Masuknya Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP Belum Tentu Disetujui DPR

Pemerintah telah mengirimkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kepada DPR awal Juni lalu. Sebanyak 786 Pasal, pemerintah antara lain memasukan pasal penghinaan terhadap kepala negara atau presiden dalam RKUHP. Namun usulan pemerintah tersebut dipandang belum tentu bakal disetujui oleh DPR. “Belum tentu diterima oleh DPR seperti apa adanya,” ujar anggota Komisi III Arsul Sani di Jakarta, Senin (3/8).

DPR tidak bakal serampangan memberikan persetujuan terkait dengan pembahasan sejumlah pasal yang memiliki tingkat sensitifitas publik cukup tinggi. Namun DPR bakal cermat dengan memulai meminta pendapat dari berbagai kalangan dan pemangku kepentingan. Mulai ahli hukum pidana, kalangan akademisi, praktisi hukum, hingga kalangan masyarakat sipil yang fokus terhadap perkembangan hukum pidana.

Politikus PPP tersebut menampik kabar bahwa masuknya pasal penghinaan terhadap presiden merupakan titipan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pasalnya sebelum pemerintahan Jokowi-JK, masuknya usulan pasal penghinaan terhadap kepala negara dalam RKUHP sudah ada di era pemerintahan sebelumnya.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan itu lebih jauh berpandangan fraksinya bakal melakukan kajian mendalam terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah mencabut pasal Penghinaan terhadap Presiden di dalam KUHP yang berlaku saat ini. Langkah itu dinilai tepat sebelum menentukan sikap menerima atau menolak usulan pemerintah tersebut dengan modifikasi unsur pidananya.

Selain itu juga untuk dapat memastikan agar pasal tersebut tidak menjadi pasal karet yang dipergunakan untuk membungkam kritik terhadap presiden dan pemerintahan. “PPP sendiri masih mengkaji secara internal dan meminta pendapat dari teman-teman Aliansi Nasional Reformasi KUHP,” ujarnya.

Anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP Wahyudi Djafar berpandangan masuknya pasal penghinaan terhadap kepala negara dalam RKUHP mestinya dilihat secara jeli oleh tim penyusun. Sebab pasal tersebut sudah dibatalkan oleh MK. Ia berpandangan mestinya RKUHP secara jeli menerjemahkan dan mengimplementasikan mandat dalam putusan MK terkait dengan pembaharuan hukum pidana.

Pria yang juga menjabat Program officer monitoring kebijakan dan pengembangan jaringan advokasi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) itu menilai masuknya pasal tersebut dalam RKUHP sebagai bentuk pembangkangan terhadap putusan MK. Padahal semangat pembaharuan KUHP yakni pembentukan KUHP bersifat nasional, bukan lagi terkungkung warisan kolonial Belanda. “Pasal pidana penghinaan presiden jelas disebutkan MK sebagai salah satu warisan dari kolonialisme,” pungkasnya.

Leave a Reply