Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR dengan Tim Pemerintah terkait Penjelasan Pemerintah atas hasil sosialisasi RUU KUHP dengan beberapa stakeholder

Pada tanggal 3 Oktober 2022 lalu, Komisi III DPR dengan Tim Pemerintah mengadakan Rapat Dengar Pendapat terkait Penjelasan Pemerintah atas hasil sosialisasi RUU KUHP dengan beberapa stakeholder.

Berikut notulensi hasil rapat dengan beberapa stakeholder.

Pembukaan

  • Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H. M. Hum
  1. Pertama, mengenai Pasal 188 ayat (2) terkait penyebaran ajaran komunisme, masisme, leninisme di dalam RUU KUHP ayat (2) dikatakan dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun. Itu adalah bunyi dari RUU sementara usulan dari Dewan Pers, tindak kekerasan dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
    RUU KUHP
    (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.Usul Dewan Pers
    (2) Tindak kekerasan dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasilansebagai dasar negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.

Ini kedengarannya serupa, tetapi tidak sama. Ada perbedaan yang cukup prinsip, apa tanggapan pemerintah? Yang pertama bapak ibu, Pasal 188 ayat (2) KUHP ini berasal dari Pasal 107 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. Kemudian perumusan Pasal 188 ayat (2) RUU KUHP merupakan pemberatan. Jadi, jika diperhatikan pasal tersebut merupakan pemberatan dari ayat (1), yaitu perbuatan menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme yang dilakukan dengan maksud mengubah atau mengganti sebagai dasar negara. Argumentasi kami yang keempat bahwa Pasal 2 TAP MPR No. XXV/MPRS/1966 melarang penyebaran dan pengembangan paham atau ajaran komunisme fasisme dalam segala bentuk dan manifestasinya tanpa mensyaratkan adanya unsur kekerasan sebagai suatu cara dan yang terakhir terhadap usulan Dewan Pers untuk menambahkan tindak kekerasan dengan maksud, ini artinya sebagai cara secara tidak langsung sudah terakomodasi dalam Pasal 188 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) yang mengatur akibat dari perbuatan tersebut sebagai pemberatan, yaitu kerusuhan, luka berat, dan matinya orang. Jadi bapak ibu, usulan Dewan Pers ini sebetulnya sudah ada. Kalau kita membaca dengan seksama Pasal 188 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5). Yang berikut bapak ibu yang mulia adalah terkait Pasal 188 ayat (6) (Pasal ini kemudian tidak ditanggapi karena terdapat usulan pasal tidak perlu ditanggapi karena sebetulnya usulan Dewan Pers adalah menambahkan frasa, “untuk ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah” jadi Dewan Pers menambahkan kegiatan ilmiah. Padahal kalau kita merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti dari kata ilmiah itu adalah secara ilmu pengetahuan jadi tidak kami tanggapi artinya tidak kita setujui karena akan redundan).

  1. Berikutnya adalah Pasal 218 dan 219 ini penyerangan kerhormatan presiden dan wakil presiden.
    RUU KUHP
    Pasal 218
    (2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.Usul Dewan Pers
    Pasal 218
    (2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk tugas jurnalistik, kepentingan umum, atau pembelaan diri.

Dewan Pers mengusulkan agar Pasal 218 ayat (2) tersebut juga diatur kembali sebagai ayat (2) Pasal 219 mengenai tindak pidana serupa yang dilakukan dengan saran teknologi informasi untuk mencegah adanya kriminalisasi dalam tugas jurnalistik. Bapak ibu, usulan Dewan Pers untuk menambahkan frasa, “jika perbuatan dilakukan untuk tugas jurnalistik” dalam Pasal 218 ayat (2) sebagai pengecualian atas alasan penghapus pidana khusus ini kami pertimbangkan untuk diakomodasi, tetapi masuk dalam penjelasan. Jadi, ada frasa kepentingan umum di dalam penjelasan itu kita akan memasukkan bahwa termasuk kepentingan umum yang di dalamnya terdapat tugas jurnalistik. Jadi intinya Pasal 218, 219 usulan Dewan Pers kami terima dengan memasukkan ke dalam penjelasan.

  1. Yang berikut bapak ibu terkait Pasal 240, 241 penghinaan terhadap pemerintah.
    RUU KUHP
    Pasal 240
    Setiap Orang yang Di Muka Umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyrakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.Pasal 241
    Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.

    Usulan Dewan Pers
    Pasal 240
    Setiap Orang yang Di Muka Umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang dengan maksud sehingga mengakibatkan terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

    Pasal 240 ayat (2)
    (2) Tidak merupakan penghinaan terhadap pemerintah yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk tugas jurnalistik, atau kepentingan umum.

    Pasal 241
    Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.

Penghinaan terhadap pemerintah usulan dari Dewan Pers adalah tidak merupakan penghinaan terhadap pemerintah yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk tugas jurnalistik atau kepentingan umum.  Mengenai Pasal 240 dan Pasal 241 ini, kami berpendapat bahwa penghinaan terhadap pemerintah atau yang kita kenal dengan istilah pasal-pasal penyebar kebencian ini merupakan delik formil dan telah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi artinya kita merujuk pada Putusan MK No. 6/PUU-V/2007. Jadi tidak lagi delik formil melainkan delik materiil. Sementara terkait usulan dari Dewan Pers untuk penambahan 241 ayat (2) tidak diperlukan karena pengusulan diaturnya pengecualian itu sudah terakomodasi dalam Pasal 240 ayat (1) jadi tidak kami tanggapi.

  1. Selanjutnya, usulan Dewan Pers terkait Pasal 246, 247, dan 248 terkait pengahusat untuk melawan penguasa umum.
    RUU KUHP
    Pasal 246
    Dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, Setiap Orang yang Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan:

    1. menghasut orang untuk melakukan Tindak Pidana; atau
    2. menghasut orang untuk melawan penguasa umum dengan Kekerasan

    Usulan Dewan Pers
    Pasal 246
    Dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, Setiap Orang yang Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan:

    • mengajak publik secara terang untuk melakukan tindak pidana; atau
    • mengajak publik secara terang untuk melawan penguasa umum dengan kekerasan. 

    (2) Tidak merupakan mengajak public secara terang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk tugas jurnalistik, atau kepentingan umum.

Argumentasi Dewan Pers sebagai berikut:

  1. Penghinaan terhadap pemerintahan memiliki ketentuan yang mirip dengan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden sehingga bertentangan dengan konstitusi dan telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.
  2. Frasa “menghasut” berpotensi multitafsir dan sulit untuk dibuktikan.
  3. Dewan Pers meminta agar ada tambahan pengecualian untuk tugas jurnalistik Pasal 246, 247, 248.

