Parameter Pasal Penodaan Agama dalam KUHP Dianggap Tak Tepat

Pengamat Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti mengatakan, wacana penghapusan Pasal 156a dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penodaan agama perlu didukung.

Menurut Bivitri, pasal tersebut bermasalah. Sebab, terlalu banyak unsur subjektif yang bisa dimasukan pada pasal itu.

“Parameter pasal itu tidak tepat, yaitu reaksi masyarakat, bukan ‘niat’ seperti pada biasanya pasal pidana,” ujar Bivitri saat dihubungi, Jumat (19/5/2017).

Menurut Bivitri, aturan selain pasal penodaan agama sudah cukup mendukung jika untuk mencegah seseorang agar tidak menjelek-jelekan agama orang atau kelompok lain.

Misalnya, pada pasal induk dari pasal 156a, yakni Pasal 156.

Selain itu, jika seseorang melakukan penodaan agama dengan cara menyampaikan ujaran kebencian juga bisa dijerat dengan Undang-Undang ITE.

“Nah, menurut saya, pasal-pasal lain sudah memadai, yang bermasalah itu pasal 156a itu,” kata Bivitri.

“Kita bisa lihat dari konteks pasal itu lahir juga. Pasal itu tambahan sebenarnya, pada 1965. Kalau ada huruf-huruf di belakang nya, itu tambahan,” tambah Bivitri.

Sebelumnya, muncul petisi melalui laman change.org yang mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera menghapus Pasal 156a dari KUHP tentang penodaan agama.

Petisi berjudul: “Presiden Jokowi, Hapuskan Pasal 156a tentang Penodaan Agama dari Revisi KUHP” dibuat oleh Gita Putri Damayana dan Gita Syahrani.

Sebagian pihak menganggap pasal tersebut masih diperlukan dengan berbagai alasan. Adapun revisi KUHP sendiri saat ini tengah dibahas antara DPR dan Pemerintah.

Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2017/05/19/12475261/parameter.pasal.penodaan.agama.dalam.kuhp.dianggap.tak.tepat

Leave a Reply