Melihat Hasil Pembahasan R KUHP 2017 dan Proyeksinya Kedepan

Pengantar Hasil Pembahasan RKUHP 2017

Pembahasan RKUHP berdasarkan di Panja RKUHP Komisi III DPR RI telah berlangsung kurang lebih selama 2 tahun dari 26 Oktober 2015 hingga 13 Juni 2017. Pembahasan Buku I RKUHP yang terdiri dari 218 pasal (Pasal 1 s.d. Pasal 218) berlangsung pada September 2015 hingga Juni 2016. Untuk pembahasan Buku II terdiri dari 567 pasal (Pasal 219 s.d. Pasal 786) mulai dari 15 September 2016 sampai dengan 26 Januari 2017.

Sedangkan pengaturan mengenai Bab Tindak Pidana Khusus[1] dibahas terpisah dengan waktu pembahasan dimulai pada 24 februari 2017 hingga 13 juni 2017. Hingga saat ini (Oktober 2017), tim Pemerintah sedang menelaah kembali pasal-pasal RKUHP melalui proofreader yang terdiri dari beberapa akademisi ahli hukum pidana. Rencananya, pada Hari Senin Tanggal 9 Oktober 2017, tim Pemerintah mulai menyampaikan hasil proofread nya kepada Timus dan Timsin pilihan anggota Panja RKUHP Komisi III DPR RI.

Perdebatan soal Tindak pidana Khusus

Pembahasan terakhir Rapat Panja RKUHP dengan Pemerintah dilaksanakan pada 13 Juni 2017. Dalam rapat tersebut membahas mengenai lanjutan pembahasan Buku II RKUHP[2], yakni mengenai dimasukkan atau tidaknya Tindak Pidana Korupsi dan Narkotika kedalam RKUHP. Dalam pembahasan RKUHP 13 Juni 2017 ini terdapat pembahasan cukup alot mengenai problematika Bab tindak pidana khusus, terutama masalah kelembagaannya.

Tim Pemerintah bersikap bahwa seluruh tindak pidana khusus tetap masuk dalam RKUHP. Pemerintah ingin menggambarkan KUHP adalah konstitusi hukum dari Tindak Pidana.[3] Ketua Panja mengusulkan untuk bagian Tindak Pidana Korupsi dan Narkotika langsung diserahkan ke Timus Timsin untuk perumusannya, sehingga perumusan di Timus dan Timsin bisa lebih tajam lagi. Namun anggota Panja Akbar Faizal (Fraksi Nasdem) mempertanyakan kembali kepada Tim Pemerintah apakah persoalan dimasukkannya tindak pidana khusus itu sudah selesai ataukah belum.

Tim Pemerintah menyampaikan bahwa tidak ada pembahasan lanjut pasca Panja RKUHP rapat dengan pimpinan KPK dan BNN. KPK tetap pada pendiriannya sebagaimana surat yang dikirimkan oleh KPK di tanggal 24 Mei 2017 bahwa KPK tetap menolak dimasukkannya UU Tipikor ke dalam R KUHP. Oleh karena itu maka Ketua Panja memberi pendapat bahwa jika KPK atau lembaga negara lain menolak UU Tipikor dimasukkan dalam RKUHP, maka KPK dipersilahkan untuk mengirim surat kepada Presiden. Arsul Sani (Fraksi PPP) mengusulkan agar KPK mengundang Panja RKUHP dan Pemerintah mengenai dasar penolakan dimasukkannya UU KPK dalam RKUHP berdasarkan Perspektif Akademik, khususnya mengenai penalisasi tidak hanya kelembagaan.

Tim Pemerintah menjelaskan bahwa tidak ada sedikitpun ketentuan pasal yang sifatnya ada pelemahan. Posisi penegakan hukumnya dikuatkan semua. Dari sisi konten tidak ada hal-hal yang bersifat melemahkan terhadap proses penegakan hukum Tindak Pidana Korupsi.