Tanggapan Pemerintah

  • Pasal 246 RKUHP berasal dari Pasal 160 KUHP yang pernah diuji materiil ke Mahkamah Konstitusi oleh Rizal Ramli selaku Pemohon. Putusan MK No. 7/PUU-VII/2009 menolak permohona tersebut dengan konklusi Pasal 160 KUHP adalah conditionally constitutional dalam arti konstitusional sepanjang ditafsirkan sebagai Delik Materiil dengan pertimbangan hukum:14.1: *…Menurut Mahkamah, walaupun pasal a quo berasal dari warisan colonial Belanda, namun substansinya yang bersifat universal, yakni melarang orang menghasut untuk melakukan tindak pidana, masih tetap sesuai dengan kebutuhan hukum Indonesia saat ini…*
    14.2: *… Menurut Mahkamah, dalam negara demokrasi, semua warga negara mempunyai hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat baik dengan lisan atau tulisan. Dalam hal ini harus dibedakan antara pelaksanaan hak untuk mengeluarkan pendapat 72 dengan lisan atau tulisan yang dapat berupa kritikan kepada pemerintah dan tindakan menghasut…*
  • Dalam hal Tindak Pidana Menghasut (Opruien) ditafsirkan konstitusional bersyarat sebagai Delik Materiil (Putusan MK No. 7/PUU-VII/2009), maka perbuatan menghasut tersebut harus menimbulkan akibat, misalnya orang yang terhasut itu melakukan tindak pidana.
  • Usulan Dewan Pers untuk mereformulasi unsur “hasutan” dalam Pasal 246 & 247 RKUHP dengan mengajak publik secara terang” untuk melakukan tindak pidana dan pengecualian dari tindak pidana penghasutan untuk “tugas jurnalistik” dan kepentingan umum dapat dipertimbangan untuk diakomodasi dalam uraian penjelasan Pasal 246 RKUHP.
  1. Kemudian Pasal 263 terkait Penyiaran atau Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong
    RUU KUHP
    Pasal 263

    1. Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.
    2. Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan tersebut adalah bohong yang dapat mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4  (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

    Usulan Dewan Pers
    Pasal 263

    1. Setiap Orang menyebarluaskan informasi atau pemberitahuan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan/atau politik padahal diketahuinya bahwa informasi atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.
    2. Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan tersebut adalah bohong yang dapat mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV (tidak terlihat di layar dan tidak dibacakan).
    3. Tidak merupakan menyebarluaskan informasi atau pemberitahuan bohong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) jika perbuatan dilakukan untuk tugas jurnalistik atau kepentingan umum.

    Tanggapan Pemerintah:

  1. Usulan Dewan Pers untuk mengganti unsur “berita” menjadi “informasi” tetap perlu untuk disesuaikan dengan Penjelasan Pasal 55 UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang ternyata masih menggunakan terminologi “informasi”: “Pers nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut.”
  2. Usulan Dewan Pers untuk menambahkan unsur “untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan/atau politik” dalam Pasal 263 ayat (1) dan (2) RKUHP akan mempersulit pembuktian karena seolah-olah ini hanya dibatasi untuk kepentingan ekonomi/politik.
  3. Sebagai perbandingan, ketentuan Pasal 437 UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan mengenai Tindak Pidana Informasi Palsu Yang Membahayakan Keselamatan Penerbangan juga tidak mensyaratkan motif.
  4. Penyebaran informasi atau pemberitahuan bohong bukan merupakan pengecualian atau Alasan Penghapus Pidana karena adanya mekanisme Hak Koreksi (Pasal 5 ayat 3 UU Pers).Sehingga Pasal 263 tidak kami tanggapi
  1. Berikutnya Pasal 264 terkait Menyiarkan Berita Yang Tidak Pasti, Berlebihan atau Tidak Lengkap
    RUU KUHP
    Pasal 264
    Setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap sedangkan diketahuinya atau patut diduga, bahwa berita demikian dapat mengakibatkan kerusuhan di masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.Usulan Dewan Pers
    Pasal 264
    Setiap orang yang menyebarluaskan informasi dengan maksud mengajak orang agar mempercayai informasi tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan/atau politik sedangkan diketahuinya mengakibatkan kerusuhan di masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.

Tanggapan Pemerintah:

  1. Usulan Dewan Pers untuk mereformulasi frasa “menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap” menjadi “menyebarluaskan informasi dengan maksud mengajak orang agar mempercayai informasi tidak pasti” dikhawatirkan tidak dapat menjangkau “tujuan-tujuan lainnya” dari penyiaran berita atau informasi yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap
  2. Sebaliknya, dalam Pasal 54 ayat (1) RKUHP motif dan tujuan melakukan tindak pidana serta cara melakukan tindak pidana justru akan menjadi pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan pemidanaan. Sehingga pasal tersebut tidak kami tanggapi.
  1. Berikutnya Pasal 280 terkait Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan

Usulan Reformasi Penjelasan Pasal 280:

  • Huruf a

Yang dimaksud dengan “tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk proses peradilan” adalah melakukan hal-hal untuk menentang perintah tersebut dengan cara yang tidak dibenarkan oleh hukum

  • Huruf b

Yang dimaksud dengan “bersikap tidak hormat” adalah bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan martabat hakim dan pengadilan atau tidak menaati tata tertib pengadilan. Termasuk dalam “menyerang integritas hakim” misalnya menuduh hakimbersikap memihak atau tidak jujur.

Yang dimaksud dengan “persidangan” adalah proses persidangan yang melibatkan (tidak terlihat di layar dan tidak dibacakan).. proses persidangan, misalnya panitera atau penuntut umum

  • Huruf c

Yang dimaksud dengan “mempublikasikan secara langsung” misalnya, live streaming, audio visual tidak diperkenankan untuk persidangan tertutup. Tidak mengurangi kebebasan jurnalis atau wartawan untuk menulis berita dan mempublikasikannya.

Tanggapan Pemerintah:

  1. Usulan Dewan Pers yang menambahkan frasa “untuk persidangan tertutup” dalam penjelasan Pasal 280 RKUHP dapat diakomodasi karena pada prinsipnya proses sidang tertutup memang bukan untuk dipublikasikan, kecuali pada saat pembacaan putusan dari perkara yang bersiat terutup sidang pembacaan putusannya harus dinyatakan terbuka untuk umum.
    Oleh karenanya, khusus Pasal 280 kami akomodasi.
  1. Pasal 302 terkait Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kepercayaan
    RUU KUHP
    Pasal 302
    Setiap Orang Di Muka Umum yang:

    1. melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan;
    2. menyatakan kebencian atau permusuhan; atau
    3. menghasut untuk melakukan permusuhan, Kekerasan, atau diskriminasi, terhadap agama, kepercayaan, orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.

      Usulan Dewan Pers
      Pasal 302
      Setiap Orang Di Muka Umum yang:

      1. melakukan perbuatan permusuhan;
      2. menyatakan permusuhan;
      3. mengajak public secara terang-terangan untuk melakukan permusuhan, diskriminasi, atau kekerasan

      (tidak terlihat di layar)

Usulan Penjelasan:

  • Yang dimaksud permusuhan adalah mengajak orang atas dasar kebencian agama, ras, etnis, atau kebangsaan untuk melakukan kekerasan atau diskriminasi.
  • Yang dimaksud secara terang-terangan adalah untuk diketahui public secara luas.

