Menyoal Rancangan KUHP Rasa ‘Penjajah’

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) batal disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) pada masa sidang III Tahun Sidang 2017-2018. Sidang paripurna yang digelar Senin, 12 Februari 2018 lalu, sepakat menunda pengesahan dan melanjutkan pembahasan R-KUHP pada masa sidang ke-IV.

Sempat tersiar kabar R-KUHP ini sebenarnya akan disahkan dalam waktu dekat ini. Namun, pasca desakan masyarakat sipil melalui serangkaian aksi, pada akhirnya rencana pengesahan dalam waktu dekat pun ditunda.

Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mengatakan perpanjangan pembahasan R-KUHP cukup realistis, di tengah masih banyaknya perdebatan dan membutuhkan diskusi lebih jauh di sejumlah pasal. Ditambah lagi masa kerja pansus yang ada, dinilai belum cukup untuk mengakomodir segala perbedaan di dalamnya.

“Maka kita putuskan tadi bamus itu dilanjutkan pada masa sidang berikutnya,” kata Bambang Soesatyo di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin, 12 Februari 2018.

Tak dimungkiri, sejumlah pembahasan pasal dalam R-KUHP memunculkan perdebatan di ranah publik maupun di internal DPR. Khususnya mengenai norma pasal yang berpotensi mengkriminalisasi kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers.

Koalisi Kebebasan Berekspresi dan Kebebasan Pers menyatakan, dalam berbagai rumusan pasal-pasal dalam RKUHP masih banyak rumusan yang berpotensi mengkriminalkan kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers.

Antara lain, Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, kepala negara dan wakil kepala negara sahabat, penghinaan terhadap pemerintah; Penghinaan terhadap Pemerintah; Pencemaran nama baik; Fitnah; Penghinaan ringan; Pengaduan fitnah; Penghinaan terhadap Simbol Negara;Penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara.

Kemudian penghinaan terhadap agama; Penyebaran dan Pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme; Pernyataan perasaan permusuhan atau penghinaan terhadap kelompok tertentu; Penyiaran berita bohong dan berita yang tidak pasti; Gangguan dan penyesatan proses pengadilan.

“Poin-poin ketentuan di atas masih tetap dipertahankan dalam rumusan R-KUHP hingga saat ini,” kata Direktur LBH Pers, Nawawi Bahrudin, dari Koalisi Kebebasan Berekspresi dan Kebebasan Pers dalam keterangan persnya, Selasa, 13 Februari 2018.

Koalisi menyoroti rumusan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang mencabut pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP yang rumusannya sama dengan pasal penghinaan Presiden dan Wakil Preisden dalam R-KUHP.

“Tidak hanya pasal penghinaan terhadap Presiden, namun pasal penghinaan lainnya seperti penghinaan terhadap pemerintahan yang sah, penghinaan terhadap lembaga negara, dan lainnya juga rentan menyasar siapa saja pihak-pihak yang melontarkan kritik dan aspirasinya terhadap pemerintah,” ujarnya.

Menurut Nawawi, hal tersebut terjadi lantaran tidak jelasnya kategori perbuatan apa saja yang dianggap penghinaan atau bukan penghinaan. Frasa “penghinaan” dalam setiap rumusan pasal menimbulkan kerancuan dan multi tafsir, rentan disalahgunakan oleh aparat penegak hukum terhadap pihak yang menyampaikan kritik dan aspirasinya.

Monumen Kolonial

Senada, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Totok Yuliyanto, mengatakan ketentuan pemidanaan atas penghinaan terhadap Presiden di R-KUHP maupun anggota DPR di Revisi UU MD3, menimbulkan kontroversi. Selain multitafsir tanpa indikator yang jelas, juga berpotensi terjadi overkriminalisasi terhadap masyarakat dari berbagai kalangan, mulai dari aktivis, pers, pengamat, bahkan sampai peneliti.

“Pada intinya, masyarakat tidak bisa menyatakan ekspresi dan/atau pendapatnya serta bertukar informasi faktual terkait dengan semua itu, karena berpotensi untuk dianggap sebagai suatu penghinaan yang dapat dipidana,” kata Totok dalam keterangan persnya, Rabu, 14 Februari 2018.

Demokrasi lanjutnya, akan mengalami stagnansi ketika masyarakat dibayang-bayangi ketakutan dalam memberikan kritik terhadap orang yang mereka pilih. Ketentuan dalam R-KUHP merupakan pengkhianatan terhadap mandat reformasi. Dimana, salah satu masalah fundamental dari rezim otoriter Orde Baru, adalah “pembungkaman publik”, yang merupakan warisan dari kolonial Belanda.

“Ini sesat pikir dalam konteks menjaga kehormatan,” ujarnya.

Lebih jauh, Aliansi Nasional Reformasi KUHP meminta Presiden Joko Widodo berhati-hati karena apabila RKUHP saat ini disahkan oleh DPR, pemerintahan Jokowi dianggap sebagai rezim yang membangkang pada Konstitusi, membungkam kebebasan berekspresi dan memberangus demokrasi.

Salah satu bukti R-KUHP bertentangan dengan Konstitusi adalah kembalinya pasal penghinaan Presiden, yang merupakan salah satu monumen penjajah kolonial.

