Pemetaan dan Analisis Aliansi Nasional Reformasi KUHP terhadap draft RKUHP full September 2019 (sebelum penundaan oleh Presiden)

  1. Ancaman Overcrowding, Masalah pola penghitungan pidana yang di-claim Tim Pemerintah melalui metode tertentu namun tidak pernah dijelaskan secara detail oleh Pemerintah, bahkan sampai dengan Rapat akhirnya tingkat 1: 18 September 2019;
  • Sampai saat ini Pemerintah belum pernah mempresentasikan ke publik bagaimana pengaturan tentang bobot hukuman dilakukan (menggunakan metode apa dan bagaimana)
  • Berpotensi besar menghasilkan ancaman pidana yang tidak proporsional dan mengakibatkan jumlah pemenjaraan meningkat drastis

 

  1. Hukum yang Hidup Dalam Masyarakat: penyimpangan asas legalitas/ kriminalisasi yang tidak jelas, (Pasal 2 ayat (1), Pasal 597 RKUHP)
  • Asas legalitas di atur dalam Konstitusi Negara UUD 1945, pengaturan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat harus juga merujuk pada ketentuan yang diatur dalam konstitusi, bahwa Hak legalitas merupakan salah satu hak dasar warga Negara
  • Tidak jelas antara hukum yang hidup di masyarakat dengan hukum adat
  • Rentan overkriminalisasi: akan ada paling tidak 514 KUHP Lokal tanpa kejelasan mekanisme evaluasi
  • Akan diatur dalam Perda sehingga berpotensi akan memunculkan Perda diskriminatif (Komnas perempuan(2016): 400 lebih perda diskriminatif terhadap perempuan)
  • Pasal 597 ayat (1) dan (2) menimbulkan kesewenang-wenangan karena Aparat Penegak Hukum berpotensi mengdefinisikan “hukum yang hidup di masyarakat” berdasarkan penafsirannya sendiri tanpa batasan yang jelas dengan menggunakan pasal ini

 

  1. Inkonsitensi ajaran “melawan hukum” yang berusaha dimasukkan RKUHP (Pasal 12 justru bertentangan dengan Pasal 37 RKUHP)
  • Pasal 12 menyatakan untuk dinyatakan sebagai suatu tindak pidana, maka harus bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, namun Pasal 37 huruf a justru mengatur orang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur Tindak Pidana tanpa memperhatikan adanya kesalahan.

 

  1. Ketidakjelasan mengatur tentang materi “permufakatan jahat”, “persiapan” dan “percobaan” tindak pidana (Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15 RKUHP)
  • Dalam RKUHP diatur hukuman untuk permufakatan jahat adalah 1/3 dari delik selesai
  • Padahal ketentuan pemidanaan tentang “permukatan jahat” harus spefisik diatur dalam buku II, dan dalam buku II ancaman pidananya telah disebutkan, sehingga tidak perlu diatur mengenai ancaman hukuman seperti dalam RKUHP
  • Pengaturan pengecualian tentang “permufakatan jahat” dalam Pasal 14 justru menegasikan rumusan Pasal 13 ayat (2) yang menyatakan pemidanaan “permufakatan jahat” harus dinyatakan secara tegas dalam UU
  • Tidak jelas urgensi pengaturan mengenai pemidanaan “persiapan”: derajat pemidanaan untuk persiapan lebih ringan dari percobaan, tapi ketentuan yang mengatur tidak dipidananya persiapan justru sama dengan percobaan
  • Pendefinisiaan “permulaan pelaksana” dalam RKUHP pada materi tentang “percobaan” justru akan menghambat perkembangan teori, tidak perlu dikakukan dalam norma.