Taufiqulhadi (Fraksi Nasdem) menjelaskan bahwa tidak ada kelemahan dalam konteks penegakan hukum korupsi, tetapi ada sejumlah kritik yang dilakukan oleh para pengamat tersebut, bahwa KUHP ini lebih konservatif bahkan dibandingkan dengan RUU yang telah ada. Seharusnya sekarang Panja dan Pemerintah berfikir karena kita menggunakan Mazhab hukum baru, pemidanaannya jangan lebih mengerikan dibandingkan KUHP sebelumnya, misalnya pasal-pasal penghinaan apakah itu terhadap Negara dan Kepala Negara dan sebagainya justru itu lebih tinggi, jangan dilihat kemajuan KUHP tersebut dengan pemidanaan yang besar-besaran, tetapi mencari jalan keluar terhadap kriminalitas di Indonesia, mereka mengatakan seperti itu.

Dengan demikian, dimasukkannya Bab Tindak Pidana Khusus oleh tim Pemerintah terasa dipaksakan karena dilakukan tim Pemerintah tanpa persetujuan pimpinan lembaga yang berkaitan dengan UU yang bersangkutan.[4] Sedangkan Panja RKUHP menganggap pembahasan RKUHP di Panja Komisi III DPR RI telah selesai. Panja RKUHP langsung melanjutkan pembahasan RKUHP ke tahap selanjutnya yakni Tahapan Proofreading oleh tim Pemerintah, lalu ke Tahap Timus dan Timsin, dengan meninggalkan persoalan Bab Tindak Pidana Khusus yang belum terselesaikan.

Menuju TIMUS dan TIMSIN

Pasca Ketua Panja RKUHP menyatakan selesai seluruh pembahasan Buku I, Buku II dan Bab Tindak Pidana Khusus dalam Panja RKUHP Komisi III DPR RI,pada Agustus – September 2017 tim Pemerintah memanggil Proof Reader Ahli Hukum Pidana.Proofreadermempunyai tugas yaitu membaca dari Pasal 1 sampai Pasal penutup. Setelah dibaca baru dilihat apakah ada UU yang tidak sinkron/tidak konsisten, lalu membuat semacam Anotasi, apakah ada rumusan yang tidak masuk akal dan tidak dimengerti dan apakah ada rumusan pasal yang ambigu atau multi tafsir.

Sebelumnya, Ketua Panja juga menyerahkan seluruh naskah RKUHP baik yang disepakati maupun yang dipending kepada Timus selanjutnya kepada Timsin. Sembari Pemerintah menyiapkan Proof Reader untuk membaca keseluruhan rancangan yang telah dibahas di Panja, untuk menjamin kualitas seperti Quality Control terhadap R KUHP. Ketua Panja pada 13 Juni 2017 sempat menargetkan kerja ini selesai dalam tempo 2 bulan, sampai tanggal 23 Juli, sehingga diperkirakan 25 Juli sudah dibawa ke Paripurna.

Namun hasil proofreader dari Tim Pemerintah ternyata molor dari yang ditargetkan Panja. Hasil proofreader tim Pemerintah tersebut baru akan di sampaikan 9 Oktober 2017 mendatang. Itupun Proofreader tim Pemerintah telah selesai menelaah Buku I namun Buku II baru sebagian selesai. Sembari menunggu penelaahan proofreader terhadap Buku II selesai, Timus dari Panja mulai membahas Buku I hasil telaahan proofreader tim Pemerintah pada senin 9 Oktober 2017 mendatang.

  1. Pembahasan Pasal-pasal yang Dipending

Dalam Buku I RKUHP, terdapat 9 hal yang masih dipending, diantaranya yakni:

  1. Hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 2)
  2. Pengecualian pemberlakuan pidana mati bagi WNI di negara Abolisionis (Pasal 8 ayat (4))
  3. Permufakatan Jahat dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati (Pasal 14 ayat (3))
  4. Pidana Denda Kategori I bagi pelaku Percobaan tindak pidana (Pasal 20)
  5. Pidana maksimum 10 (sepuluh) tahun bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup (Pasal 21 ayat (2))
  6. Pembantuan (Pasal 23 ayat (1) huruf a)
  7. Pidana tutupan (Pasal 62)
  8. Diversi, Tindakan dan Pidana bagi Anak mengenai kewajiban adat (Pasal 136)
  9. Sinkronisasi pasal-pasal yang mengatur ketentuan pidana mati

