Paradigma Anti-Pencucian Uang dan Kodifikasi Hukum Pidana; Catatan atas Masuknya Pasal-Pasal Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Rancangan KUHP
Disusun oleh Refki Saputra | Indonesian Legal Roundtable
Pendahuluan
Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKHUP) tengah bergulir di DPR RI. Salah satu isu substansial yang mengemuka adalah, terkait masukknya seluruh pasal-pasal tindak pidana yang tersebar diluar KUHP[i] saat ini kedalam buku II RKUHP. Sekilas tampak bahwa, politik hukum yang hendak dicapai perumus RKHUP adalah hendak memperluas cakupan kodifikasi hukum pidana. Perluasan dimaksud adalah, tidak saja sebatas tindak pidana yang memang sudah diatur sebelumnya dalam KUHP warisan pemerintah kolonial Belanda, namun juga terhadap tindak pidana yang muncul setelah berlakunya KUHP, yang mana tindak pidana tersebut (walaupun tidak semua) berbeda dengan tindak pidana yang ada dalam KUHP.
Adapun model yang hendak ditawarkan oleh tim perumus adalah bentuk kodifikasi secara total, dengan menempatkan seluruh norma hukum pidana yang berlaku secara nasional dalam satu kitab hukum pidana.[ii] Pada dasarnya, kebijakan tersebut baik adanya. Tujuannya, agar seluruh warga negara dapat secara mudah menemukan dan sekaligus memahami rumusan tindak pidana, karena diatur dalam satu wadah yang tersistematisasi. Tidak seperti saat ini, yang mana tatkala kita hendak menemukan rumusan tindak pidana diluar KUHP, maka yang harus dilakukan pertama kali adalah mencari undang-undang yang mengaturnya. Kemudian, untuk memahaminya secara keseluruhan harus membandingkannya dengan KUHP, karena ada asas-asas umum yang masih berlaku sepanjang tidak ditentukan lain dalam undang-undang tersebut. Selain itu, sebagaimana manfaat kodifikasi dalam tataran yang lebih praktis, yakni mempermudah penuntut umum dalam merumuskan bentuk dakwaan.
Namun, kodifikasi total yang hendak diwujudkan dalam RKUHP tersebut, bukan tanpa persoalan. Tim perumus, hendak memaksakan aturan tindak pidana yang berada diluar KUHP untuk masuk kedalam buku II RKHUP dan harus mengikuti sistem yang ada adalam RKUHP. Hal ini dapat dilihat dalam Ketentuan Peralihan, Pasal 782 ayat (2) RKUHP, yang menyebutkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun, seluruh ketentuan pidana diluar KUHP yang dimasukkan dalam buku II KUHP, harus disesuaikan dengan buku I dengan melakukan perubahan undang-undangnya masing-masing.
Padahal, beberapa ketentuan materil tindak pidana diluar KUHP, memiliki sejumlah perbedaan yang mendasar, seperti tindak pidana pencucian uang. Jenis tindak pidana yang lahir sejak dirumuskannya Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances atau Konvensi Wina tahun 1988 dan baru berlaku di Indonesia pada tahun 2002, melalui UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang memiliki sejumlah karakter atau paradigma yang berbeda dengan tindak pidana pada umumnya.
Anti-pencucian uang sebagai paradigma baru dalam memberantas kejahatan
Tindak Pidana Pencujcian Uang (TPPU) adalah tindak pidana terkait dengan penyembunyian hasil kejahatan. Ia lahir berdasarkan pengalaman panjang dunia internasional dalam memerangi kejahatan narkotika yang terorganisir.[iii] Pada dasarnya, tindak pidana pencucian uang bukanlah jenis tindak pidana yang sama sekali baru. Hal ini dapat dilihat dari salah satu rumusan dari delik TPPU adalah adanya “harta hasil tindak pidana”, yang merujuk kepada tindak pidana yang sudah ada, seperti tindak pidana korupsi, narkotika, perbankan, penggelapan, penipuan dan lain-lain sebagai tindak pidana asal atau predicate crime.