 

  1. Rumusan tentang “pengualangan tindak pidana” tidak memperhatikan implikasi dihilangkannya ketentuan Buku II dan Buku III dalam KUHP saat ini menjadi hanya buku II dalam RKUHP (Pasal 23 RKUHP)
  • Dalam KUHP, seseorang dikatakan melakukan pengulangan tindak pidana apabila mengulangi tindak pidana yang sama-sama berada di dalam satu kategori tindak pidana tertentu sebagaimana yang telah ditentukan di dalam ketentuan Pasal 486 hingga Pasal 488.
  • Dalam konsep RKUHP, dikarenakan adanya perubahan struktur yang menghilangkan pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran, maka berdasarkan ketentuan Pasal 23 RKUHP, seseorang yang melakukan pengulangan pelanggaran pun dapat dikenai pemberatan tindak pidana. Sehingga penerapan hukum akan menjadi sangat punitif.

 

  1. Pengaduan oleh anak (Pasal 25 RKUHP)
  • Pembatasan usia Anak untuk melakukan pengaduan (tidak bisa dilakukan anak dibawah usia 16 tahun) akan berbenturan dengan Pasal 2 huruf e sebagai berikut:

Pasal 2 UU SPPA Sistem Peradilan Pidana Anak

dilaksanakan berdasarkan asas:

  1. pelindungan;
  2. keadilan;
  3. nondiskriminasi;
  4. kepentingan terbaik bagi Anak;
  5. penghargaan terhadap pendapat Anak;
  6. kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak;
  7. pembinaan dan pembimbingan Anak;
  8. proporsional;
  • yang perlu diatur adalah konsep pendampingan anak untuk dapat mengadukan tindak pidana

 

  1. Pembatasan pencabutan/ penarikan aduan harusnya mengikuti perkembangan putusan peradilan (Pasal 30 RKUHP)
  • Dalam praktek putusan MA 2010/2011 (landmark decision) dan beberapa putusan terakhir Mahkamah Agung mengabaikan batas waktu pencabutan aduan yang hanya 3 bulan. Putusan tersebut didasarkan pada alasan bahwa dengan dicabutnya aduan walaupun telah melampaui masa pencabutan, tujuan pemidanaan telah hilang, dan pemidanaan dapat mengganggu hubungan antara pelaku dan pengadu (korban).

 

  1. Rumusan tentang Pidana Korporasi bermasalah (Pasal 48, Pasal 50 RKUHP)
  • Pasal 48 dan 50 dalam RUU KUHP tentang tindak pidana korporasi memasukkan rumusan yang tidak jelas dan sulit untuk diimplementasikan dalam tataran penegakan hukum. Pasal-pasal tersebut bersifat karet, cenderung menyasar individu dan bukan untuk menjerat korporasi sebagai badan hukum yang merupakan entitas terpisah.
  • Seharusnya dalam pasal-pasal tersebut diatur dalam kondisi apa korporasi dapat dijerat dengan dakwaan pidana, dan pada kondisi terbatas seperti apa individu/organ korporasi (baik struktural ataupun fungsional) dapat dimintakan pertanggungjawaban. Pasal-pasal karet tidak kondusif untuk dunia usaha karena menciptakan ketidakpastian hukum. Pengusaha/pengurus korporasi akan takut melakukan tindakan apapun karena apabila business judgment mereka salah maka rentan dipidana

 

9. Masalah pidana mati bertentangan dengan tujuan pemidanan (Pasal 52, Pasal 67, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 101 RKUHP)

  • RKUHP memuat rumusan tujuan pemidanaan, menyatakan Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan manusia dan merendahkan martabat manusia, seharusnya pidana mati tidak boleh ada dalam RKUHP
  • Pada dasarnya Aliansi menilai bahwa pidana mati seharusnya dihapuskan sesuai dengan perkembangan bahwa 2/3 negara di dunia sudah mengahapuskan hukuman mati
  • Pemberian masa percobaan untuk menunda eksekusi pidana mati harus merupakan hak setiap orang yang diputus dengan pidana mati, tidak boleh bergantung pada putusan hakim terlebih dalam penjelasan disyaratkan pula bahwa hakim harus memperhatikan “reaksi masyarakat”
  • Konsep pidana mati sebagai pidana alternatif tidak jelas
  • Jenis-jenis tindak pidana yang bisa dituntut pidana mati harusnya diatur dalam Buku I, dalam Buku II harusnya tidak ada pencantuman pidana mati