“RKUHP juga memiliki banyak pasal-pasal multitafsir dan tak jelas seperti pidana penghinaan, penghinaan presiden dan lembaga negara, kriminalisasi hubungan privat, dan lain sebagainya yang pada dasarnya dapat memenjarakan siapa saja,” terang Aliansi Nasional Reformasi KUHP dalam keterangan persnya.

Disamping itu, ada pasal dalam R-KUHP yang berpotensi menyasar pada pembungkaman kerja jurnalistik. Rumusan pasal yang mengatur pemidanaan terhadap siapapun yang mempublikasikan sesuatu yang menimbulkan akibat atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan, rentan menyasar dan mengkriminalisasikan kerja jurnalistik yang meliput proses persidangan.

Delik mengenai penyebaran berita bohong dalam R-KUHP juga berpotensi ancaman kerja pers menjalankan tugas-tugasnya untuk menyiarkan fenomena publik. Nawawi menegaskan, upaya-upaya mengkriminalisasi kerja-kerja publikasi oleh pers tidak sesuai dengan semangat kemerdekaan pers sebagaimana dijamin dan diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Berdasarkan hal diatas, kami mendesak Pemerintah dan DPR menghormati jaminan atas kebebasan berpendapat dan berekspresi yang sudah diatur dalam Konstitusi. Meminta pemerintah dan DPR mencabut rumusan pasal-pasal yang berpotensi membungkam kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers,” terang Direktur LBH Pers, Nawawi Bahrudin.

Bantah Overkriminalisasi

Anggota Panja R-KUHP, Taufiqulhadi membantah ada sejumlah pasal dalam ketentuan R-KUHP yang berpotensi menghadirkan overkriminalisasi. Apabila yang dipersoalkan sejumlah elemen masyarakat atau LSM terkait dengan pasal penghinaan Presiden, maka sesungguhnya pasal tersebut menggunakan teknik delphi, atau mengumpulkan data dari berbagai responden.

“Jadi metode delphi jatuhnya penghinaan Presiden paling lama 2 tahun,” kata Taufiqulhadi kepada VIVA, Rabu, 14 Februari 2018. Ia pun menegaskan bahwa Presiden adalah simbol negara yang tak boleh dihina oleh siapapun.

Politikus Nasdem ini tak ingin terpancing dengan perspektif LSM yang cenderung Barat, tidak cocok untuk Indonesia yang berbudaya Timur. LSM dinilainya hanya mewakili kepentingan Barat. Seperti pada pasal Zina, dimana para LSM itu mendesak agar menjadi delik aduan.

“Kalau LSM katakan kok itu dimasukkan? LSM bikin saja KUHP sendiri. Kami tak bikin KUHP untuk kepentingan Barat.
Justru kami diskusikan dalam konteks bangsa Indonesia,” ujarnya.

Kemudian, terkait penyebaran berita bohong atau hoax, Taufiq menegaskan pers harus menjadi corong kebenaran bukan justru menyebarkan berita hoax. Makanya, Ia yakin media massa yang qualified tidak mungkin menyampaikan berita-berita hoax.

“Kecuali oleh online-online yang tak jelas. Daripada dia hancurkan ketertiban umum lebih baik diambil sikap oleh otoritas. Kami setuju pada penyebar berita hoax (dihukum). Masa kalian mau bersaing dengan berita bohong. Di jerman juga sudah diambil sikap soal hoax, bagaimana dikatakan kolonialis?,” kata dia.

Nasir Jamil, anggota Panja R-KUHP, menekankan keberadaan pasal penghinaan Presiden bukan berarti Presiden tak bisa dikritik. Namun di sisi lain, harus punya peradaban, sehingga demokrasi Indonesia terarah dan mendidik masyarakat menyampaikan kritik dengan baik.

Keberadaan pasal penghinaan Presiden di R-KUHP pada prinsipnya kata Nasir, ingin menjaga demokrasi dan negara hukum. Sehingga setiap orang harus menyampaikan segala sesuatu dengan bertanggungjawab. “Jadi intinya ingin jaga dua, bandul demokrasi dan bandul hukum. Kita enggak ingin hukum ancam demokrasi, kita juga enggak mau demokrasi mengancam hukum,” terang politikus PKS ini.

Sementara itu, politikus Gerindra yang juga anggota Panja R-KUHP, Desmond Mahesa memastikan semua pasal yang dikhawatirkan mengancam demokrasi dan kebebasan pers masih terbuka untuk dirubah melalui dialog. Asalkan, semua argumentasi yang disampaikan berdasar dan bisa dipertanggungjawabkan.

Desmond tak menampik munculnya pasal-pasal karet dalam R-KUHP memicu terjadinya perdebatan, sehingga Ia mengajak semua elemen masyarakat sipil untuk bergerak merespon ini.

“Sebelum di luar pembahasan, saya pikir bisa. Ada kelompok wartawan, undang pemerintah, undang dari DPR. Agar semakin jelas debatnya. Kenapa ada kesepakatan pasal ini? Sebelum ini diketok,” kata Desmond di Gedung DPR RI, Rabu, 14 Februari 2018.

Sumber: https://www.viva.co.id/indepth/fokus/1007296-menyoal-rancangan-kuhp-rasa-penjajah

Leave a Reply