaan yang sudah berkekuatan hukum tetap tetapi dia masih kabur belum dieksekusi. Tetapi yang di dalam LP maka Menteri Hukum dan HAM. Kalau yang sesuai dengan tingkat pemeriksaan maka disana bisa Polisi, bisa Jaksa, dan bisa juga Hakim. Oleh karena itu disana dibedakan pejabat yang berwenang yang sesuai dengan tingkatan pemeriksaan, kemudian eksekutif hanya disana  khsusus perdebatannya adalah untuk  Jaksa dan Menteri Hukum dan HAM.

 

  1. Ahli Bahasa:

Kalau kita gunakan bahasa perundang-undangan, kalau dalam praktek dihentikan dalam pengertian praktek peradilan itu tidak dikenal, yang ada dihentikan demi hukum atau dihentikan di penyidikan. Usul saya dihentikan demi hukum. (Pasal 3 ayat 1A)

 

  1. Arteria Dahlan (F-PDIP):

Jangan peristiwa ditahan dibebaskan dulu, pejabat yang berwenang menghentikan dulu, apabila sudah ditahan dibebaskan. Jadi dibalik kalimatnya.

  1. Benny K Harman (F-Demokrat):

Kita ikut dulu alurnya dari atas, ayat (1A) jadi kalau statusnya tersangka terdakwa dihentikan demi hukum, apabila tersangka atau terdakwa itu ada dalam tahanan, harus dibebaskan oleh pejabat yang berwenang.

 

 

Bagian Kedua

Menurut Tempat

DISETUJUI TIMUS TIMSIN

Paragraf 1

Asas Wilayah atau Teritorial

DISETUJUI TIMUS TIMSIN

 

Pasal 4

Ketentuan Pidana dalam Undang-undang Republik Indonesia berlaku bagi setiap orang  yang melakukan:

  1. tindak pidana di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

CATATAN TIMUS:

Diberikan penjelasan mengenai “wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

DISETUJUI TIMUS TIMSIN

TIDAK ADA PEMBAHASAN

  1. tindak pidana dalam kapal, pesawat udara Indonesia atau alat transportasi Indonesia lainnya; atau

CATATAN TIMUS:

Diberikan penjelasan mengenai “alat transportasi indonesia lainnya”.

DISETUJUI TIMUS TIMSIN

TIDAK ADA PEMBAHASAN

  1. tindak pidana di bidang teknologi informasi atau tindak pidana lainnya yang akibatnya dialami atau terjadi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam kapal atau pesawat udara, atau dalam alat transportasi Indonesia lainnya.

 

DISETUJUI TIMUS TIMSIN

 

TIDAK ADA PEMBAHASAN

 

 

 

Paragraf 2

Asas Nasional Pasif

DISETUJUI TIMUS TIMSIN

 

Pasal 5

Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Republik Indonesia berlaku bagi setiap orang di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan tindak pidana terhadap:

DISETUJUI TIMUS TIMSIN

  1. keamanan negara atau proses kehidupan ketatanegaraan;

DISETUJUI TIMUS TIMSIN

  1. martabat Presiden, Wakil Presiden,dan/atau pejabat Indonesia di luar negeri;

DISETUJUI TIMUS TIMSIN

  1. mata uang, pemalsuan atau peniruan segel, cap negara, meterai, surat berharga atau kartu kredit;

DISETUJUI TIMUS TIMSIN

  1. perekonomian, perdagangan, dan perbankan Indonesia;

DISETUJUI TIMUS TIMSIN

  1. keselamatan atau keamanan pelayaran dan penerbangan;

DISETUJUI TIMUS TIMSIN

  1. keselamatan atau keamanan bangunan, peralatan, dan aset nasional atau negara Indonesia;

DISETUJUI TIMUS TIMSIN

  1. keselamatan atau keamanan peralatan komunikasi elektronik;
  2. tindak pidana jabatan atau korupsi; atau
  3. tindak pidana pencucian uang.
  4. tindak pidana penyelundupan manusia;
  5. tindak pidana perdagangan manusia;
  6. tindak pidana narkotika dan psikotropika;
  7. tindak pidana pencurian ikan;
  8. tindak pidana yang merugikan sumber daya alam Indonesia;
  9. tindak pidana terorisme;
  10. tindak pidana lainnya yang membahayakan kepentingan nasional Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang; atau

DISETUJUI TIMUS TIMSIN

  1. tindak pidana terhadap warga Negara Indonesia berdasarkan perjanjian dengan Negara tempat terjadinya tindak pidana.