10. Masalah minimnya alternatif pemidanaan

  • Pidana alternatif dalam RKUHP masih sangat minim, baru sebatas pidana pengawasan dan pidana kerja sosial dan memuat syarat yang sangat limitatif (hanya untuk tindak pidana yang diancam dibawah 5 tahun), masih ada 20 jenis pidana alternatif lain yang harusnya bisa digunakan oleh perumus, dan syarat yang sangat limitatif harus dihilangkan.

11. Masalah pengaturan “makar”  Pasal 167 RKUHP

  • Pendefenisiannya tidak sesuai denga asal kata makar yaitu “aanslag” yang artinya serangan, RKUHP cenderung mendefinisikan makar menjadi pasal karet yang dalat digunakan untuk memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat

12. Masalah kriminalisasi tindak pidana contempt of court  (Pasal 281-282 RKUHP)

  • memuat rumusan karet berpotensi mengekang kebebasan berpendapat termasuk kebebasan pers
  • Pasal 281 dan 282 RKUHP rumusannya terlalu karet, tidak memiliki batasan yang jelas sehingga Pasal tersebut akan dengan mudah menyasar akademisi, pers/media, hingga kelompok masyarakat sipil yang berusaha menyuarakan penilaiannya terhadap hakim atau pengadilan yang dianggap tidak imparsial. Padahal, menyuarakan pendapat terhadap tindakan penguasa, dalam hal ini termasuk juga hakim atau pengadilan, dalam dunia demokrasi merupakan hal yang biasa.

 

  1. Masalah pengaturan tindak pidana penghinaan Pasal 439-448 RKUHP
  • masih memuat pidana penjara sebagai hukuman
  • rumusan masih karet
  • pengecualian untuk penghinaan harusnya ditambahkan, dikecualikan untuk kepentingan umum, karena terpaksa membela diri, tidak ada kerugian yang nyata, pernyataan yang disampaikan secara emosional, pernyataan tersebut disampaikan kepada penegak hukum, pernyataan tersebut dilakukan dalam koridor pelaksanan profesi yang dilakukan sesuai kode etik profesi, pernyataan tersebut tidak dilakukan di depan umum atau merupakan korespondensi secara pribadi, pernyataan yang disampaikan adalah kebenaraan

 

14. Masalah hadirnya kembali pasal-pasal kolonial yang sudah tidak relevan untuk masyarakat demokratis, seperti 

Pasal penghinaan presiden (Pasal 218 – Pasal 220 RKUHP)

  • Ketentuan ini pada dasarnya berasal dari pasal tentang lese mejeste yang dimaksudkan untuk melindungi Ratu Belanda. Pasal ini merupakan warisan kolonial
  • Pasal ini juga sudah dibatalkan oleh Putusan MK No 013- 022/PUUIV/2006 karena tidak relevan lagi dengan prinsip negara hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum
  • Menghidupkan kembali pasal ini, berarti membangkang pada konstitusi

Pasal penghinaan pemerintah yang sah (Pasal 240-241 RKUHP)

  • Pasal ini sudah dibatalkan dengan putusan MK No. 6/PUUV/2007.
  • ketentuan pidana yang ada dalam pasal ini dikenal sebagai haatzaai artikelen, pasal-pasal yang melarang orang mengemukakan rasa kebencian dan perasaan tidak senang terhadap penguasa. Pasal ini diberlakukan terhadap bangsa Indonesia sebagai bangsa yang terjajah oleh Belanda, dengan demikian pasal ini merupakan pasal kolonial yang tidak sesuai lagi dengan negara demokratis yang merdeka
  • Alasan pemerintah yang membuat ini menjadi delik materil pun tidak jelas, karena definisi “menimbulkan keonaran” sangat karet dan tidak terukur, sedangkan hukum pidana mewajibkan kejelesan norma dalam pengaturannya (lex certa, lex scripta dan lex stricta)
  • Pada Komentar Umum Konvenan Hak Sipil dan Politik Komisi HAM PBB No 34, poin 38 juga disebutkan bahwa pemerintah negara peserta tidak seharusnya melarang kritik terhadap institusi contohnya kemiliteran dan juga kepada administrasi negara