Tanggapan Pemerintah:

  1. Pasal 302 RKUHP berasal dari Pasal 156 a KUHP yang merupakan amanat Pasal 4 UU PNPS No. 1/1965 dengan 3 unsur (bestanddelen) yang bersifat alternatif, yaitu permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan agama.
  2. Bunyi Pasal 20 ayat 2 UU No. 12 Tahun 2005 (ICCPR): segala tindakan yang mengajurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras, atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum.
  3. Unsur-unsur (alternatif) dari Pasal 302 RKUHP telah disesuaikan dengan ICCPR yang sudah diratifikasi RI melalui UU No. 12 Tahun 2005, yaitu perbuatan yang bersifat permusuhan, menyatakan kebencian atau permusuhan, dan menghasut untuk melakukan permusahan, kekerasan, atau diskriminasi terhadap agama dan kepercayaan.
  4. Oleh karena itu, usulan Dewan Pers mengenai tambahan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan “permusuhan” dalam Pasal 302 RKUHP dapat dipertimbangkan untuk dibahas bersama DPR agar dapat memberikan penjelasan yang lebih jelas.
    Untuk 302, kami terima.
  1. Selanjutnya terhadap Pasal 303

Usulan Dewan Pers yang menambahkan ayat 3 dari Pasal 303 RKUHP tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan yang dilakukan dengan saran teknologi informasi sudah terakomodasi dengan penjelasan Pasal 302 RKUHP, yang sebelumnya disadur dan dikembangkan dari Penjelasan Pasal 5 UU PNPS No. 1/1965. Usulan ini akan diakomodasi

  1. Berikutnya Pasal 304 terkait menghasut seseorang menjadi tidak beragama atau berkepercayaan 

    Tanggapan Pemerintah:

  1. Kedua usulan Dewan Pers untuk mereformulasi Pasal 304 ayat (1) dan (2) tersebut, pada pokoknya sudah termaktub dalam rumusan Pasal 304 ayat (2) RKUHP versi tanggal 4 Juli 2022.
  2. Adapun pertimbangan dari tim perumus waktu Menyusun Pasal 304 ayat (1) adalah untuk melindungi aspek religiusitas dari kehidupan beragama di Indonesia sesuai dengan sila pertama Pancasila, yaitu ketuhanan Yang Maha Esa.
  3. Perbuatan “menghasut” di muka umum dengan maksud untuk membuat orang menjadi tidak beragama/berkepercayaan, senyatanya juga dapat dilakukan tidak harus dengna cara kekerasan atau ancaman kekerasan, sehingga ketentuan Pasal 304 ayat (1) perlu dipertahankan guna melindungi reiligiusitas dari kehidupan beragama Indonesia.
    Jadi usulan 304 kami tolak.
  1. Pasal 351 terkait penghinaan terhadap kekuasaan umum

Ada beberapa usulan, tanggapan pemerintah:

  1. Usulan tambahan penjelasan mengenai yang dimaksud dengan “kerusuhan” adalah kerusuhan yang terjadi secara fisik dapat diakomodasi dalam Penjelasan Pasal 351 ayat (2)
  2. Usulan Dewan Pers mengenai reformulasi frasa dari “mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat” menjadi “dengan maksud sehingga mengakibatkan terjadinya” tidak sesuai konstruksi Pasal 351 ayat (2) sebagai Delik Materiil. Sehingga khusus Pasal 351 ada yang kami terima, ada juga yang kami tolak.
  1. Pasal 437, 440, dan 443 terkait Penghinaan (Pencemaran)

RUU KUHP

Pasal 437

Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dipidana jika dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri. 

Usulan Dewan Pers 

Pasal 437

Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dipidana jika dilakukan untuk tugas jurnalistik, kepentingan umum atau terpaksa karena membela diri.

Catatan:

Dewan Pers mengusulkan agar ada tambahan pengecualian untuk tugas jurnalis dalam Pasal 440 dan Pasal 463.

Tanggapan Pemerintah:

  1. Pertimbangan hukum Putusan MA No. 1609/K/Pid/2005 tanggal 9 Februari 2006:
  • Peradilan keliru bila menerapkan KUHP, dimana kasus tersebut merupakan kasus terkait pemberitaan pers yang lingkupnya diatur dalam UU Pers.
  • Haruslah mempertimbangkan pondasi filsafat yang menopang UU Pers bahwa Pers Nasional haruslah menjadi pilar keempat demokrasi, sehingga hakim harus berkontribusi membangun perlindungan… (tidak terlihat di layar dan tidak dibacakan).
  • Aturan Pers haruslah lebih diprioritaskan disbanding aturan lainnya termasuk KUHP

2. Usulan Dewan Pers untuk reformulasi Pasal 473 ayat (3), Pasal 443 ayat (5), dan Pasal 440 ayat (2) RKUHP yaitu mengatur “tugas jurnalistik, sebagai salah satu pengecualian atau alasan penghapus pidana khusus dari TP Penghinaan, Pencemaran Orang mati, dan Penghinaan Ringan (bersama “kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri”) dapat dipertimbangkan untuk diakomodasi dalam Penjelasan Pasal 473 ayat (3) RKUP.

Sehingga sebagian besar masukkan dari Dewan Pers ini kita masukkan dalam penjelasan sehingga adanya kekhawatiran multitafsir dan lain sebagainya tidak akan terjadi. Demikian pimpinan yang mulia penjelasan kami terkait masukkan dari Dewan Pers.

Dr. Habiburokhman, S.H., M.H.

  • Saya pikir memang ini harus disahkan pada masa sidang yang akan datang sehingga kita bikin timetablenya, prosesnya sampai pengesahannya. Timetable itu bukan hanya jadwal, tapi substansi, agendanya apa saja (tiga empat agenda, tiga empat kali rapat, ketok). Sedikit saja yang mengganjal, kalaupun bisa diakomodir menurut saya ada pasal-pasal yang sangat menarik perhatian publik, yaitu penghinaan presiden dan penghinaan terhadap pemerintah. Dua pasal tersebut kalau saya baca, dua pasal yang telah dirumuskan terakhir dimateriilisasi, yang formil menjadi sangat materiil sifat deliknya. Harus mengacu pada terjadinya kerusuhan. Kalau begitu terpikirkan oleh saya, kenapa tidak dihapuskan saja sekalian, Pak Wakil Menteri?
  • Setiap terjadi kerusuhan kita usut pake yang sekarang 170 atau apa itu secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang kalau yang kita jaga jangan sampai terjadi kerusuhan. Saya hanya ingin mempermudah saja proses pengesahan ini supaya tidak memicu reaksi publik karena publik itu kalau selama masih ada pasal itu pasti diributkan oleh mereka. Tapi, kalau sebagian besar rekan-rekan sudah kunci di apa yang ada saat ini, kita juga tidak ada masalah. Saya hanya menawarkan alternatif, kalau memang yang kita takutkan kerusuhan atau nanti meminta tolong respon Pak Wamen dan bapak ibu tim ahli. Jawaban kami seperti apa, kalau yang kita takutkan kerusuhan, kerusuhannya saja yang kita pidanakan, tidak peduli penyebabnya apa dengan menghasut pemerintah, dengan membenci pemerintah, dengan mneghasut membenci presiden, dengan menyebarkan kebohongan. Siapapun yang melakukan kerusuhan, menghasut seseorang untuk melakukan kerusuhan dengan dalih apapun itu dipidana sebagaimana pasal yang sekarang diatur di 170. Mungkin itu, tetapi prinsipnya menurut saya fix masa sidang besok harus kita ketok.

