Memanusiakan Narapidana
Komisi III DPR RI mematangkan perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang banyak menyadur hukum zaman kolonialisme Belanda. Selain menyesuaikan hukum dan peradilan dengan kondisi kekinian masyarakat, revisi KUHP ini juga ingin menyesuaikan dengan pandangan bangsa bagi para terpidana.
Sebenarnya perubahan ini telah terjadi sejak istilah penjara tidak lagi digunakan sejak era 70an, dan kemudian diganti menjadi Lembaga Pemasyarakatan. Perubahan nama ini juga membawa perubahan bagi perlakuan dan konsep pembinaan bagi warga lapas.
Kepala Lapas Kelas I Cipinang, Jakarta Timur menyebutkan perubahan besar saat Direktorat Kepenjaraan di bawah Kementerian Kehakiman ini berubah mnejadi Direktorat Pemasyarakatan. Pola pikir yang mulai dibentuk yakni Lapas sebagai tempat membina narapidana agar bisa kembali ke masyarakat, bukan tempat untuk membuat orang jera dan membalas dendam bagi narapidana.
“Kita sebagai lapas jadi tempat menjalani pidana. Kita memberikan pembinaan mental, rohani, dan keterampilan. Nah setelah keluar dari lapas, narapidana kita harapkan bisa terintegrasi dengan masyarakat kembali,” kata Edi saat berbincang dengan metrotvnews.com, Kamis (28/4/2016).
Namun perubahan pandangan kepada terpidana yang seharusnya dibina dan bukan dibuat jera ini dapat dikatakan tidak berhasil. Karena lapas akhirnya tetap menjadi muara terbesar dari aliran sungai peradilan hukum Indonesia.
Akibat dari tata kelola hukum ini, penjara menjadi kelebihan kapasitas karena pencuri sendal jepit hingga pencuri nyawa manusia hampir pasti berujung di balik jeruji.
Permasalahan kelebihan kapasitas (overcapacity) menjadi pembicaraan serius di pemerintahan. Karena jumlah narapidana yang kini sudah mencapai 188.251 dan telah lebih banyak 58 persen dari kapasitas penjara dipastikan terus bertambah.
Pembahasan revisi KUHP akan bersinggungan dengan jenis pidana baru bagi terpidana. Selain membawa semangat peradilan yang seadil-adilnya, juga akan ada pembahasan yang menyinggung dua kejahatan yang banyak memenuhi bui dan solusi hukumnya. Kasus narkotika dan tindak pidana ringan.
Ubah pondasi hukum
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PPP Arsul Sani menyebut akan ada perubahan pondasi umum bagi pidana di Indonesia. Penghukuman bagi pelaku kejahatan yang dimungkinkan oleh aturan hanya terfokus di pidana penjara, pidana denda, dan pidana mati akan mengalami perubahan.
“Di KUHP yang sekarang, Pidana pokoknya kan tertumpu di pidana penjara dan pidana denda. Yang akan datang itu, ada pidana pengawasan, pidana tutupan, pidana kerja sosial, dan segala macamnya,” kata Arsul saat berbincang dengan metrotvnews.com, Sabtu (29/4/2016).
Di KUHP yang akan datang akan dibahas beberapa aturan hukum dan hukuman yang selama ini banyak membawa persoalan. Salah satunya pemikiran untuk tindak pidana ringan yang seharusnya bisa tak berujung penjara.
Selamat ini seringkali sistem peradilan membuat hukum seolah tumpul ke atas namun tajam ke bawah. Salah satu peristiwa yang mendapat perhatian publik yakni persidangan kasus pencurian sendal jepit dengan terdakwa berinisial AAL (15). Pada sidang putusan tahun 2012, AAL kemudian dijatuhi hukuman 5 tahun penjara.
Seharusnya, AAL yang saat itu hanya seorang siswa SMKN 3 Palu Selatan, Sulawesi Tengah yang sampai ke persidangan tak sampai dipidana penjara. Namun karena tidak ada bentuk pidana lain, ditambah persoalan sangat manusianya hakim yang memimpin persidangan, kasus tindak pidana ringan yang sebenarnya sepele justru membuat terpidana senewen saat dijatuhi hukuman
Contoh lain yang juga banyak disorot adalah kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan RS Omni International dengan terpidana Prita Mulyasari. Prita yang mengeluhkan kesalahan diagnosa yang dilakukan dokter RS di media sosial menjadi viral. Alih-alih mendapat kompensasi atau permintaan maaf dari RS, Prita justru dipenjarakan pada 2009.
Hal ini yang ingin dihindari di kemudian hari. Dengan adanya pidana kerja sosial, semisalnya dihukum kerja menyapu di pasar, atau jenis pidana lain yang kita belum termaktub di KUHP diyakini akan memberi efek jera tanpa mengurangi hak-hak terpidana.
Selain soal tindak pidana ringan yang menjadi persoalan, kasus pengguna narkoba yang masih abu-abu pelaksanaannya juga akan menjadi pembahasan. Bahkan pelaksanaan proses hukum pengguna narkoba yang sesuai dengan Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika seringkali terkendalan soal rehabilitasi. Sebab, pandangan antar penegak hukum terkait proses pidana hukum bagi pengguna dan rehabilitasi sendiri masih sering tak satu.
Apakah pengguna diproses hukum dan dijatuhi hukuman rehabilitasi, atau direhabilitasi langsung tanpa proses hukum.