DISETUJUI TIMUS TIMSIN

 

 

 

 

Pembahasan:

  1. Benny K Harman (F-Demokrat):

Terhadap warga Negara indonesianya mana, mengapa Tidak ada?, di naskah lama ada. Kenapa dihapus WNInya, ini usulan siapa?.

 

  1. Tim Pemerintah:

Jadi memang sudah dirubah, pemerintah mengusulkan ditambahkan semua: a. tindak pidana keamanan Negara, b. tindak pidana terhadap martabat, c. tindak pidana terhadap pemalsuan dan seterusnya, kemudian ada juga yang disesuaikan, contohnya yang terkait dengan manusia, maka sudah ada penyelundupan orang, pencucian uang, narkotika dan psikotropika kita pisah.

 

  1. Arteria Dahlan (F-PDIP):

Kalau kita bicara nasional aktif itu orientasinya adalah orientasi kepentingan, saya lebih cenderung pakai yang lama, kalau kita mau konsisten itu ada kepentingan WNI, kepentingan umum dan kepentingan Negara. Jadi harus masuk WNI dan Kepentingan negaranya dipisah, balik ke asal.

 

  1. Ahli bahasa:

Mengenai asas nasional pasif ini adalah undang-undang kita berlaku bagi orang di luar negeri, diluar Indonesia, tentu tidak bisa kita perlakukan begitu saja kalau itu terjadi terhadap warga Negara kita yang jadi korban, ini baru boleh kalau ada perjanjian ekstradisi, jadi tidak bisa disebutkan warga Negara pada umumnya.

 

  1. Benny K Harman (F-Demokrat):

Saya rasa H samapai dengan O itu tidak usah, karena itu sudah mencakup dalam A, B, C.

 

 

Paragraf 3

Asas Universal

DISETUJUI TIMUS TIMSIN

 

Pasal 6

Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Republik Indonesia berlaku bagi setiap orang yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan tindak pidana menurut perjanjian atau hukum internasional yang telah dirumuskan ditetapkan sebagai tindak pidana dalam Undang-Undang di Republik Indonesia.

DISETUJUI TIMUS TIMSIN

TIDAK ADA PEMBAHASAN

Pasal  7

Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Republik Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di wilayah negara asing yang penuntutannya diambil alih oleh pemerintah Indonesia atas dasar suatu perjanjian yang memberikan kewenangan kepada pemerintah Indonesia untuk menuntut pidana.

DISETUJUI TIMUS TIMSIN

TIDAK ADA PEMBAHASAN

Paragraf  4

Asas Nasional Aktif

Pasal 8

  • Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Republik Indonesia berlaku bagi setiap warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

DISETUJUI TIMUS TIMSIN

 

TIDAK ADA PEMBAHASAN

 

(1A) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku jika perbuatan tersebut juga merupakan tindak pidana di Negara tempat tindak pidana dilakukan.

DISETUJUI TIMUS TIMSIN

TIDAK ADA PEMBAHASAN

 

  • Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk tindak pidana yang hanya diancam pidana denda Kategori I atau pidana denda Kategori II.

DISETUJUI TIMUS TIMSIN

TIDAK ADA PEMBAHASAN

 

  • Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga dilakukan walaupun tersangka baru menjadi warga negara Indonesia setelah tindak pidana tersebut dilakukan, sepanjang perbuatan itu juga merupakan tindak pidana di negara tempat tindak pidana tersebut dilakukan.

