Pemerintah dan DPR Siap Bawa RKUHP ke Rapat Paripurna

JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah sepakat untuk melanjutkan pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP yang sudah disetujui dalam rapat pengambilan keputusan tingkat pertama ke tahap selanjutnya, rapat paripurna. Secara garis besar, tidak ada perubahan substansi di dalam draf RKUHP yang disetujui pada September 2019.

Hanya terdapat beberapa perubahan, khususnya terkait dengan ancaman pidana terhadap praktik dokter gigi tanpa izin dan juga advokat yang curang. Kedua ketentuan tersebut dihapus mengingat ada putusan Mahkamah Konstitusi mengenai praktik kedokteran gigi dan masukan dari kalangan advokat mengenai ancaman pidana terhadap salah satu penegak hukum tersebut.

Catatan-catatan lain yang merupakan masukan masyarakat terhadap 14 poin atau isu krusial dalam sosialisasi yang dilakukan di 12 kota pada tahun lalu akan dimasukkan di dalam bagian penjelasan atau memorie van toelichting atau risalah/catatan yang berisi penjelasan yang melatarbelakangi rumusan pasal-pasal dalam suatu peraturan perundang-undangan sebagai salah satu sumber interpretasi hukum.

”Kita sepakati lanjut ke tahapan selanjutnya, dengan catatan Komisi III akan bersurat ke pemerintah untuk melanjutkan pembahasan ke tahapan selanjutnya (rapat paripurna),” ujar Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra Desmond J Mahesa, Rabu (25/5/2022), dalam rapat dengar pendapat dengan tim pemerintah terkait RKUHP.

Catatan-catatan lain yang merupakan masukan masyarakat terhadap 14 poin atau isu krusial dalam sosialisasi yang dilakukan di 12 kota pada tahun lalu akan dimasukkan di dalam bagian penjelasan.

Hadir dalam rapat tersebut, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej selaku ketua tim pembahasan RKUHP dari pemerintah, serta tenaga ahli terkait RKUHP seperti Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia Harkristuti Harkrisnowo, pakar tindak pidana pencucian uang sekaligus Ketua Masyarakat Hukum Pidana Yenti Garnasih, dan sejumlah pakar pidana seperti Indriyanto Seno Adji yang hadir secara daring.

Sebelumnya, DPR periode 2014-2019 telah menyepakati draf RKUHP dalam pengambilan keputusan tingkat pertama. Namun, proses tersebut tidak dilanjutkan mengingat ada protes yang luas atas sejumlah substansi dalam RKUHP. Pemerintah dan DPR akhirnya sepakat untuk menunda pengesahan RKUHP dalam rapat paripurna pada September 2019 dan sepakat untuk melakukan sosialisasi, khususnya terkait dengan 14 isu krusial.

Dalam kesempatan tersebut, Eddy OS Hiariej menjelaskan, pemerintah telah melaksanakan sosialisasi dan mereformulasi pasal-pasal krusial yang dipersoalkan masyarakat sebelumnya. Ada substansi yang dihapus, khususnya yang terkait dengan ancaman pidana dalam praktik kedokteran gigi karena ada putusan Mahkamah Konstitusi dan ancaman pidana untuk advokat curang karena ada masukan dari masyarakat.

Untuk beberapa isu lainnya, menurut Eddy, pemerintah memberikan tambahan penjelasan. Misalnya, pemerintah memberikan penjelasan terkait dengan living law atau hukum yang hidup di masyarakat (Pasal 2 RKUHP). ”Tidak mengubah norma, hanya ada tambahan penjelasan,” katanya.

Penghinaan presiden

Begitu pula dengan rumusan mengenai pidana mati yang ditegaskan berbeda dengan rumusan KUHP sebelumnya sebagai salah satu pidana pokok. Dalam RKUHP, hukuman mati merupakan hukuman yang paling terakhir dijatuhkan dan selalu diancamkan secara alternatif, misalnya dengan penjara seumur hidup atau 20 tahun. Pidana mati pun dijatuhkan dengan masa percobaan yang mekanisme penghukumannya diatur di dalam Pasal 100 dan 101 RKUHP.

