Rancangan KUHP: Korupsi Turun Kelas, KPK dan Kejaksaan Kompak Menolak
Pembahasan Draf revisi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sejak 8 Juni lalu ke Dewan Perwakilan kini memasuki tahap krusial. Ini setelah draf KUHP yang awalnya setebal 569 halaman namun kini semakin tebal itu memasukkan delik tindak korupsi sebagai salah satu cakupan pasal-pa-salnya. Walhasil, korupsi yang selama ini masuk delik khusus tiba-tiba berubah menjadi delik umum sehingga bisa dijangkau peradilan umum. Entah siapa pihak yang paling ngotot agar korupsi bisa ditangani oleh peradilan umum dengan delik umum pula.
Namun, upaya menurunkan kelas delik korupsi ini mendapat tantangan kebat darisejumlah kalangan. Pihak yang paling merasa dirugikan adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain KPK, Kejaksaan ikut menjadi pihak yang dikerdilkan dari upaya meng-KUHP-kan delik korupsi itu. Mengapa demikian?
Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK Johan Budi Sapto Pribowo yang ikut gerah dengan upaya peme-rintah itu menyebutkan Revisi KUHP yang memasukkan delik korupsi, mereduksi kewenangan KPK. Ini karena penanganan tindak pidana korupsi disa-makan dengan tindak pidana umum dalam fase penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Disebutkan, dalam KUHP, yang berwenang menyelidikdan menyidik adalah kepolisian sementara penuntutan diserahkan pada kejaksaan.
Alhasil, KPK hanya melaksanakan tugas penccgahan. Poin inilah yang raereduksi perah KPK. Se-bab, jika KUHP tersebut disahkan, kewenangan KPK untuk menyadap dalam penyelidikan, menyidik, dan menuntut tindak pidana korupsi dan pencucian uang pun terancam diberangus. KPK sebenarnya sempat diundang Pemerintah untuk ikut membahas terkait dimasukkan delik korupsi dalam KUHP tersebut. Namun, menurut Johan ada kesan KPK hanya dimintai dan didengarkan pendapatnya.
“Kita apresiasi pemerintah yang ajak KPK beri masukan revisi KUHP. Tapi jangan sekadar dimintai pendapat tapi tidak dimenangkan. Itu yang menurut saya menjadi useless,” kata Johan di Gedung KPK.
KPK, lanjut Johan sebetulnya sudah membentuk sebuah analisis dari rancangan KUHP pada poin tindak pidana korupsi. Analisis ini kata dia didapat dari roadshow bersama pakar hukum. Plt Pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji juga menyampaikan keprihatinannya terkait soal tersebut.
Tanpa masukan ini (dari KPK), dikuatirkan terjadi delegitimasi kewenangan KPK atas kasus korupsi, ada pelemahan KPK menjadi seperti macan ompong,” kata Seno Adji.
Bukan hanya KPK, protes serupa juga disampikan pihak Kejaksaan. Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengaku sangat khawatir jika Rancangan KUHP yang memuat delik korupsi ini lolos dan disahkan DPR. Jika itu terjadi kata dia otomatis membuat tindak pidana korupsi berubah menjadi tindak pidana biasa atau umum. Akibatnya, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi tak berwenang mengusut kasus korupsi.
Ketika kodifikasi undang-undang tindak pidana korupsi masuk jadi pidana umum berarti jaksa tak bisa lagi mengusut kasus ini. Ini yang perlu dipertimbangkan,” kata Prasetyo saat rapat kerja dengan Komisi Hukum di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (7/9) lalu.”
Prasetyo menegaskan pihaknya tak ingin lembaganya kehilangan wewenang dalam pengusutan tindak pidana korupsi setelah RUU KUHP ditetapkan menjadi Undang-Undang. “Korupsi tetap merupakan tindak pidana luar biasa,” tegas dia.
Lebih rinci, Wakil Jaksa Agung Andhi Nirwanto mengatakan RUU KUHP yang berpotensi melemahkan KPK dan Kejaksaan terkait dengan pasal 687, pasal 706 dan pasal 767 rancangan tersebut.