Arsul Sani, S.H., M.Si.

  • Pertama-tama, tentu saya mengucapkan terima kasih dari apa yang tadi disampaikan oleh pemerintah terkait dengan masukkan Dewan Pers saya kira rasional responnya dan secara prinsip bisa kami terima. Catatan saya Pak Wamen dan bapak ibu sekalian, ini yang terkait dengan beratnya pemidanaan. Wajah penegakan hukum kita itu kan antara lain dipersepsikan masih buruk karena memang penegak hukum kita kelewat semangat terkait kasus-kasus tertentu seperti kasus-kasus yang kemudian menjadikan seolah-olah demokrasi di negeri ini itu menjadi demikian terdegradasi, kira-kira seperti itu. Nah saya berpikir, misalnya seperti kasus-kasus yang memang menimbulkan perdebatan panjang seperti delik penodaan agama dan juga delik-delik penghinaan apalagi kalau nanti ada revisi UU ITE segala macam. Kemudian yang dihina dan dicemarkan itu polisinya, nanti rajin langsung diambil, dijemput meskipun setelahnya dilepas lagi, meskipun diselesaikan di KUHAP persoalan soal-soal seperti ini. Maksud saya, saya merasa bahwa kita punya kewajiban moral juga untuk kemudian memperbaikinya dengan mengurangi ancamannya. Yang memberikan kewenangan kepada penegak hukum untuk langsung menahan karena lima tahun atau ke atas.
  • Memang kemudian nanti di KUHAP bisa juga kita tingkatkan jadi 7 tahun bisa saja. Dulu kalau tidak salah itu dengan delphi method saat merumuskan kebijakan terkait sentencing policy Saya mohon terutama delik-delik penghinaan dan lain sebaginya. Saya memang punya pandangan yang berbeda dari Dr. Habiburokhman soal pasal penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden dan wakil presiden. Ini memang perdebatan panjang karena apabila sudah ada pasal penghinaan umum kenapa harus dibedakan? Menghina, menyerang harkat dan martabat presiden. Saya kira itu jawabannya sudah terjawab juga. Kalau saya tetap ingin pasal ini ada, kenapa? Karena ada pasal pasangannya menghina kepala negara, kepala pemerintahan yang sedang berkunjung ke sini saja kemudian tetap dipidana jadi menjadi lucu jika pasal itu dihilangkan. Hemat saya, kita tidak berdebat pada tataran politik hukum. Pasal ini perlu ada atau tidak tetapi sepanjang formulasi, perbaikan, redaksi, dan kemudian juga seperti yang saya katakan tadi masih nawar ancaman pidananya atau bahkan menyangkut penjelasannya silakan saja. Saya kira itu ketua, terima kasih.

Ichsan Soelisto

  • Saya hanya ingin memberikan usulan sedikit Pak Wamen pada Pasal 218 itu perbuatan dilakukan untuk tugas jurnalistik. Sekarang ini dengan aktifnya media sosial, jangan sampai suatu saat orang masukkin di sosial media itu, dia bilang tugas jurnalistik. Nah definisi tugas jurnalistik ini apa? Siapa saja orang-orang yang masuk dalam tugas jurnalistik? Apakah orang-orang itu yang terdaftar di Dewan Pers? Atau siapa? Jadi saya hanya mengharapkan ini bisa sedikit diperjelas, mungkin cukup dipenjelasannya saja bagaimana, supaya benar-benar orang tersebut memang melakukan tugas jurnalistik.