Kriminalisasi terhadap penyembunyian hasil kejahatan sebagai inti dari delik TPPU, pada dasarnya hendak mengefektifkan proses penegakan hukum terhadap tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan, yang selama ini seringkali terhambat karena masih mengedepankan pendekatan penelusuran jejak-jejak kejahatan (im personal) melalui pencarian alat bukti kejahatan dan pelaku kejahaatan. Proses ini berfokus hanya pada pelaku kejahatan beserta barang buktinya, yang dilakukan dengan mencari orangnya (tersangka), kemudian ditangkap dan dituntut berdasarkan bukti yang terungkap di persidangan, lalu dipenjarakan. Penegakan hukum yang demikian telah terbukti gagal melawan bentuk kejahatan teorganisir yang beroperasi mengumpulkan kekayaan dalam jumlah yang sangat besar.[iv]
Pengungkapan tindak pidana dan pelaku tindak pidana pencucian uang lebih difokuskan pada penelusuran aliran dana/uang haram atau transaksi keuangan pelaku kejahatan. Dengan kata lain, penelusuran aliran dana melalui transaksi keuangan, merupakan cara yang paling mudah untuk menemukan jenis kejahatan, pelaku kejahatan dan tempat dimana hasil kejahatan disembunyikan atau disamarkan. Pendekatan ini tidak terlepas dari paradigma pencucian uang bahwa hasil kejahatan (proceeds of crime) merupakan “life blood of the crime”, artinya hasil kejahatan merupakan darah yang menghidupi tindak kejahatan itu sendiri sekaligus titik terlemah dari mata rantai kejahatan.[v] Maka, paradigma utama dari TPPU adalah mengedepankan pendekatan aset (in rem) dalam menanggulangi kejahatan, yakni pendekatan penelusuran aliran uang atau harta kekayaan hasil kejahatan (follow the money).
Jika pengungkapan kejahatan secara konvensional dilakukan dengan melacak jejak-jejak kejahatan, maka strategi follow the money dilakukan dengan melacak jejak-jejak transaksi keuangan (paper trail) yang ditinggalkan oleh pelaku kejahatan. Hal ini yang sering disebut sebagai pengungkapan kejahatan dari hilir, yakni dari hasil kejahatan yang dihasilkan menuju kepada kejahatan yang dilakukan dan terakhir kepada pelaku kejahatan sebagai penerima atau penikmat dari hasil kejahatan tersebut. Pada dasarnya, pendekatan follow the money mendahulukan mencari uang atau harta kekayaan hasil tindak pidana (in rem) dibandingkan dengan mencari pelaku kejahatan (in personam). Setelah hasil kejahatan diperoleh, kemudian baru dicari terduga pelakunya dan tindak pidana (asal) yang dilakukan.[vi]
Logika yang ada dibalik pendekatan ini merujuk pada fakta, bahwasannya pelaku kejahatan terorganisir yang biasanya berada dalam posisi terhormat dapat memisahkan diri baik secara moral, psikologis dan geografis dengan kejahatan jalan yang dilakukan oleh para anggota organisasi. Akan tetapi, ia tidak dapat menjauhkan diri dari keuntungan kejahatan tersebut, karena memang itulah alasan mereka bekerja secara terorganisir dalam melakukan aktivitas kejahatan.[vii] Ia mencoba menyamarkan atau mengaburkan hubungan dengan hasil kejahatan agar terhindar dari kejaran penegak hukum, namun pada dasarnya dia tetap terhubung dan dapat mengontrol hasil kejahatan tersebut. Para penjahat tersebut hanya dapat teridentifikasi dan kemudian dikenakan hukuman, apabila uang dari hasil kejahatan yang mengarah kepadanya dapat dilacak dan ditemukan.[viii]
Problem kodifikasi pasal TPPU dalam RKUHP
Melalui sistem kodifikasi, pasal-pasal tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dimasukkan dalam BAB XXXVI RKUHP bersama-sama dengan tindak pidana penadahan dan penerbitan dan pencetakan. Adapun Pasal-pasal tindak pidana pencucian uang dalam bab tersebut pada dasarnya berasal dari UU No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucain Uang (UU TPPU).[ix] Hampir tidak ada rumusan delik yang berubah, hanya beberapa sanksi pidana yang mengalami sedikit peningkatan. Yakni, sanksi denda yang sebelumnya diatur dalam UU TPPU paling banyak Rp. 10 milyar, sementara dalam RKUHP menjadi paling banyak Rp. 15 milyar (kategori VI). Selain itu, rumusan tindak “hasil tindak pidana” yang sebelumnya merupakan bagian dari batang tubuh di UU TPPU (Pasal 2 ayat 1), kemudian dijadikan muatan penjelasan dalam RKHUP.