Sedangkan dalam Buku II RKUHP, terdapat 11hal yang masih dipending, diantaranya :

  1. Tindak Pidana terhadap Keamanan Negara :
    1. Mendirikan organisasi ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme (Pasal 220)
    2. Pidana Mati dalam Perbuatan Makar (Pasal 222)
    3. Memasuki wilayah yang sedang dibangun untuk keperluan pertahan dan keamanan negara (Pasal 234)
    4. Sabotase dan tindak pidana pada waktu perang terkait definisi “Negara Sekutu” (Pasal 247)
    5. Tindak Pidana Terorisme (Pasal 249 s.d. Pasal 261)
  2. Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden :
    1. Penyerangan terhadap Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 262)
    2. Penghinaan Terhadap Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 263 s.d. Pasal 264)
  3. Tindak Pidana Perizinan dan Gangguan terhadap Benih dan Tanaman (Pasal 319-327)
  4. Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama :
    1. Tindak pidana terhadap agama (Pasal 350)
    2. Tindak pidana terhadap kehidupan beragama (Pasal 351)
    3. Penghinaan terhadap orang yang beribadah (Pasal 352)
    4. Perusakan tempat ibadah (Pasal 353)
  5. Tindak Pidana Kesusilaan :
    1. Zina (Pasal 484 ayat (1) huruf e)[5]
    2. Samenleven / Kumpul kebo (Pasal 488)[6]
    3. Perbuatan cabul sesama jenis (Pasal 495 ayat (2))
  6. Tindak Pidana Perjudian (Pasal 505)
  7. Pengecualian Tindak Pidana Penghinaan (Pasal 540 ayat (3))
  8. Tindak Pidana terhadap Nyawa :
    1. Euthanasia (Pasal 587)
    2. Pengguguran kandungan (Pasal 589, Pasal 590, Pasal 591)
  9. Tindak Pidana Terhadap Kepercayaan dalam Menjalankan Usaha (seluruh pasal dipending/Pasal 649 s.d. Pasal 657)
  10. Tindak Pidana berdasarkan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat (Pasal 774)
  11. Bab Tindak Pidana Khusus :
    1. Tindak Pidana Terorisme (Pasal 249 s.d. Pasal 261)
    2. Tindak Pidana Korupsi (Pasal 698, Pasal 699)
    3. Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika (Pasal 507 s.d. Pasal 534)
    4. Tindak Pidana Pencucian Uang (Pasal 760 s.d. Pasal 767)
    5. Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia Yang Berat[7] (Pasal 400 s.d. Pasal 406)

Aliansi menilai bahwa masih begitu banyak pasal-pasal krusial yang masuk dalam daftar pending, terutama yang terkait dengan BUKU II R KUHP. Pasal-pasal krusial tersebut masih memiliki problematika serius bagi penegakan HAM di Indonesia.

Terkait Tindak Pidana dan Overkriminalisasi

Selain menyoroti terhadap pasal-pasal yang dipending, Aliansi RKUHP juga fokus terhadap pasal-pasal yang berpotensi menimbulkan overkriminalisasi serta ancaman pidana yang meningkat tajam dibanding pengaturan dalam KUHP. Pasal-pasal ini terdapat pada deretan pasal-pasal yang langsung disetujui oleh Panja RKUHP maupun pasal-pasal yang disetujui namun dengan beberapa catatan, diantaranya :

  1. Tindak Pidana Terhadap Ideologi Negara
  2. Tindak Pidana Makar
  3. Tindak Pidana Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden
  4. Tindak Pidana Penghinaan terhadap Pemerintah yang sah
  5. Tindak Pidana Penghinaan terhadap Lembaga Negara
  6. Tindak Pidana Terhadap Proses Sistem Penyelenggaraan Peradilan (Contempt of Court)
  7. Mempertunjukkan Pencegah Kehamilan