Taufik Basari, S.H., S.Hum., LL.M

  • Saya sangat sepakat yang tadi disampaikan oleh rekan saya yang terhormat Dr. Habiburokhman, yakni bahwa kita harus punya timeline target untuk menyelesaikan ini. Kedua, ada beberapa persoalan substansi yang tadi menurut Dr. Habiburokhman yang perlu untuk kita diskusikan kembali agar menjadi jelas. Saya juga sepakat tadi yang disampaikan oleh senior saya Bang Arsul untuk sebagian dan Pak Ichsan tadi yang kalau kita lihat dari tiga masukkan sebelum saya ada beberapa hal penting yang harus kita jadikan pedoman dalam rapat hari ini.
  • Pertama, saya masih melihat ternyata kan masih ada kebutuhan untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Meskipun perbaikannya berupa reformulasi atau penambahan penjelasan atau bahkan harmonisasi supaya nanti ketika kita sudah ketok, kalau kita lewat-lewati beberapa hal yang ternyata masih perlu kita diskusikan, kita tidak menyesal karena tidak sempat didiskusikan padahal sempat terlontar di kepala kita dan sempat menjadi permasalahan di publik. Karena itu, supaya tidak menyesal nantinya karena terburu-buru diketok, hal-hal seperti itu dalam satu masa sidang ke depan ini kita bahas secara maraton. Mungkin satu hari bisa dari pagi sampai sore beberapa kali kita lakukan pembahasan secara mendalam sepanjang kita bisa lakukan dengan cepat dalam satu waktu masa sidang menurut saya masih dapat dilakukan sepanjang ada kesempatan kita untuk kembali melihat beberapa pasal yang masih menjadi persoalan.
  • Kedua, ada beberapa pasal yang juga membutuhkan adanya reformulasi untuk memastikan actus reus dan mens rea nya supaya dia tidak menjadi polemik seperti sekarang. Ada juga yang mungkin dalam kesempatan nanti ketika masuk pembahasan di masa sidang kedepan, saya mengusulkan kita simulasi di dalam proses pembahasan yang resmi di DPR bersama pemerintah beberapa pasal yang menjadi pro kontra dan polemik. Hasil simulasi tersebut dijadikan memorie van toelichting yang gunanya ketika nanti dikhawatirkan itu terjadi dalam suatu peristiwa hukum dan dibawa ke dalam proses hukum maka memorie van toelichting hasil simulasi kita ini bisa menjadi dasar pedomannya hakim untuk memutus atau bisa jadi rujukan penegak hukum ketika dia menerima laporan. Jadi, kekhawatiran publik bahwa RKUHP akan over kriminalisasi bisa kita jawab dengan simulasi yang kita jadikan memorie van toelichting.
  • Ketiga, ini kan masih ada juga kritik masyarakat terkait dengan partisipasi bermakna. Oleh karena itu, saya membayangkan di masa sidang kedepan itu nanti ketika kita membahas beberapa persoalan-persoalan penting termasuk juga ketika kita melakukan simulasi itu masukkan-masukkan tetap kita buka sehingga kita benar-benar menjalankan prinsip partisipasi bermakna dan keterbukkan secara konkrit bukan hanya formalitas supaya RKUHP kini tidak dikesankan hanya milik DPR dan Pemerintah, tapi ini milik bersama karena semua orang boleh memberikan masukkan, tanggapan, dan sebagainya bahkan bila perlu ketika kita sedang membahas, pembahasan kita ini menjadi pembicaraan di berbagai seminar mandiri yang dibuat oleh berbagi pihak bahkan di warung-warung kopi pun membicarakan apa yang kita bicarakan di DPR ini. Jadi dalam bayangan saya bisa jadi semacam konsultasi nasional.
  • Terkait poin pertama yang saya sampaikan, saya memberikan beberapa contoh. Misalnya soal narkotika. Saat ini kita sedang mempersiapkan pembahasan untuk RUU Narkotika. Disitu kita juga pasti akan bersentuhan dengan bagaimana upaya kita untuk mengedepankan rehabilitasi, mereduksi pendekatan pidana. Kan ini harus sinkron dengan RKUHP karena itu harmonisasi antara kebijakan hukum kita di RUU Narkotika dengan kebijakan hukum di RKUHP ini harus sinkron. Nanti sinkornnya ini saya harapkan pemerintah pun dapat melakukan harmonisasi. Contoh yang kedua, UU TPKS. Di dalam UU TPKS ada satu klausul yang menyatakan bahwa akan dianggap sebagai TPKS bagi pidana lain yang disebutkan sebagai pidana kekerasan seksual. Di RKUHP belum kita harmonisasi supaya dia bisa nyambung di hukum acara dan di TPKS. Kemudian pidana mati. Pidana mati ternyata setelah saya baca lagi dan saya bandingkan dengan draft yang lama, ada problem disitu. Kita semangatnya pidana mati merupakan pidana alternatif, tetapi disitu ada kata “dapat” kata tersebut dalam draft lama tidak ada dan di draft sekarang muncul tiba-tiba. Ini kecil memang persoalannya, tapi mengubah substansi. Kalau kita ada kesempatan mengubah kata “dapat” itu saja itu menjadi beres semuanya. Termasuk hal-hal lain terkait rumusan beratnya pidana supaya pembahasan kita dalam masa sidang itu secara komprehensif dan intensif dapat melahirkan RKUHP yang baik. Tapi yang paling penting kesempatan diskusinya. Itu pimpinan yang saya harapkan. Jangan hanya kita membahas secara formalitas kemudian ketok. Demikian pimpinan, terima kasih.
  • Kalau dari masukan-masukan yang ada dan keinginan dari Pak Habib tadi bahwa kita butuh timeline yang jelas agar tidak berlarut-larut dan lama, saya usul agar tadi kan masukan-masukkan tidak hanya dari Dewan Pers, tetapi ada dari masyarakat sipil dan sebagainya. Maka sebelum kita bahas bersama di sini, masukan-masukan tersebut sama perlakuannya dengan Dewan Pers, langsung diakomodir dalam update draft yang 4 Juli kemarin sehingga ketika nanti kita masuk lagi masa sidang dan akan mencoba membahas draft tersebut sudah draft hasil masukan itu termasuk juga dari sosialisasi dan sebagainya. Ada yang ditolak, ada yang masuk, ada yang direformulasi, ataupun masuk ke dalam penjelasan supaya kita tidak mengulang lagi. Kalau bentuknya bukan draft update dan yang ada di sini dalam bentuk pembahasan, akan lama lagi.

Hinca I.P. Pandjaitan XIII, S.H., M.H., ACCS

  • Pertama, saya ingin menggaris bawahi agar timeline kita dapat kita penuhi batas waktu persidangan dalam tahun ini. Kedua, karena memang masih sangat banyak masyarakat yang juga bertanya atau mensimulasikan pandangan dan persepsinya, saya kira dalam pertemuan yang akan datang juga perlu kita buat semacam simulasi atau rekonsturksi karena itu memudahkan mengkomunikasikan kepada publik. Saya juga setuju dengan rekan saya Bung Taubas untuk dijadikan Memorie van toelichting karena ini KUHP yang menjadi rujukan kita semua termasuk adik-adik kita yang akan belajar di fakultas hukum sejak awal. Oleh karena itu, kami mendukung untuk timeline ini kita selesaikan.
  • Ketiga, saya mengusulkan pada waktu pertemuan yang akan datang tidak masalah kalau kita sisir membaca saja pasal-pasal itu untuk mengecek siapa tahu ada hal-hal yang kita lewatkan, itu sangat manusiawi juga sehingga kita mencoba untuk menolkan kemungkinan kesalahan-kesalahan kecil yang bisa saja terjadi. Keempat, saya ingin mengapresiasi sangat tinggi kepada tim ini terutama merespons masukkan Dewan Pers yang juga dalam rapat dengan Komisi III telah disampaikan dengan sangat baik. Ini kaitannya dengan pasal-pasal yang mengancam kemerdekaan pers. Kebetulan Pak Wamen saya ini sejak tahun 1998, 1999 kita bikin undang-undang pers itu sampai sekarang dan ini adalah hasil anak kandung reformasi yang harus kita jaga.
  • Saya membaca argumentasi yang disampaikan pemerintah kali ini sekian pasal-pasal sampai banyak sekali sampai kemudian mengutip baik reasoning yang disampaikan pemerintah maupun Putusan Mahkamah Konstitusi dan slide terkahir yang merujuk pada Putusan MA No. 1608 yang sesungguhnya sangat membela kerja-kerja jurnalistik yang menjadi acuan kita. Saya ingin memberi apresiasi untuk itu dan berterima kasih. Pertanyaan saya adalah ada tadi yang ingin diakomodir di dalam substansinya, ada yang memang ditolak karena sudah dimasuk dalam pasal-pasal yang kita rasa cukup, tapi banyak juga yang masuk di penjelasan. Saya hanya ingin mengatakan karena ini kami bahas betul sejak lama di Dewan Pers, jika boleh jangan ada yang tersisia, terlepas, dan jika memang dimungkinkan di penjelasan itu jauh lebih baik karena semangat kita, demokrasi kita, menjaga Dewan Pers ini kesempatan emas untuk memasukkan di KUHP. Oleh karena itu, apa yang disampaikan teman-teman Dewan Pers ini adalah bagian dari semangat kita melahirkan KUHP yang mendukung dan menjungjung kemerdekaan pers sebagai basis kita untuk membangun demokrasi ke depan. Itu saja pimpinan, terima kasih.

Supriansa, S.H., M.H.

