Membaca Kekeliruan “Makar” Dalam Rancangan KUHP

Keberadaan tindak pidana makar dalam konteks proses demokratisasi di Indonesia, perlu ditinjau kembali karena berpotensi mengancam kebebasan sipil (civil liberties) dan kebebasan berekspresi setiap warga negara yang  memilih ideologi politik yang berbeda. Di samping itu, pasal-pasal yang mengatur tindak pidana makar juga berpotensi mengancam upaya kontrol masyarakat sipil terhadap kebijakan pemerintah atau kinerja pemerintahan yang dinilai berdampak terhadap tercerabutnya hak asasi warga negara. Ancaman kriminalisasi tersebut tidak terlepas dari karakteristik tindak pidana makar yang bersifat  politik  karena bersinggungan dengan rezim suatu pemerintahan yang  tengah  berkuasa  sehingga dianggap mengancam  keamanan,  ketertiban, dan keutuhan  negara.  Pada titik ini, maka upaya melihat kembali penormaan tindak pidana makar dalam RKUHP menjadi penting karena rumusan norma tersebut  berpotensi besar untuk digunakan secara sewenang-wenang  oleh penguasa yang bertindak atas nama hukum.

 Berkaitan dengan  perumusan norma tindak pidana makar dalam RKUHP yang berpotensi menegasikan jaminan kebebasan sipil dan kebebasan berekspresi,  pada 18 Mei 2015 yang lalu Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyelenggarakan  focus group discussion (diskusi terfokus)  dengan tema “Melihat Kembali Tindak Pidana Makar dalam RKUHP” dengan menghadirkan Dr. Maruarar Siahaan, S.H., M.H.,  Ahli Hukum Tata Negara,  Fakultas Hukum,  Universitas Kristen Indonesia, Dr. Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H., Ahli Hukum Pidana,  Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan Arsil,  Kepala Divisi Kajian Hukum dan Kebijakan Peradilan, LEIP.

Arsil mencontohkan 2 kasus tindak pidana makar dimana dalam kasus pertama seorang perempuan ditangkap karena melakukan pembaptisan anaknya bertepatan dengan peringatan HUT Proklamasi Republik Maluku Selatan (RMS) sembari melakukan  upacara penghibaran bendera RMS dan doa bersama untuk perjuangan RMS.   Kasus kedua, seorang lelaki yang ditangkap karena turut serta dalam acara peringatan HUT proklamasi kemerdekaan Negara Republik Melanesia Barat atau Papua Barat. Dalam upacara tersebut dilakukan pengibaran bendera Bintang 14, bendera negara Papua Barat. Kemudian  MA menyatakan bersalah karena dianggap melakukan makar, padahal tidak diketemukan persenjataan sebagai bukti  prima facie suatu  tindakan dikualifikasikan  masuk dalam lingkup tindak pidana makar. Mereka divonis pidana oleh MA hanya  karena  memiliki bendera  dan sejumlah dokumen.  Apabila merujuk pada pasal 87 KUHP, rumusan norma tersebut  tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan ‘makar’. Pasal ini mengatur jika niat telah ada dan telah ada permulaan pelaksanaan, maka telah sempurna melakukan suatu perbuatan makar.

Menurut Arsil kriminalisasi tersebut tidak terlepas dari penggunaan istilah makar yang  secara gramatikal sebenarnya dimaknai secara terbatas menyerang secara kuat, namun kemudian  ditafsirkan secara meluas (ekstensif) oleh pengadilan  sehingga mencakup tindakan diluar makna asal istilah makar itu sendiri.  Asal kata makar merupakan terjemahan dari bahasa Belanda aanslag yang memiliki arti yang sama dengan onslaught dalam bahasa inggris yang artinya juga violent attack, fierce attack atau segala serangan yang bersifat kuat (vigorious). Di samping itu, para penerjemah tidak menemukan bahasa Indonesia yang dapat dipadankan dengan istilah aanslag sehingga merujuk pada bahasa lain, yakni  bahasa Arab, makar yang berasal dari al-makr sama artinya dengan tipu daya/tipu muslihat atau rencana jahat.  Kemudian Arsil menyimpulkan bahwa rumusan RKUHP juga belum cukup merumuskan norma makar karena gagal menormakan elemen tindak pidana menyerang. Dengan demikian, kebebasan ekspresi politik seseorang semestinya tidak masuk ruang lingkup dan dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana makar karena tidak memenuhi elemen tindakan penyerangan.

Sementara itu, Dr. Eva menyampaikan bahwa pada intinya Tindak Pidana Makar adalah Tindak pidana yang dilakukan oleh warganegara dengan menjadikan system kekuasaaan/pemerintahan yang ada di suatu negara sebagai obyek/sasarannya. Dalam arti sederhana Makar adalah penghianatan, penumbangan atau pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah.

Di Belanda atau di Perancis, Makar diterjemahkan sebagai attack yang artinya setiap serangan (fisik) atau tindakan nyata untuk (misalnya) menyerang keselamatan Raja atau ratu  dipidana dengan pidana penjara seumur hidup(Pasal 92-95 Penal Code) atau negara dipidana dnegan pidana penjara 30 tahun (Article 412-1 sampai 412-2). Sementara untuk rumusan pasal yang sama dibeberapa negara menggunakan istilah attempt atau  mencoba.

 “Tidak ada perbedaan yang khusus bila mengacu pada kedua definisi ini. Pasal 87 KUHP dan Pasal 191 Rancangan KUHP. Tapi dalam RKUHP terdapat lembaga “persiapan dan permufakatan jahat” dalam Buku Kesatu, sebagai perluasan pertanggungjawaban pidana yang menjadi asas umum.”

Sehingga menurutnya Pasal 191 dalam RKUHP menjadi tidak diperlukan lagi, karena saat ini menjadi lebih ketat lagi, karena perbuatan persiapan tindak pidana sudah dipidana, apalagi tindak pidana makar itu sendiri.

Sementara itu, Maruarar Siahaan menyampaikan tindak pidana makar merupakan tindak pidana yang sifatnya kejahatan politis, sehingga sudah sepatutnya ditinjau kembali definisinya yang ketat, guna mencegah kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dan bisa sejalan dengan penghormatan hak asasi manusia.

Leave a Reply