Proses penindakan berbentuk rehabilitasi ini nantinya akan memberikan keuntungan bagi terpidana maupun negara. Pengguna dapat memiliki kepastian hukum yang lebih terjamin dan tidak perlu dibayang-bayangi kungkungan penjara. Beban negara di pengelolaan lapas akan semakin berkurang, karena kelebihan kapasitas lapas di Indonesi sebagian besar disebabkan pengguna narkotika.
“Kasus narkotika itu sekitar 60 persen dari total narapidana. Nah 80 persen dari kasus itu adalah pengguna yang dipenjara. Kalau semisalnya direhabilitasi, pasti masalah kelebihan kapasitas bisa berkurang tajam,” kata Kriminolog UI Ganjar Laksmana Bonaparta kepada metrotvnews.com, Sabtu (30/4/2015).
Utak-atik kitab aturan utama bagi hukum pidana ini tengah berjalan di DPR. Arsul menyebut pembahasan buku satu yang berisi ketentuan umum hukum pidana akan selesai pertengahan tahun.
Memanusiakan narapidana
Masuk penjara gemuk, keluar tinggal tulang. Hidup sehari di penjara terasa bagai lima hari. Masih banyak lagi jargon yang mempersepsikan betapa menderitanya hidup di lapas. Lapas pun identik dengan kata penderitaan dan kesengsaraan.
Berbagai upaya pun dilakukan narapidana untuk meningkatkan kenyamanannya selama menjalani pidana. Mulai dari mencat sel yang memang telah penuh sesak karena kelebihan kapasitas, hingga memasukkan barang dari luar untuk kebutuhan pribadi.
Namun hal ini juga memunculkan kabar tak sedap. Isu “harus ada setoran ke oknum petugas jika ingin memasukkan barang ke dalam lapas” jadi santer beredar. Bahkan jika jumlah pelicin cocok, barang dilarang seperti telepon genggam hingga narkotika pun bisa lewat dari pengawasan.
Isu ini dipertegas dengan banyaknya penemuan dalam razia di lapas-lapas. Salah satunya saat razia yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Lubuk Pakam, Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara pada 24 Maret lalu. Razia yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional Kabupaten (BNNK) Deliserdang, Polres Deliserdang, Direktorat Narkoba Polda Sumut, dan petugas lapas menemukan beberapa barang terlarang seperti ponsel, laptop dan barang terlarang lainnya.
Petugas gabungan juga menemukan fasilitas karaoke dan salon di dalam lapas. Namun fasilitas tersebut diakui sebagai fasilitas hiburan berbentuk Karaoke Televisi bagi petugas lapas dan salon untuk melatih keterampilan warga binaan.
Edi yang pernah memimpin di seluruh lapas dan rutan di DKI Jakarta berharap, masuknya barang-barang tidak berstandar lapas ini jangan dibesar-besarkan dan selalu dipandang negatif.
“Kalau saya sih melihatnya bukan kita (pihak lapas) memberikan fasilitas atau apa. Sekarang begini, kalau soal fasilitas, narapidana itu kan dihukum bukan sebulan dua bulan atau setahun dua tahun. Ada yang bertahun-tahun dan sangat panjang. Kalau semisalnya untuk meningkatkan kenyamanan kamarnya, negara tidak bisa memberikan, kan tidak salah,” terang Edi.
Hal yang sederhana misalnya kasur dan toilet. Setiap lapas memiliki standar barang yang disediakan bagi narapidana. Namun kalau semisalnya ada kebutuhan khusus bagi narapidana yang tidak bisa menggunakan kloset jongkok atau kasur standar lapas karena berbagai alasan, pihak lapas tidak mungkin menolak keluarga yang ingin menyumbang.
“Kalau sebatas dirapikan, dicat, ditambahi barang kebutuhan, kenapa kita larang. Persepsinya itu kan dibuat buruk. Nah yang jadi masalah itu kalau dibuat jadi seperti hotel bintang lima, itu salah,” tegas Edi.
Apa yang disampaikan oleh Edi ini juga diamini oleh Arsul di kesempatan yang berbeda. Arsul menyebut, konsep penjara yang tidak lagi membalas dendam perbuatan terpidana harus diingat walau lapas memang harus ditertibkan.
Bahkan menurut Arsul, barang-barang kebutuhan semacam laptop layak saja masuk ke dalam lapas. Terutama bagi terpidana yang memiliki intelektual tapi tersandung kasus sepele. “Di lapas tertentu, bolehlah dipasang wi-fi, tapi diawasi,” kata Arsul
Arsul menambahkan, jangan sampai aturan terkait fasilitas bagi narapidana dibuat sangat kaku. Bukannya membina dan memasyaratkan, itu justru sangat keterlaluan karena menghilangkan hak terpidana yang seharusnya tetap bisa dijamin. Namun yang paling penting adalah pengawasan agar pemenuhan kebutuhan sendiri ini tidak terlalu berlebihan dan membuat kecemburuan bagi narapidana lain.
Relaksasi aturan dan membuka ruang dengan tetap menjaga pengawasan bagi terpidana harus dilakukan. Karena lapas bukan lagi penjara. Lapas memiliki tugas membina dan berupaya membekali terpidana agar bisa kembali masuk ke masyarakat. Sebab narapidana juga manusia.
Sumber: http://m.metrotvnews.com/read/2016/05/02/522344