  • Pertama-tama, apa yang disampaikan Dr. Habiburokhman itu patut dan penting kita perhatikan supaya bisa selesai dan KUHP ini bisa diketok. Apa yang kita buat ini dapat menjadi sebuah legacy ke depan. Kemudian saya masuk di Pasal 240, karena Pak Dr. Hinca tadi mengatakan kita bisa menelisik kalimat demi kalimat siapa tahu ada yang terlewatkan. Kalimat di sini menyatakan misalnya, “setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah…” terus pada tanggapan pemerintah Pasal 240 berasal dari Pasal 154 KUHP tentang penghinaan terhadap pemerinta, tidak ada kata “sah” nya. Jadi menyangkut masalah konsistensi dalam penulisan apakah yang benar ini “pemerintah yang sah” atau cukup dengan “pemerintah” karena dengan adanya “pemerintah yang sah” akan menimbulkan pertanyaan berikutnya yang mana pemerintah yang tidak sah? Kalimat-kalimat seperti inilah yang patut kita perhatikan, satu kalimat demi kalimat supaya lahir semua pasal ini secara sempurna dengan baik seperti yang menjadi harapan bangsa dan negara yang juga menjadi harapan masyarakat kita.

Arteria Dahlan, S.T., S.H., M.H.

  • Kita ini kan di depan mata sudah ada 14 isu krusial, di luar itu ada namanya usulan adek-adek mahasiswa, di luar itu ada yang namanya Dewan Pers, tetapi pada hari ini kenapa hanya usulan Dewan Pers saja yang ditanggapi, yang lainnya gimana? Atas 14 isu ini bagaimana? Atas tambahan di luar 14 isu ini kami juga ingin disampaikan, namanya masyarakat sipil. Kemudian, agak kurang nyaman didengar mengenai diksi tugas jurnalistik. Dari dulu tugas jurnalistik, tugas penegak hukum, tugas advokat itu masuk ke kepentingan umum. Kenapa tugas jurnalistik dispesialisasikan, apa hebatnya jurnalis dibanding advokat dan yang lain? Tadi ditanggapi akan diakomodir dan sebagainya. Lebih baik itu di penjelasan juga tidak di-elaborate nanti tugas advokat tidak bisa dihukum, Pak. Kami mohon bahasanya jangan bahasa jurnalistik, tetapi bahasa profesi. Bahasanya yang lebih umum lagi.
  • Kemudian, 240, 241, 246, 247, 248 itu kan kita bicara frasa “menghasut” hingga 302. Kalau teman-teman Dewan Pers mengatakan sulit dan multitafsir, itulah tugas kita untuk menjelaskan. Tapi bahasa yang punyanya Dewan Pers menurut saya lebih kurang pas. Lebih baik kita pakai bahasa yang lama. Ini bukan masalah kolonialisasi dan dekolonialisasi, justru yang kolonial itu yang buat itu benar-benar negarawan, jadi jangan alergi. Berikutnya, kami merasa sekarang ini teman-teman Kementerian Hukum dan HAM (“Kumham”) ranahnya sudah mencari popularitas. Kita tidak meng-entertain semua pihak. Makanya sedari awal saya katakan istiqomah, mau tidak kita jalan tidak populer sekalipun. Kenapa Dewan Pers dikasih ruang, tapi adek-adek mahasiswa dan masyarakat sipil tidak kelihatan. Dengan mahasiswa agak ketat sedangkan Dewan Pers loose Kami minta kita ini fokus yang memang masalah, kita selesaikan. Kalau Dewan Pers ini ada yang bermasalah dan kita tegas kalau memang tidak bisa diubah. Bayangkan, seorang Wakil Menteri meng-entertain Dewan Pers setebal ini, Pak. Sama mahasiswa disalah-salahkan sedangkan Dewan Pers direspon setebal ini, ini tidak boleh.
  • Kedua, saya sependapat masalah yang diangkat Taubas, tapi saya adalah orang yang yang paling percaya ini sudah hampir sempurna terlepas dari Taubas berpandangan apa, saya bisa buktikan ini sudah hampir sempurna. Yang benar-benar bermasalah seperti pidana mati dihilangkan, itu sepakati. Tapi kalau menyisir, saran saya prof disisir per fraksi untuk mempercepat sidang. Ketiga, masalah kesetaraan hukuman. Prof, saya minta nanti hati-hati dalam menentukkan hukuman misalnya antara hukum terhadap pembunuhan dengan penganiayaan yang menyebabkan kematian.

Santoso, S.H., M.H.

  • Pertama, saya mengapresiasi masukkan dari Dewan Pers tentang RKUHP yang kaitannya dengan pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers. Berikutnya, saya ingin mengingatkan, pers ini memang salah satu pilar demokrasi. Saya tidak ingin juga di dalam RUU ini menjadikan pers itu superbody karena biar bagaimanapun semua baik individu maupun lembaga di republik ini dalam masalah hukum itu setara sesuai dengan amanat konstitusi. Jadi jangan sampai menimbulkan superbody, mungkin kalau dipemerintahan itu abuse of power.
  • Kemudian terkait dengan jurnalistik memang harus ada definisi dan saya mendukung apa yang disampaikan oleh Pak Ichsan. Memang jangan sampai ada kejadian nanti di lapangan ternyata yang dimaksud dengan jurnalistik itu berbeda definisinya antara keinginan pembuat undang-undang dengan yang melaksanakan atau yang melakukan jurnalistik. Berikutnya, saya tertarik soal pemerintah yang sah. Produk ini kan produk untuk RI, menurut saya jangan buat bahasa justru yang melecehakan diri kita sendiri. Jadi kalau ada pemerintah yang sah, berarti di republik ini ada pemerintah yang tidak sah sehingga dengan sendirinya dalam produk undang-undang ini kita berpikir memiliki jangkauan bahwa nanti pada saat pelaksanaan undang-undang direalisasikan, ada dua kutub yaitu pemerintah yang sah dan pemerintah yang tidak sah. Jadi menurut saya, kata “sah” itu dhilangkan karena sudah jelas yang dimaksud dengan pemerintah adalah pemerintah yang memimpin negeri ini berdasarkan konstitusi, produk pilpres, dan lain sebagainya.