DISETUJUI TIMUS TIMSIN

 

  1. Kejaksaan RI:

Saya sebagai penergak hukum belum dapat menkontruksikan hukumnya yang ayat (3) ini, apakah dia itu diluar wilayah Negara Indonesia dia statusnya WNA, begitu dia ke Indonesia dia WNI, kita tarik tindak pidana yang dilakukan, apakah tidak bertentangan dengan asas non retroaktif?

 

  1. TB Soenmandjaja (F-PKS):

Ada dua WNI itu, mungkin dia naturalisasi WNA ke WNI atau usia 18 tahun. Jadi dia tidak harus diasumsikan WNA.

 

  1. Tim Pemerintah:

Ini memang direkonstruksi dari pasal 5 yang ada di KUHP lama.

 

  1. Benny K Harman (F-Demokrat):

Jadi maksudnya ayat (3) ini, sebelumnya dia WNA, kalau sebelumnya dia WNA tidak bisa dituntut kan?. Lalu dapat juga dilakukan kepada dia tadi walaupun tersangka menjadi Warga Negara Indonesia setelah tindak pidana tersebut dilakukan. Coba simulasinya seperti apa.

 

  1. Benny K Harman (F-Demokrat):

Karena yang mau ditekankan disini Asas Nasional Aktifnya, bahwa setiap warga Negara Indonesia dimanapun dia berada berlaku UU ini, walaupun yang bersangkutan baru menjadi warga Negara Indonesia 1 jam, tetap berlaku ketentuan ini.

 

  • Warga negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dijatuhi pidana mati jika tindak pidana tersebut menurut hukum negara tempat tindak pidana tersebut dilakukan tidak diancam dengan pidana mati.

DISETUJUI TIMUS TIMSIN

 

TIDAK ADA PEMBAHASAN

 

Paragraf 5

Pengecualian

 

Pasal 9

Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 8 dibatasi oleh hal hal yang dikecualikan menurut hukum internasional yang telah disahkan.

CATATAN TIMUS:

Pengacuan pasal disinkonkan kembali dalam TIMSIN.

DISETUJUI TIMUS TIMSIN

Pembahasan:

  1. Benny K Harman (F-Demokrat):

Saya rasa ini bagian dari penjelasan, tetapi ini harus disesuaikan nanti.

 

  1. Arteria Dahlan (F-PDIP):

Kalau kita memuat “yang telah disahkan” dengan demikian tidak perlu dibatasi, semua yang telah disahkan akan berlaku sebagai undang-undang, tidak ada pembatasan. Kenapa dibatasi?, yang terkait dengan kaidah hukum internasional. Jadi sangat penting “yang telah disahkan” ini harus dihapuskan.

 

  1. Benny K Harman (F-Demokrat):

Tidak usah kita bahas lagi, rapat tanggal 10 mei ini sudah kita disetujui.

 

Bagian Ketiga

Waktu Tindak Pidana

 

Pasal 10

Waktu tindak pidana adalah saat pembuat melakukan perbuatan yang dapat dipidana.

 

USULAN PERBAIKAN PEMERINTAH:

Waktu tindak pidana adalah waktu pembuat melakukan perbuatan yang dapat dipidana.

DISETUJUI TIMUS TIMSIN.

Penjelasan:

Yang dimaksud dengan “waktu pembuat melakukan perbuatan adalah:

  1. Saat perbuatan fisik dilakukan;
  2. Saat bekerjanya alat; atau
  3. Saat timbulnya akibat tindak pidana

DISETUJUI TIMUS TIMSIN

TIDAK ADA PEMBAHASAN

 

Bagian Keempat

Tempat Tindak Pidana

 

Pasal 11

Tempat tindak pidana adalah tempat pembuat melakukan perbuatan yang dapat dipidana.

Penjelasan:

Yang dimaksud dengan “tempat pembuat melakukan perbuatan” adalah:

  1. Tempat perbuatan fisik dilakukan.
  2. Tempat bekerjanya alat, atau
  3. Tempat timbulnya akibat tindak pidana.

 

DISETUJUI TIMUS TIMSIN

TIDAK ADA PEMBAHASAN.

Leave a Reply