Pasal penghinaan Kekuasaan Umum/ Lembaga Negara (Pasal 353-354 RKUHP)

  • Pada Komentar Umum Konvenan Hak Sipil dan Politik Komisi HAM PBB No 34, poin 38 juga disebutkan bahwa pemerintah negara peserta tidak seharusnya melarang kritik terhadap institusi contohnya kemiliteran dan juga kepada administrasi negara
  • Berdasarkan Laporan Khusus PBB 20 April 2010 tentang the promotion and protection of the right to freedom of opinion and expression dinyatakan bahwa Hukum Internasional tentang HAM melindungi individu dan kelompok orang bukan suatu hal yang abstrak atau institusi yang berhak untuk diberikan kritik dan komentar. Hukum pidana tentang penghinaan tidak boleh digunakan untuk melindungi suatu hal yang sifatnya subjektif, abstrak dan merupakan suatu konsep seperti negara, simbol nasional, identitas nasional, kebudayaan, pemikiran, agama, ideologi dan doktrin politik.

 

  1. Pasal 304 RKUHP tentang Tindak Pidana terhadap Agama
  • Pada dasarnya aliansi menilai pidana ini harus dihapuskan
  • Jauh dari standar Pasal 20 ICCPR yang mengatur konteks pelarangan propaganda kebencian
  • Hanya melindungi agama yang “dianut” di Indonesia
  • Penjelasan Pasal 304 tidak sesuai dengan rumusan pasalnya

 

  1. Pasal 417 tentang kriminalisasi persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan di luar perkawinan
  • Negara terlalu jauh menggunakan hukum pidana untuk masuk pada hak konstitusional warga Negara yang bersifat privat
  • Delik aduan berdasarkan pengaduan orang tua dapat meningkatkan angka perkawinan anak.
  • 89% perkawinan anak di Indonesia terjadi karena kekhawatiran orang tua, baik karena faktor ekonomi maupun karena asumsi orang tua bahwa anaknya telah melakukan hubungan di luar perkawinan
  • Komitmen Presiden di Pepres SGDs untuk menghilangkan semua praktik perkawinan anak dengan meningkatkan median usia perkawinan menjadi 21 tahun akan gagal
  • Tidak pernah ada pembahasan tentang implikasi masalah pasal ini
  • Kontraproduktif dengan Upaya Penanggulangan HIV: transmisi HIV paling tinggi justru terjadi pada orang yang terestimasi telah menikah, sedangkan dalam KUHP yang saat ini berlaku sekalipun, persetubuhan laki-laki dan perempuan di luar perkawinan dimana salah satu pihak terikat dalam perkawinan sudah dikriminalisasi. Ikatan perkawinan tidak dapat menjamin bahwa perilaku beresiko tidak dilakukan.
  • Dengan adanya bayang-bayang kriminalisasi, maka perbuatan melakukan hubungan seksual di luar hubungan perkawinan termasuk melakukan hubungan seks dengan pekerja seks dianggap sebagai tindak pidana. Itu berarti orang yang terlibat dalam perilaku beresiko tersebut tidak akan mengakses layanan
  • Kementerian kesehatan berdasarkan pemetaan yang dilakukannya mengestimasi jumlah pekerja seks perempuan sampai dengan 2016 berjumlah 226.791 sampai dengan 364.313, estimasi tertinggi datang dari jumlah pelanggan perempuan pekerja seks sebesar 5.254.065, itu berarti bahwa ada sekitar 5 juta laki-laki menggunakan jasa pekerja seks perempuan di Indonesia dan terlibat dalam persetubuhan di luar perkawinan.

