Menakar Penghinaan dalam R KUHP
Dalam diskusi mengenai rencana Perubahan KUHP, Asep Komarudin, Kepala Divisi penelitian LBH Pers, mengatakan bahwa terdapat 65 pasal dalam RKUHP yang berpotensi mengancam kebebasan pers dan membatasi kerja jurnalistik, serta ancaman pidananya lebih meningkat di RKUHP sekarang. Berkaitan pencemaran nama baik, memang reputasi seseorang itu masih yang paling utama dan harus di proteksi, namun kita masih bisa mencoba mencari alternatifnya, misalnya melalui depenalisasi, bukan melalui pidana tetapi berupa pidana denda. Karena meskipun kasus kriminalisasi berdasarkan pasal pencemaran nama baik itu meningkat, namun putusan hakim rata-rata 1 tahun kebawah. Maka dari itu hukum pidana bukan satu-satunya solusi yang memberikan pembatasan kebebasan berekspresi.
Dalam kesempatan yang sama, Anggara, Peneliti ICJR menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi pernah memutuskan pasal Penghinaan Presiden tidak boleh ada lagi di dalam KUHP maupun RKUHP. Sayangnya pencantuman Pasal Penghinaan Presiden dilakukan tanpa kajian yang mendalam.
“Belum lagi ada UU Bendera, Lagu kebangsaan, dan bahasa Ini jadi persoalan kalau tidak pernah ada praktek penegakan hukum sama sekali. Alasannya apa dicantumkan dalam RKUHP?” Menurutnya pertanyaan itu tidak terjawab dalam naskah akademik dan tim perumus.
Roichatul Aswidah, Komnas HAM, menambahkan di Eropa memang semua Negara memiliki apa yang disebut Margin of appreciation terkait kebebasan berekspresi. Margin of expression menurutnya adalah batas toleransi Negara dapat mengatur kebebasan. Ia mencotohkan bagaimana menterjemahkan margin of appreciation didalam kebebasan pers. Pers tetap diakui bahwa pers menjaga kepentingan masyarakat yang demokratis. Tetapi pers masih tetap memiliki hak untuk menyebarkan gagasan untuk kepentingan publik. Itu tetap dilindungi untuk kepentingan public, dan pers diakui sebagai cara bagaimana kita mengungkap, mengangkat, mengkritik, sikap dan gagasan dari pemimpin politik.
Mantan anggota Dewan Pers, Leo Batubara, memiliki pandangan bahwa RKUHP lebih represif dari KUHP yang dibuat oleh Belanda. Ucapan ini juga diamini oleh Julius Ibrani dari YLBHI menanggapi bahwa usulan penggunaan mekanisme perdata hari ini tidak sulit, misalnya ganti rugi berupa pemulihan nama baik.