Walaupun secara konseptual, sistem kodifikasi tidak serta-merta menjadikan suatu tindak pidana yang sebelumnya berada diluar KUHP, menjadi tindak pidana umum yang berakibat sifat-sifat khusus yang melekat menjadi hilang dan kehilangan dayaguna. Bukan pula lembaga-lembaga penegak hukum yang melakukan penegakan hukum atas dasar undang-undang diluar KUHP, kemudian menjadi hilang kewenangannya apabila muatan pasal tersebut masuk kedalam KUHP. Materi hukum pidana materil dalam KUHP sejatinya tetap dapat digunakan oleh siapapun penegak hukum, asalkan dia bewenang melakukan proses penegakan hukum. Hal ini dikarenakan, kodifikasi yang dimaksud hendak membuat rumah yang lebih besar dari sistem hukum pidana yang dapat memayungi sistem pemidanaan secara nasional. Dimana sebelumnya, aturan berkenaan dengan tindak pidana kita menurut Prof. Barda Nawawi berupa rumah besar KUHP dan ada rumuah-rumah kecil disekelilingnya.[x] Rumah yang lebih besar maksudnya adalah KUHP yang sanggup menyerap semua karakteristik tindak pidana yang sebelumnya berada diluar KUHP. Artinya, walaupun mengalami beberapa penyesuaian, namun prinsip-prinsip fundamental dari tindak pidana tersebut tetap dipertahankan dalam KUHP.
Namun yang terjadi saat ini, perumus RKUHP hendak memaksakan tindak pidana diluar KUHP masuk menjadi bagian RKHUP tanpa memandang sifat atau prinsip utama yang menjadi landasan lahirnya undang-undang tersebut. TPPU yang merupakan jenis tindak pidana yang memiliki paradigma in rem, hendak dipaksa mengikuti pola im personal dari RKUHP. Ambil contoh misalnya dalam rumusan Buku I RKHUP tentang gugurnya kewenangan penuntutan. Dalam ketentuan Pasal 152 huruf b RKUHP diatur bahwa salah-satu sebab gugurnya hak penuntutan adalah karena terdakwa meninggal dunia. Padahal dalam rezim TPPU, walaupun terdakwa meninggal dunia, namun perkara tetap bisa dilanjutkan melalui penuntutan terhadap harta kekayaan yang patut diduga berasal dari tindak pidana.
Pasal 79 ayat (4) UU No. 8 Tahun 2010 menyebutkan bahwa: “Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana Pencucian Uang, hakim atas tuntutan penuntut umum memutuskan perampasan Harta Kekayaan yang telah disita.” Dari ketentuan ini, proses perampasan aset tetap dilakukan oleh jaksa penuntut umum yang menangani perkara TPPU. Pemahaman ini berbeda jika dibandingkan dengan pelaksanaan pidana perampasan, yang tetap dapat dilakukan walaupun terpidana meninggal dunia (vide Pasal 161 RKHUP). Pidana perampasan pada dasarnya diputuskan oleh putusan pengadilan bersamaan dengan putusan bersalah dari terdakwa. Namun, jika mengikuti logika Pasal 152 huruf b RKUHP tersebut, maka perampasan tersebut tidak pernah akan bisa dilakukan, apabila pelaku meninggal dunia pada saat proses peradilan sedang berjalan, kecuali menggunakan mekanisme gugatan perdata melalui Jaksa Pengacara Negara.
Kodifikasi pasal TPPU dalam RKUHP hanya sebatas menarik pasal-pasal yang berisi delik TPPU, yakni Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 UU TPPU. RKUHP tidak mengabsorbsi pasal TPPU sebagai suatu pendekatan yang berbeda dengan tindak pidana pada umumnya. Hanya beberpa ketentuan dalam Buku I RKUHP yang sudah perbaharui sebagai tuntutan perkembangan zaman, seperti pertanggungjawaban pidana korporasi. Lantas, jika mengikuti ketentuan Pasal 782 RKUHP tentang Aturan Peralihan, TPPU yang memiliki pendekatan in rem, mau tidak mau akan mengikuti Buku I RKUHP yang masih kuat dengan paradigma im personal, tanpa ada pengecualian. Hal ini menimbulkan problem yang mendasar, dimana fondasi dari UU TPPU akan hilang. Pendekatan harta kekayaan akan direduksi sepenuhnya menjadi pendekatan orang, dalam penegakan hukum TPPU. Hal ini tentu tidak sesuai dengan konteks historis dari lahirnya rezim anti-pencucian uang didunia internasional yang muncul akibat gagalnya pendekatan hukum konvensional melawan kejahatan terorganisir.
