‘Pasal Mati’ Masuk dalam RKUHP, Pemerintah Ajarkan Publik Abaikan Putusan Pengadilan

Sejatinya pasal yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK), tak lagi masuk dalam ketentuan norma draf sebuah UU. Sebaliknya jika dipaksakan masuk seperti halnya pasal penghinaan terhadap presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sama halnya pemerintah mengajarkan rakyat tidak patuh bahkan abai terhadap putusan pengadilan. Demikian disampaikan anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Anggara Suwahju dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (6/8).

“Pasal yang sudah dicabut oleh MK, itu tidak boleh lagi ada dalam RKUHP. Pemerintah saat ini mengajarkan rakyat untuk tidak hormat kepada pengadilan, karena pemerintah abai dan tidak taat  pada putusan pengadilan yang mengikat pada pemerintah dan rakyat,” ujarnya.

Pemerintah sebagai penyelenggara negara dan pembuat kebijakan mestinya memberikan contoh baik kepada masyarakat. Di era demokrasi dan negara yang berlandaskan hukum, pemerintah wajib patuh dan taat hukum. Menurutnya putusan MK bersifat final dan mengikat. Ya, tak saja mengikat bagi para pemohon, namun juga bagi seluruh rakyat dan lembaga negara. Tentunya, putusan MK wajib ditaati, tidak diabaikan.

Anggara yang juga menjabat Ketua Badan Pengurus Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)  mengatakan Kelima pasal terkait penghinaan terhadap kepala negara dan pemerintah yang sudah dicabut oleh MK dari KUHP adalah Pasal 134, 136 bis, 137, 154 dan 155.

Nah dalam daraf RKUHP kelima pasal tersebut kembali masuk meski dengan redaksi berbeda. Namun nyaris mirip. Ironisnya, ketentuan ancaman hukumannya terbilang lebih berat dibanding dengan kelima pasal dalam KUHP tersebut. Ya, ancaman maksimal 5 sampai 9 tahun.

Anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP lainnya Erwin Natosmal Oemar menambahkan pasal penghinaan terhadap kepala negara menempatkan seorang presiden berbeda dengan masyarakat umumnya. Padahal, seorang presiden sama kedudukannya di depan hukum dengan masyarakat lainnya.

Hanya jabatan semata yang membedakan. Jika seorang presiden merasa dicemarkan maupun dihina serta difitnah oleh orang lainya, maka masih dapat menjerat dengan delik pasal lainnya. Dengan kata lain, martabat seorang presiden masih dapat dijaga. “Meski pasaal itu dibatalkan (MK), bukan berarti martabat pribadi presiden dapat dinistakan. Presiden  bisa menggunakan delik  pasal lain,” ujarnya.

Erwin yang juga peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR) itu berpandangan pasal penghinaan terhadap presiden merupakan norma diskrimintif. Pasalnya dapat dengan mudah rezim penguasa menjadikan pasal tersebut sebagai instrumen untuk membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Setidaknya, pasal yang bersifat lentur bak karet itu berpotensi bahkan rawan disalahgunakan penguasa. Atas dasar itulah Erwin berpendapat perlunya ditarik pasal tersebut dari draf RKUHP. “Kita ingin meletakan cara pandang pemidanaan seperti ini harus diluruskan,” pungkasnya.

Leave a Reply