 

  1. Pasal kriminalisasi hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan pada Pasal 418
  • Kriminalisasi hidup bersama sebagai suami istri yang sebelumnya telah dikunci dengan delik aduan absolut yang pengaduannya hanya dapat dilakukan oleh suami, istri, orang tua, dan anak diperluas dengan diperbolehkannya kepala desa atau dengan sebutan lainnya sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, orang tua, anak
  • Perluasan ini akan menimbulkan kesewenang-wenangan dan overkriminalisasi

 

  1. Pasal kriminalisasi pencabulan sesama jenis pada Pasal 420 RKUHP
  • Dalam draft 15 September 2019, disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan cabul yang berbeda atau sama jenisnya padahal syarat-syarat yang dapat mengkiriminalisasu pencabulan sesama jenis telah terpenuhi di dalam syarat pada pasal pencabulan
  • Penyebutan secara spesifik “sama jenisnya” merupakan bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas seksual yang semakin rentan untuk dikriminalisasi orientasi seksualnya

 

  1. Pasal kriminalisasi mempertunjukkan alat pencegah kehamilan pada Pasal 414-416 RKUHP
  • Faktanya sudah didekriminalisasi oleh Jaksa Agung tahun 1978 dan BPHN (1995): Kondom cara paling efektif pencegah penyebaran HIV
  • Kontraproduktif dengan Upaya Penanggulangan HIV: Dari 10 peraturan perundang-undangan tentang penanggulangan HIV/AIDS di Indoensia, 6 diantaranya memuat aturan tentang “kampanye penggunaan kondom” pada perilaku seks beresiko, dan kesemuanya memberikan kewenangan untuk memberikan informasi tersebut kepada masyarakat secara luas, secara jelas kriminalisasi perbuatan mempertunjukkan alat pencegah kehamilan/ kontrasepsi bertentangan dengan upaya penanggulangan HIV.
  • Kriminalisasi Mengancam Kesehatan Masyarakat: Kontrasepsi menjadi penting untuk memastikan masyarakat terlindungi dari transmisi HIV/AIDS akibat perilaku beresiko.

 

  1. Pasal 626 ayat (2) huruf g RKUHP mencabut Pasal 81 ayat (1) dan Pasal 82 ayat (1) UU Perlindungan Anak yang terakhir diubah oleh UU No. 17 tahun 2016, namun tidak sinkron

 

  • Pasal 81 ayat (1) pengacuannya diganti dengan Pasal 479 ayat (4); dan Pasal 82 pengacuannya diganti dengan Pasal 424.
  • Pasal 479 ayat (4) RKUHP rumusannya sejalan dengan Pasal 81 UU Perlindungan Anak, sedangkan Pasal 424 tidak sepadan dengan Pasal 82 UU Perlindungan Anak, karena rumusannya diperuntukan korban yang spesifik percabulan dengan Anak kandung, Anak tirinya, Anak angkatnya, atau Anak di bawah pengawasannya, bukan yang sesuai dengan intensi Pasal 82 UU Perlindungan Anak yang melindungi semua anak dari perbuatan cabul.
  • Harusnya Pasal 82 pengacuannya diganti Pasal 421 huruf b namun dengan catatan pebaikan rumusan tidak dengan unsur “diketahui atau patut diduga Anak” melainkan langsung kepada unsur “anak”

 

  1. Pasal 469 s.d 471 RKUHP tentang Kriminalisasi setiap perempuan yang melakukan pengguguran
  • Pengeculian hanya untuk dokter yang melakukan aborsi
  • Bertentang dengan Pasal 75 UU Kesehatan dan Fatwa MUI No 4 tahun 2005
  • Diskriminatif terhadap perempuan
  • Komitmen Presiden di SDGs soal menurunkan angka kematian ibu akan gagal, Kehamilan tidak diinginkan menyumbang 75% angka kematian ibu
  • Kasus BL di Jakarta dan WA di Jambi dimana korban perkosaan yang melakukan aborsi kemudian dikriminalisasi akan terus terjadi
  • Pemerintah akan abai menyediakan aborsi yang aman