Menurut dia, seharusnya rumusan materiil tindak pidana korupsi dan pencucian uang dalam RUU KUHP tidak mereduksi korupsi dan pidana pencucian uang menjadi kejahatan biasa. Pasalnya, RUU KUHP juga mengatur kejahatan luar biasa seperti terorisme, narkoba, pemberontakan atau makar dan pembunuhan kepala negara.
Ditempat terpisah, Direktur Jenderal Peraturan Perundangan Kemenkumham Widodo Eka Tjahjana mengatakan pihaknya akan meminta keterlibatan penegak hukum lain seperti Kejaksaan dan Kepolisian. “Bersama KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan kita akan bentuk forum tim yang intensif untuk perancangan KUHP di bawah Dirjen Peraturan Perundangan,” kata Widodo saat jumpa pers di Kantor KPK, Jakarta.
Tim tersebut akan bekerja memberi masukan pada konten RKUHP sembari menunggu daftar inventaris masalah yang akan diserahkan oleh DPR. Selama ini, pemerintah mengaku terbatas hanya menyorot perkara teknis seperti fungsi dan norma KPK, tindak pidana korupsi, dan pencucian uang. “Pada intinya kita membentuk tim yang kita harapkan terus berkomunikasi dan bersinergi agar tak overlap antar penegak hukum,” ujar anak buah Menkum HAM Yasonna Hamonangan Laoly tersebut
Pasal Kontroversi Tak hanya KPK dan Kejaksaan yang berkebaratan dengan dimasukkannya delik korupsi pada pasal revisi KUHP. Kalangan pegjat and korupsi juga menolak. Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Lalola Easter mengatakan jika DPR dan pemerintah tetap membahas RKUHP yang memuat juga delik korupsi, DPR dan Pemerintah telah inkonsisten dalam men-jalankan rencananya sendiri.
Mcnurutnya, bukan soal kewenangan dan perubahan status korupsi saja yang dipersoalkan, perubahan dan menambahkan unsur pengecualian untuk tiap tindak pidana akan menyulitkan kerja lembaga negara yang memiliki mandate khusus. Mulai KPK, Badan Narkotika Nasional, dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk transaksi mencurigakan.
Jika merujuk pasal 779 dan pasal 780 RKUHP, jika RKUHP diberlakukan, seluruh tindak pidana yang diatur dalam peraturan di luar RKUHP akan menjadi bagian RKUHP. “Artinya, setiap undang-undang pidana yang muncul kemudian, akan menjadi bagian tidak terlepas dari RUU KUHP, selama hal tersebut tidak diatur dalam RUU KUHP. Jika sudah ada pen-gaturannya dalam RKUHP, pasal pidana dalam RKUHP lah yang akan digunakan sebagai dasar,” katanya.
Di luar soal penurunan kelas korupsi itu, RKUHP juga disorot tajam karena begitu banyak draf pasalnya yang disebut mengancam kebebasan individu, kepentingan publik dan mengatur soal moral masyarakat
Institute for Criminal Justice Reform (1CJR) menyatakan draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ber-potensi mengancam kebebasan individu, kepentingan publik, dan lebih banyak mengatur moral masyarakat. Rancangan yang berisi 786 pasal tersebut dinilai mengandung banyak pasal kontroversial. Menurut Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono, posisi negara terhadap individu menguat dalam Rancangan KUHP itu.
Hal tersebut terlihat dari pasal-pasal proteksi negara, seperti pasal penghinaan presiden dan wakil presiden serta pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. “Karakternya masih sama dengan pasal subversif,” ucapnya. Tak hanya soal korupsi yang coba dikebiri, kebebasan berpendapat pun tampaknya sedang dalam bahaya. Lantas siapa yang segaja menyelundupkan draf-draf pasal anti transparansi, dan keterbukaan itu? Cukup masuk akan jika ramai-ramai ada pihak yang melakukan penolakan.
(Harian Pelita)