Respon Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H. M. Hum atas tanggapan dan masukan:

  1. Ada beberapa hal yang ingin kami jelaskan. Pertama, dalam RKUHP memisahkan penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, kita tidak menyebutnya penghinaan, tetapi menyebutnya adalah menyerang harkat dan martabat presiden. Kemudian penghinaan terhadap pemerintah dan penghinaan terhadap kekuasaan umum. Mengenai penghinaan atau yang menyerang harkat dan martabat presiden kami tetap mempertahankan karena di dalam KUHP semua bangsa di dunia ada bab yang berjudul penyerangan terhadap harkat dan martabat kepala negara asing. Singkat kata, kalau kepala negara asing itu dilindungi harkat dan martabatnya, kenapa kepala negara sendiri tidak?
  2. Kedua, kita harus pahami bersama bahwa memang persoalan penghinaan bagi negara ini adalah mala in se dimana sesuatu yang dari asalnya merupakan suatu kejahatan. Ketiga, yang dilarang di dalam menyerang harkat dan martabat presiden itu adalah penghinaan. Penghinaan dalam hukum pidana itu hanya ada dua, yaitu menista dan memfitnah. Menista ini adalah merendahkan derajat seseorang dan mefitnah itu menuduh seseorang melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak dia lakukan. Keempat, ini adalah suatu pengendalian sosial jadi bapak ibu bisa bayangkan presiden dan wakil presiden itu paling sedikit didukung atau pemilihnya plus satu dari jumlah pemilih yang ada. Kita bisa bayangkan kalau misalnya pasal ini tidak ada, lalu kemudian kita menghina presiden yang ada, menista, atau memiftnah, kira-kira pendukungnya marah atau tidak? Dengan adanya pasal ini, justru sebagai pengendalian sosial dengan mudah kita mengatakan, “presiden dan wakil presiden saja tidak tersinggung, kok anda tersinggung?” kira-kira seperti itu. Kelima, pasal ini dihadirkan dengan katup pengaman supaya tidak multitafsir, dikriminalisasi oleh aparat penegak hukum. Katu pengama tersebut:
  • Pasal ini merupakan delik aduan yang boleh diadukan oleh presiden dan wakil presiden.
  • Alasan penghapusan pertanggung jawaban pidana apabila digunakan untuk kepentingan umum atau membela diri maka tidak bsia dipidana.
  • Diberi penjelasan bahwa kepentingan umum itu tidak menghalangi kebebasan berekspresi, kebebasan berdemokrasi termasuk kebebasan mengeluarkan pendapat. Kami kira Pasal 28 UUD 1945 menjamin kebebasan berdemokrasi, berpendapat, berekspresi tapi tidak menjamin kebebasan menghina karena menghina itu perbuatan pidana.
    Sementara, penghinaan terhadap pemerintahan dari Pasal 154 KUHP yang lama ini sekaligus menjawab koreksi dari Pak Supriansa dan Pak Santoso, memang KUHP yang lama menggunakan istilah pemerintahan yang sah karena kita tau persis ini kan kolonial. Kita seharusnya tidak menggunakan pemerintahan yang sah tetapi cukup pemerintahan.
  1. Kemudian, penghinaan terhadap kekuasaan umum diambil dari Pasal 207 KUHP dan merujuk pada Putusan MK:
  • Harus delik materiil, yaitu adanya kerusuhan
  • Merupakan delik aduan

Memang berbeda dengan penyerahan harkat dan martabat yang merupakan delik formil dan delik aduan. Sementara penghinaan terhadap kekuasaan umum dan pemerintahan yang sah, dua-duanya merupakan delik materiil. Banyak masyarakat sipil mengatakan bahwa seolah-olah pasal yang menyerang harkat dan martabat presiden ini merupakan pasal yang diskriminasi karena mengapa tidak dimasukkan ke dalam pasal penghinaan yang biasa saja? Padahal juga bisa digunakan untuk warga negara lainnya. Jawaban kami sangat sederhana, ini bukan masalah equality before the law, tetapi presiden dan wakil presiden adalah primus interpares. Mereka adalah pertama diantara yang sederajat. Kedua, kalau ada yang mengatakan bahwa kita pakai pasal penghinaan biasa saja, tidak perlu ada pasal khusus mengenai presien dan wakil presiden maka kalau begitu tidak perlu ada pasal makar, pakai saja pasal pembunuhan karena makar itu kan membunuh presiden dan wakil presiden, mengapa tidak memakai pasal pembunuhan saja dan harus diatur tersendiri? Ini menggambarkan presiden dan wakil presiden adalah primus interpares sehingga kita tetap mempertahankan ini.

  1. Saya setuju dengan Pak Taufik Basari (Taubas). Kita harus menyusun timeline, yaitu pertama yang harus kita putuskan terkait 14 isu yang krusial dahulu. Tetapi saya selalu mengatakan bahwa terhadap pembahasan KUHP dalam sisa masa sidang ini terbuka tapi terbatas dalam pengertian bahwa terbatas dalam satu sisi karena tidak dibahas semuanya, tetapi kemudian terbuka dalam pengertian dalam pengertian 13 14 itu saja karena Dewan Pers pun yang dikritik tidak hanya Pasal 14 isu. Mengenai narkotika, memang betul Pak Taubas karena kita sekarang sedang melakukan revisi dan akan dipertimbangkan untuk tidak diatur dan menunggu saja UU Narkotika. Kemudian, UU TPKS Pasal 4 itu ada blanco strafbepalingen jadi memang KUHP harus menegaskan mana kejahatan kesusilaan sehingga dapat masuk dalam tindak pidana kesusilaan.
  2. Berikutnya dari Pak Hinca, jadi ketika kami melakukan pertemuan informal dengan beberapa anggota Komisi III, ini memang usulan dari Pak Benny waktu itu dan sudah kami lakukan. Sudah ada provider yang sudah membaca ini, yaitu terdiri dari empat orang guru besar yang tidak terlibat karena terus terang kalau kami baca berulang-ulang terkadang kami sudah tidak lihat cacatnya lagi.
  3. (Tanggapan atas Pak Supriansa dan Santoso dianggap sudah dibahas)
  4. Kemudian, Pak Arteria Dahlan. Kami bukan mengistimewakan Dewan Pers, tetapi apa yang disampaikan oleh teman-teman mahasiswa itu sebenarnya sama dengan teman-teman Dewan Pers, yaitu mengenai pasal-pasal yang dianggap berbahaya terhadap kebebasan demokrasi. Bedanya, teman-teman mahasiswa itu tidak dengan suatu konsep tertulis, kalau Dewan Pers ini kan langsung datang dengan konsep tertulis sehingga kita mudah untuk membacanya.
  5. Terakhir, ini kan kami sudah menyerahkan ini kepada DPR per tanggal 6 Juli 2022 yang mungkin perlu kami sepakati bersama dengan Komisi III, apakah kami akan menunggu daftar inventaris masalah dari Komisi III ataukah seperti apa? Ini yang harus disepakati serta kita sama sekali tidak mengistimewakan Dewan Pers, tetapi undangan dari Komisi III hari ini adalah untuk membahas masukan dari Dewan Pers. Kalau bunyi undangan itu Dewan Pers dan ICJR, kami pun akan membahas dari ICJR. Terus terang, kami sudah membahas masukan dari ICJR lebih dari 110 halaman yang dibahas dua hari dua malam nonstop, itu ada semua. Kita sebetulnya sudah siap dengan itu.
  6. Tim pemerintah menyarankan pembahasan fokus ke 14 isu, baru kemudian masalah seperti narkotika, TPKS, dan lain sebagainya.

Dr. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A.