Terkait isu penyerangan harkat martabat presiden dan wakil presiden, ada perubahan delik dari delik biasa menjadi delik aduan. ”Jadi, sama sekali tidak membangkitkan pasal yang dimatikan MK. Yang dimatikan MK (penyerangan martabat presiden/wapres) itu delik biasa. Ini delik aduan. Pengaduan bisa dilakukan secara tertulis oleh presiden dan wakil presiden. Namun, ada pengecualian, yaitu tidak dilakukan penuntutan jika untuk kepentingan umum,” kata Eddy.

Mengenai pasal kekuatan gaib, pemerintah mengungkapkan bahwa ketentuan itu merupakan delik formil mengingat sulit dibuktikan secara materiil. Khusus mengenai contempt of court (perbuatan yang dikualifikasikan penghinaan terhadap peradilan), dijelaskan bahwa publikasi langsung atau siaran live streaming persidangan tidak diperkenankan.

Pasal perzinaan

Ada beberapa ketentuan lain yang ditambahkan penjelasan sesuai dengan hasil sosialisasi dan reformulasi yang dilakukan tim RKUHP pemerintah. Misalnya, pasal penodaan agama, pasal penganiayaan hewan, pasal aborsi, pasal perzinaan, kohabitasi dengan menghilangkan ketentuan yang menyatakan kepala desa dapat melaporkan ke pihak berwajib jika menemukan praktik kohabitasi. Pemerintah juga memasukkan pasal pemerkosaan di dalam perkawinan atau marital rape karena menyesuaikan dengan UU Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Penjelasan Wamen tidak ada hal atau substansi yang diubah (dari draf terakhir). Kalau ada, cuma untuk melengkapi supaya tidak ada penafsiran yang tidak sesuai. (Mulfachri Harahap)

Anggota Komisi III DPR, Mulfachri Harahap, yang merupakan Ketua Panitia Kerja Pembahasan RKUHP DPR periode 2014-2019, saat dikonfirmasi oleh pimpinan sidang menyatakan, penjelasan yang diberikan Wamenkumham sesuai dengan kesepakatan pemerintah dan DPR pada 2019.

”Penjelasan Wamen tidak ada hal atau substansi yang diubah (dari draf terakhir). Kalau ada, cuma untuk melengkapi supaya tidak ada penafsiran yang tidak sesuai dengan maksud pembentuk undang-undang. Kita bisa maju ke tahap berikutnya. RUU ini sudah melampaui tahap pembahasan dan persetujuan tingkat pertama,” ujarnya.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, yang juga menjadi anggota panja dan tim perumus akhir pada DPR periode lalu, juga mengungkapkan hal serupa dengan Mulfachri. Hanya saja, ia mengingatkan perlunya proofreading terhadap draf RKUHP, baik dari akademisi maupun para pemangku kepentingan lain, seperti kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan pengadilan.

Terkait pertanyaan tersebut, Harkristuti Harkrisnowo mengungkapkan, pihaknya sudah mengadakan diskusi dengan para ahli hukum. Tak hanya hukum pidana, tetapi juga ahli hukum lain dan juga aparat penegak hukum. Respons yang diberikan positif.

Dari anggota Komisi III yang hadir, hanya Taufik Basari dari Fraksi Partai Nasdem yang meminta agar dilakukan pembahasan ulang terhadap draf RKUHP yang sudah disepakati tahun 2019. Agar tak melebar ke isu-isu yang lain, pembahasan cukup dilakukan terhadap 14 isu krusial yang ada. Ia juga mengusulkan perlunya pandangan fraksi-fraksi terhadap apa yang disampaikan Wamenkumham.

Namun, hal ini langsung ditolak oleh Desmond. ”Tidak ada lagi pandangan fraksi-fraksi karena fraksi-fraksi sudah sepakat menyerahkan tugas sosialisasi kepada pemerintah,” katanya.

 

Berita selengkapnya klik di sini

Leave a Reply