Pidana Kerja Sosial Diperkenalkan

Draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memperkenalkan bentuk pemidanaan baru, yaitu kerja sosial. Bentuk pemidanaan itu dimunculkan karena sejalan dengan semangat restorative justice, yaitu hukuman yang berfungsi untuk perbaikan perilaku dan pranata masyarakat.

Munculnya bentuk pidana kerja sosial juga tidak lepas dari masalah kelebihan kapasitas yang menimpa sejumlah lembaga pemasyarakatan pada saat ini Masalah itu membuat penjatuh-an pidana kerja sosial menjadi pilihan bagi orang-orang yang hams menjalani hukuman karena tindak pidana ringan.

Bentuk pidana kerja sosial ini dapat dikombinasikan dengan pidana lain, seperti pidana penjara atau pidana yang lain. Durasi pidana ini pun sesuai dengan RKUHP wajib dilakukan selama 240 jam dengan minimal masa kerja 7 jam per hari.

Anggota tim perumus RKUHP, Mudzakir, menyatakan, pelaksanaan pidana kerja sosial akan melibatkan yayasan yang mengelola panti asuhan, panti jompo, dan lain-lain. Terbuka peluang juga bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk menggunakan fasilitas umum sebagai tempat kerja sosial. Sementara lembaga pemasyarakatan bertugas mendistribusikan narapidana yang akan menjalaninya.

“Dengan semangat restorative justice, pidana kerja sosial ini tidak seperti yang sudah dijalankan di beberapa negara, yaitu untuk membuat orang menjadi malu atau terhina,” kata Mudzakir, saat dihubungi dari Jakarta. Minggu (20/9).

Jaksa Agung HM Prasetyo mengapresiasi bentuk pidana kerja sosial. Bentuk pidana itu dapat mengurai masalah sejumlah lembaga pemasyarakatan yang kelebihan kapasitas. “Lebih baik seperti ini dibandingkan dengan dipaksakan di lapas yang kadang justru membuat mereka terjebak dalam bentuk kejahatan baru. Kerja sosial juga memudahkan mereka kembali ke masyarakat,” tuturnya.

Namun. Prasetyo berharap pemerintah mengatur dengan jelas tata caranya agar ketika diterapkan tidak menimbulkan kebingungan. Bahkan menimbulkan celah sehingga tujuan perbaikan perilaku seseorang dalam menjatuhkan hukuman menjadi tidak terpenuhi.

Anggota Panitia Kerja RKUHP dari Komisi III, Nasir Djamil dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan Arsul Sani dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, sepakat menerima bentuk pidana itu sebagai upaya untuk menghadirkan konsep restorative justice dan relevan dengan kebutuhan penegakan hukum dewasa ini.

Namun, Arsul berpendapat, teknis pelaksanaan pidana kerja sosial memang masih perlu dibahas secara lebih detail. Sementara, menurut Nasir, pidana dalam bentuk kerja sosial sebenarnya bukan jenis hukuman yang benar-benar baru. Di sejumlah daerah, bentuk hukuman itu sudah diterapkan dalam beberapa masyarakat hukum adat Oleh karena itu, bentuk pidana kerja sosial diyakini dapat diterapkan dengan leluasa di Indonesia.

Bahkan, menurut dia. ada kemungkinan penerapan pidana kerja sosial ke depan dapat diharmonisasikan dengan ketentuan yang saat ini hidup.

Efek jera

Arsul dan Nasir menilai, pidana kerja sosial dapat diterapkan lewat sejumlah model pekerjaan lapangan atau luar ruangan. Misalnya, menyapu jalan raya atau menjadi tenaga pembersih di fasilitas umum. Jenis pidana ini sebaiknya tidak diterapkan untuk jenis pekerjaan dalam ruangan agar tidak mengurangi potensi efek jera.

Dengan dilakukan di luar ruangan untuk jenis pekerjaan tertentu, pidana kerja sosial diharapkan dapat membawa efek jera.baik bagi yang bersangkutan maupun orang lain. “Efek jera yang dimaksud diharapkan bisa memberi rasa malu bagi pelakunya,” kata Nasir.

Arsul menambahkan, penerapan pidana kerja sosial sebaiknya diperluas. Bukan hanya sebagai hukuman pengganti untuk jenis tindak pidana ringan, pidana kerja sosial dapat diperluas sebagai hukuman kumulatif untuk jenis tindak pidana lebih berat Hukuman kumulatif berarti menggabungkan pidana penjara ditambah kerja sosial.

“Hakim jangan dibatasi untuk hanya memberlakukan kerja sosial sebagai pengganti pidana penjara kurang dari enam bulan. Berikan hakim keleluasaan untuk menjatuhkan pidana kumulatif,” kata ArsuL

Ia berpendapat, dengan menambah hukuman kerja sosial pada pidana penjara, pelaku pidana atau publik dapat memperoleh efek jera lebih signifikan.

Ia mengusulkan kerja sosial dijatuhkan secara kumulatif untuk pidana penjara yang lebih berat, setingkat kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme, demi memberi rasa malu dan efek jera. Namun, kerja sosial jangan sampai diterapkan untuk kejahatan yang menyangkut kekerasan ataupun pembunuhan.

“Bayangkan, mantan kepala daerah yang terjerat kasus korupsi disuruh menyapu jalan atau trotoar di terminal atau pasar di daerahnya. Itu kan bisa memberi pesan moral, baik untuk dia maupun masyarakat setempat” ujar Arsul.

(Harian Kompas)

Leave a Reply