  • Catatan saya adalah bahwa tadi Dewan Pers menolak bila penyebaran berita bohong ditujukan pada mereka dan dalam beberapa sosialisasi juga ada penolakan dari Mengapa pers dapat dipidana kalau menyebarkan berita bohong? Lalu saya katakan, mungkin orang pers ini lupa bahwa di Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik ada larangan menyebarkan berita bohong. Jadi, apakah benar kalau menyebarkan berita bohong, saya dipidana tetapi kalau anda sebagai wartawan, tidak dipidana? Menurut saya, agak kurang dapat diterima jadi harus ada formulasi yang lebih jelas dan saya menggarisbawahi juga bahwa tidak ada ketentuan dalan RKUHP yang dikhususkan untuk pers, ini berlaku untuk setiap orang. Saya setuju pers sebagai pilar demokrasi, tetapi jurnalistik tidak dapat dijadikan alasan penghapus pidana. Selain itu perlu diberikan batasan, jurnalistik itu siapa.
  • Kemudian apakah benar mereka melakukan fitnah, penyebaran berita bohong, dan penghinaan kepada siapapun itu tidak dipidana karena mereka menganggap mereka sebagai jurnalis seperti memiliki imunitas. Tidak semua tindak pidana di dalam RKUHP ditujukan kepada pers dan kemudian mereka meminta diistimewakan. Perlu dibicarakan apakah benar itu menjadi alasan penghapus pidana? Karena belum ada negara yang meletakan jurnalisme sebagai alasan penghapus pidana.

Yenti Garnasih, S.H., M.H.

  • Pak Arteria tadi menyampaikan bahwa kesetaraan hukuman harus diperhatikan dengan baik dengan contoh pidana untuk pembunuhan dan penganiayaan menyebabkan mati. Ini maksudnya bagaimana? Kita sudah menyiapkan empat guru besar dan doktor yang belum pernah terlibat dan sedang membaca jadi kami mohon dibantu juga masukannya. Saya sudah cek ini sudah benar. Di KUHP sekarang Pasal 351 ayat (3) tujuh tahun dan 338 itu 15 tahun maksimalnya. Di RKUHP juga sama dari Pasal 462 dan Pasal 470 itu sudah setara. Kan contohnya tadi itu jadi kita tidak merubah.
  • Setelah sosialiasi, 14 isu krusial sudah berkurang misalnya advokat curat sudah tidak ada.

Peserta Luring (nama dan wajah sulit dilihat)

  • Semangatnya adalah bagaimana pembahasan ke depannya efektif. Bahan yang dibahas adalah yang masuk ke pemerintah dan hasil diskusi publik. (peserta mengalami gangguan koneksi internet).

Prof.

  • Adanya komitmen bersama untuk menyelesaikan RKUHP ini dalam masa sidang kedua nanti. Tadi ada beberapa usulan yang memang sangat positif untuk diterima, yaitu adanya suatu semangat yang sama untuk memberikan suatu pembahasan yang efisien dan tidak melebar. Sebagaimana kita sepakati bersama dari awal bahwa penundaan ini bermula karena adanya demo dan memunculkan beberapa persoalan krusial yang kemudian memberikan mandat kepada kita semua untuk melakukan sosialisasi dan menyerapan aspirasi itu. Aspirasi dari dua periode sosialisasi sudah kami lakukan pembahasan dan apa yang Pak Wamen merupakan absorbsi dari masukan-masukan yang diantaranya juga Dewan Pers, rekan mahasiswa, maupun rekan NGO. Persoalan yang perlu kita bahas bersama adalah untuk efisiensi itu maka sangat bagus kalau ada pembatasan setiap diskusi-diskusi yang kita lakukan sehingga tidak memunculkan isu-isu lainnya yang tidak pernah selesai.
  • Kemudian, ada wacana bahwa masukan itu dimasukan ke dalam draft menjadi persoalan, apakah akan kita masukkan secara mentah atau pemerintah melakukan pembahasan terlebih dahulu dan saring kemudian bayangan draft itu sudah mengakomodir masukan itu. Tanggal 6 Juli yang disampaikan Pak Wamen sebenarnya masukan dari dua periode. Saya berharap kita semua memiliki semangat dan komitmen yang sama bahwa RKUHP perlu segera disahkan dengan masukan-masukan yang telah ada.

Peserta Luring (wajah dan nama sulit dilihat)

  • Sebenarnya, mengenai 14 isu krusial itu sudah berkurang jadi dalam diskusi kebanyakan mengklarifikasi yang sudah ada. Masukan itu ditampung, tetapi juga disaring. Terkait jurnalistik, kita bertanya juga sampai mana tugas jurnalistik? Ada kasus yang dimana dia mengaku menjalankan tugas jurnalistik tapi sebenarnya tidak.

Dhahana Putra, Bc.IP, S.H., M.Si.

  • Terkait dialog dan sosialisasi di 13 wilayah. Kehadiran peserta signifikan
  • Sosialisasi masih berfokus pada 14 isu krusial, tetapi ada beberapa hal di luar isu krusial:
  1. Kebebasan berekspresi (hal yang selalu ditanyakan)
  • Kami akan menghimpun semua masukan dari pelaksanaan dialog karena memang metode yang kita lakukan tidak hanya sosialisasi tetapi juga dialog aktif antara narsumber dan peserta
  • Terkait ancaman pidana, kalau dicermati di 2019 lebih ke arah punitif. Tetapi di draft 2022 sudah berubah.
  • Kita akan mengundang provider untuk menyampaikan hasil pengamatan
  • Kami akan menyiapkan rancangan hasil dialog atau sosialisasi termasuk masukan dari berbagai

Kesimpulan

  • Komisi III DPR RI menerima penjelasan Pemerintah terkait dengan hasil sosialisasi dan dialog publik terkait RUU tentang KUHP, khususnya Dewan Per
  • Komisi III DPR RI meminta Pemerintah untuk menyempurnakan draft dan penjelasan RUU tentang KUHP hasil sosialisasi dan dialog publik dengan seluruh stakeholders dan masukan-masukan dari masyarakat akan menindaklanjuti hasil tersebut pada Masa Sidang II Tahun Sidang sesuai dengan mekanisme ketentuan perundang-undangan.

Peserta: 

  1. Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H. M. Hum – Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
  2. Dr. Habiburokhman, S.H., M.H. – Anggota Komisi III DPR RI.
  3. Taufik Basari, S.H., S.Hum., LL.M – Anggota Komisi III DPR
  4. H. Arsul Sani, S.H., M.Si. – Anggota Komisi III DPR RI
  5. Ichsan Soelisto – Anggota Komisi III DPR
  6. Dr. Hinca I.P. Pandjaitan XIII, S.H., M.H., ACCS – Anggota Komisi III DPR
  7. Supriansa, S.H., M.H.– Anggota Komisi III DPR
  8. H. Arteria Dahlan, S.T., S.H., M.H. – Anggota Komisi III DPR RI
  9. H. Santoso, S.H., M.H. – Anggota Komisi III DPR RI
  10. Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A. – Tim Pemerintah
  11. Dr. Yenti Garnasih, S.H., M.H. – Tim Pemerintah
  12. Dr. Dhahana Putra, Bc.IP, S.H., M.Si. – Plt. Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan

 

 

Leave a Reply