Dalam kurun waktu 1 tahun, Panja RKUHP bersama Pemerintah telah menuntaskan pembahasan Buku II RKUHP dengan jumlah 567 Pasal. Melihat begitu cepatnya pembahasan Buku II RKUHP khususnya mengenai berbagai tindak pidana yang dikemukakan diatas, Aliansi mengkhawatirkan tingkat komprehensif dan kualitas perbaikan rumusan yang justeru menjadi catatan Panja. Catatan tersebut berpotensi terabaikan oleh Tim Pemerintah tanpa ditinjau ulang oleh Timus dan Timsin dari Komisi III DPR RI.

Tugas Pemerintah yang belum terselesaikan dalam pembahasan RKUHP

Pemerintah seharusnya melaksanakan masukan-masukan yang disampaikan oleh Panja RKUHP atas beberapa ketentuan dalam pasal RKUHP yang telah diberikan. Selain itu Pemerintah juga ditugaskan untuk mereformulasi beberapa tindak pidana terkait dan sinkronisasi pasal-pasal yang telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi, Pemerintah juga memiliki tugas untuk merumuskan delik pokok (core crime) tindak pidana dalam Buku Kedua RKUHP serta merumuskan pedoman kebijakan pemidanaan terkait ancaman pidana (sentencing guideline).

Pada 16 Januari 2017, Pemerintah diminta oleh Panja RKUHP untuk merumuskan kembali delik pokok (core crime) tindak pidana dalam Buku Kedua RUU KUHP. Selain itu, pada 26 Januari 2017, Panja RKUHP memberikan mandat pada Pemerintah perihal pembuatan Matriks distribusi ancaman hukuman pidana dalam RKUHP. Salah satunya mengenai pembobotan pemidanaan dalam bentuk ringan, serius, dan sangat serius. Perlu diketahui bahwa sampai dengan saat ini belum ada kepastian soal pembahasan ancaman pidana dalam BUKU II R KUHP. DPR masih menunggu hasil studi internal pemerintah soal ini. Monitoring ICJR atas distribusi ancaman pidana penjara dalam R KUHP masih menunjukkan pola pemidanaan penjara yang lebih tinggi ketimbang KUHP saat ini. Implikasi serius atas kondisi tersebut adalah membesarnya beban institusi pemasyarakatan Indonesia.

Pada 18 Mei 2017, dalam audiensi Aliansi RKUHP dengan Asosiasi Tenaga Ahli Parlemen (ATAP), Aliansiu telah membahas mengenai perkembangan pedoman ancaman pidana (sentencing guideline) yang menjadi tugas pemerintah tersebut. Hingga pembahasan terakhir RKUHP di Panja pada 13 Juni 2016, Pemerintah belum menyampaikan mengenai kebijakan pemidanaan ini.

[1]Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Narkotika, Tindak Pidana Berat HAM, dan Tindak Pidana Pencucian Uang

[2] Pada 30 Mei 2017 Panja RKUHP melakukan rapat pembahasan dengan pimpinan KPK dan BNN, Laporan Monitoring ICJR, 13 Juni 2017.

[3] Berdasarkan laporan Monitoring Panja RKUHP, ICJR, 13 Juni 2017.

[4] KPK menolak dimasukkannya Tindak Pidana Korupsi dalam RKUHP. Sementara itu Komnas HAM menolak dimasukkannya Tindak Pidana Pelanggaran Berat HAM dalam RKUHP karena rumusan dalam RKUHP dinilai lebih buruk dari rumusan dalam UU sektoral tersebut.

[5]3 fraksi menyarankan untuk dihapus dan 7 fraksi tetap

[6]4 fraksi dihapus, 6 fraksi tetap

[7]Pemerintah diminta mereformulasi ulang seluruh Bab IX khususnya Bagian Tindak Pidana terhadap Kemanusiaan dan Bagian Tindak Pidana dalam Masa Perang atau Konflik Bersenjata.

Leave a Reply