Rekomendasi
Eksistensi dari UU TPPU dan unadng-undang lainnya pasca kodifikasi hanya sebatas undang-undang yang bersifat administratif dan prosedural (hukum acara). Beberapa ketentuan materil juga harus diamandemen mengikuti ketentuan Bab I KUHP yang baru. Tampak disini bahwa, pemerintah tidak melakukan tela’ah yang mendalam seputar proses kodifikasi total yang akan dilakukan. Seharusnya, pemerintah melibatkan semua pemangku kepentingan yang terkait dengan proses penegakan hukum dari undang-undang yang berada diluar KUHP, seperti KPK, PPATK dan juga lembaga lainnya. Sehingga tujuan kodifikasi dapat disampaikan dengan baik, yang pada akhirnya kodifikasi RKUHP dapat mengakomodasi ketentuan khusus yang terdapat dalam undang-undang tindak pidana di luar KUHP.
Cakupan kodifikasi RKUHP saat ini dengan memasukkan pasal-pasal undang-undang diluar KUHP sangatlah besar jika dibandingkan dengan tugas DPR yang pada saat yang hampir bersamaan juga akan membahas rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana RKUHAP. Dari beberapa uraian yang diungkapkan bahwa ternyata pasal TPPU agak kesulitan menjadi bagian dari RKUHP beserta komplikasi-komplikasi hukum dalam proses pembahasannya, maka sebaiknya pemerintah dan DPR menarik pasal-pasal tindak pidana diluar KUHP, khususnya pasal-pasal TPPU. Pemerintah dan DPR cukup berkonsentrasi merumuskan RKUHP yang memperbaharui beberapa ketentuan yang berasal dari KUHP warisan pemerintah kolonial yang memang mesti direvisi, seperti masalah pertanggungjawaban pidana, sanksi pidana dan lain sebagainya. Selain itu, revisi RKUHP saat ini juga harus dianggap sebagai penebusan “dosa sejarah” dari bangsa ini yang tidak pernah menetapkan KUHP Nasional secara resmi.
Dalam hal menjamin adanya kepastian hukum bagi warga negara terkait dengan undang-undang pidana, pemerintah dapat membuat katalog hukum pidana yang memudahkan warga negara mengenali peraturan mana saja yang berisikan sanksi pidana. Selain itu juga menyediakan akses yang mudah terhadap peraturan perundang-undangan, agar setiap produk peraturan perundang-undangan dapat diperoleh dengan mudah oleh warga negara.
[i] Tindak pidana diluar KUHP merupakan jenis tindak pidana yang diatur dengan undang-undang tersendiri, seperti undang-undang tentang tindak pidana korupsi, undang-undang pencucian uang, undang-undang terorisme, dan lain sebagainya, yang memang merupakan undang-undang yang berisikan pengaturan tentang tindak pidana. Hal ini berbeda dengan undang-undang administratif yang berisi ketentuan sanksi pidana (administratif penal law), seperti undang-undang tentang Agraria, undang-undang Hak Kekayaan Intelektual, undang-undang Kearsipan dan lain sebagainya.
[ii] Bernhard Ruben Fritz Sumingar, 2015, Kodifikasi dalam R KUHP dan Implikasi terhadap Tatanan Hukum Pidana Indonesia (Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2015), hlm. 7.
[iii] Nobel dan Columbic (1997-1998), bahwa upaya kriminalisasi pencucian uang hasi kejahatan, merupakan ekspresi dari masyarakat internasional yang merasa gagal dalam menangani masalah narkotika dan psikotropika. Lihat Yenti Garnasih, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering) (Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hlm. 135
[iv] Barbara Vettori, Tough on Criminal Welath: Exploring the Practice of Proceeds from Crime Confiscation in the EU (Netherlands: Springer, 2006), hlm. 3.
[v] Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Jakarta, 2006), hlm. 14.
[vi] Yunus Husein, Negeri Sang Pencuci Uang, Cet.1, (Jakarta: Pustaka Juanda Tigalima, 2008) hlm. 67.
[vii] Pettter Alldridge, Money Laundering Law: Forfeiture, Confiscation, Civil Recovery, Criminal Laundering and Taxation of Proceeds of Crime (Oregon: Hart Publishing, 2003), hlm. 67.
[viii] Ibid.
[ix] Naskah Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, hlm. 257
[x] Bernhard Ruben Fritz Sumingar, Op., Cit., hlm. 8.