 

  1. Diaturnya tindak pidana narkotika dalam Pasal 610-615 RKUHP
  • Stigma Narkotika Sebagai Masalah Kriminal Bukan sebagai Masalah Kesehatan: Dengan diakomodirnya tindak pidana narkotika dalam RKUHP negara justru secara jelas mengakomodir bahwa pendekatan yang digunakan untuk menangani masalah narkotika adalah dengan pendekatan pidana. Padahal secara internasional negara-negara dunia telah memproklamasikan pembaruan kebijakan narkotika dengan pendekatan kesehatan masyarakat.
  • Pendekatan Pidana tidak terbukti efektif: Penanganan narkotika memerlukan komitmen yang berkelajutan antara pemerintah dan berbagai sektor untuk menyeimbangkan antara supply dan demand, serta mengkontrol agar peredaran gelap narkotika diminimalisir. Pendekatan yang hanya fokus pada pemberantasan supply telah terbukti tidak efektif.
  • RKUHP masih memuat ketentuan pasal karet yang diadopsi langsung dari UU 35/2009, tidak ada perbaikan yang lebih memadai. Padahal jika menelisik UU 35/2009 masih banyak terdapat ketimpangan didalamnya, sehingga saat ini juga sedang dirumuskan RUU Narkotika tersebut.

 

  1. Masalah tindak pidana korupsi Pasal 604-606 RKUHP
  • Dalam hal pemerintah mengamanatkan duplikasi (hanya mengatur core crime dari tindak pidana sektoral), justru terdapat delik-delik yang berbeda rumusan ancaman pidana-nya dalam RKUHP
  • Rumusan RKUHP sama sekali tidak memperbaiki masalah UU Tipikor
  • Dalam RKUHP saat ini, tidak mengenal pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti.

 

 

24. Masalah tindak pidana pelanggaran HAM yang berat Pasal 598-599 RKUHP yang masih diatur tidak sesuai dengan standar Hak Asasi Manusia secara internasional

  • Memasukkan Kejahatan Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan ke dalam RKUHP dikhawatirkan akan menjadi penghalang untuk adanya penuntutan yang efektif
  • Pengecualian asas non retroaktif untuk pelanggaran HAM berat tidak diatur didalam buku 1 RKUHP, Akibatnya tindak pidana pelanggaran HAM berat kehilangan asas khusus yang sebelumnya telah melekat di pengaturan UU Nomor 26 Tahun 2000
  • Dalam Pasal 187 RKUHP telah diatur mengenai pengecualian yang dapat dilakukan oleh UU di luar RKUHP terkait prinsip dan ketentuan hukum pidana, namun dalam ketentuan peralihan Pasal 618 ayat (1) RKUHP disebutkan bahwa Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, setiap Undang-Undang yang memuat ketentuan pidana harus menyesuaikan dengan ketentuan Buku Kesatu Undang-Undang ini”. yang artinya apabila dibaca secara sistematis, maka dapat mengakibatkan aturan retroaktif dalam UU Pengadilan HAM hilang.
  • RKUHP tidak secara tegas mengatur tentang tidak ada batasan mengenai daluwarsa penuntutan dan menjalankan pidana untuk tindak pidana pelanggaran berat terhadap HAM.
  • Masih banyak penerjemahan dan pengadopsian Kejahatan Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan yang mengalami kesalahan, yang akan memperburuk pendefinisiaan kejahatan-kejahatan ini.
  • Pengaturan Kejahatan Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan dalam RKUHP tidak bisa dilepaskan dengan pengaturan lainnya, misalnya terkait dengan model pertanggungjawaban para pelakunya.

Unduh di sini

 

WhatsApp Image 2020-08-11 at 11.35.36 AM WhatsApp Image 2020-08-11 at 11.39.54 AM

Leave a Reply