RDPU R KUHP pada 1 September 2015
Pada 1 September 2015, Komisi 3 DPR mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang sedianya akan dilakukan 10.00. Informasi ini sebelumnya tidak disampaikan di situs namun bukan terkait mendadak tetapi lebih karena salah satu ahli adalah anggota pansel KPK. Mengingat belum jelas kapan tepatnya Pansel KPK bertemu Presiden [dimana ahli yang dipanggil salah satunya Dr. Yenti, maka rapat diundur hingga 13.15 WIB.
Berikut ini adalah notulensi singkat atas RDPU di Komisi 3 siang ini
Ahli yang diundang:
Prof Andi Hamzah, Prof.Dr. Ronny Nitibaskara, dan Dr. Yenti Garnasih, SH, MH
Prof. Dr. Rony Nitibaskoro:
Telah terjadi salah kaprah pada istilah kriminalisasi. Masih ada penegak hukum di Indonesia yang menggunakan pasal-pasal di zaman Belanda, sehingga kemudian rentan disebut atau ditafsirkan sebagai kriminalisasi. Masalah lain, ada banyak sekali penyimpangan-penyimpangan seksual yang belum diatur di KUHP saat ini, seharusnya diatur. Penyimpangan seksual yang belum diatur contihnya orang yang menggesekkan alat kelaminnya pada lawan jenisnya. Sering terjadi di transportasi umum, tapi bagaimana seharusnya menindaknya jika di dalam KUHP tak dijelaskan. Penegak hukum harusnya bisa membedakan definisi antara Psikopat, Psikosa dan Neurosa. Psikopat merupakan tindakan yang dilakukan terhadap orang yang tidak bisa diduga-duga
Dr. Yenti Garnasih:
Saya sedih bahwa hingga saat ini, pasal yang mengatur atau menindak tindakan perkosaan dalam KUHP kita saat ini masih sangat minim. Pasal terkait perkosaan harusnya diperbanyak dan diperinci karena pengertian atau tindakan yang menjurus pada pelecehan seksual bisa amat banyak. Contohnya perkosaan terhadap anak dibawah umur hukuman kepada elakunya harus lebih berat. Melihat realita kondisi kemiskinan di masyarakat, kasus perkosaan terhadap anak-anak dikhawatirkan meningkat karena kondisi kemiskinan jadi pemicu seseorang melakukan pelecehan seksual. Kita butuh aturan-aturan yang lebih detil dalam memastikan pelaku pelecehan seksual benar-benar dihukum hingga jera.
Tapi saya paham nanti jika hukuman-hukuman menjadi lebih berat, akan makin banyak orang yang harus masuk penjara. Maka saya pikir jumlah lembaga pemasyarakatan di Indonesia masih kurang dan menyebabkan over-capacity pada lapas yang ada. Sama seperti yang saat ini diwacanakan tentang pasal penghinaan Presiden dimasukkan lagi di KUHP, maka terkait penghinaan di media sosial atau berkaitan dengan ITE sebaiknya dimasukkan KUHP saja, tak perlu lagi diatur terlalu jauh dalam UU terpisah (UU ITE, -red).
Berbagai pasal di KUHP saat ini sudah lawas, terlalu ketinggalan zaman jika dibandingkan realita saat ini. Contoh lawasnya KUHP, dimana korupsi dan mekanisme pencucian uang saat ini sudah sebegitu canggihnya, sehingga lebih baik kasus korupsi dan pencucian uang berdiri sendiri Undang-Undangnya. KPK dan PPATK saat ini sudah punya landasan hukum untuk bisa mengakses berbagai dokumen, dan sebaiknya tetap seperti itu. Jangan kemudian hukum acaranya dimasukkan dalam KUHP.
Prof. Andi Hamzah :
Dalam KUHP ada ketentuan-ketentuan yang tidak langsung sebagai norma hukum berlaku. Asas legalitas Indonesia masih mengikuti Belanda, jadi masih ikut perundang-undanganan pidana. Bukan Undang-Undang Pidana. Dalam mengadili seseorang, KUHP dan KUHAP sebaiknya simpan di laci saja, karena itu hukum progresif. Mengapa masih ada indikasi rekayasa perkara atau selama ini disebut oleh publik sebagai kriminalisasi, karena faktor lemahnya KUHP yang masih dipakai, sehingga harus dibentuk KUHP yang baru. Beberapa daerah masih andalkan atau menempatkan hukum adat sebagai sumber hukum. Contohnya di Sumatera Barat, sanksi adat bisa dikatakan cukup kuat, bahkan jauh lebih berat dibanding sanksi pidana dan itu diakui ditengah masyarakat. Untuk mensinkronisasi adanya hukum-hukum adat di daerah, saya berpendapat perlu dibuatkan Perda di tiap daerah yg merasa perlu ada aturan khusus sebagai pemenuhan legalitas setempat.
Pembunuhan berencana di dalam KUHP saat ini salah penerjemahan, artinya pembunuhan yang telah dipikirkan lebih dulu. Persoalan lain, hanya 2 negara di dunia, termasuk Indonesia yg ada istilah “makar” (contoh bentuk makarnya memasukkan pembunuhan Presiden) dalam KUHP-nya. Mengenai tindak pidana pemalsuan surat, kata “dapat menimbulkan kerugian” harus dijelaskan pihak mana yang dirugikan. KUHP ini berlaku bagi seluruh warga negara asing yang tinggal di Indonesia, tidak ada pengecualian.
Sesi pertanyaan:
Arsul Sani (PPP)
Terkait asas legalitas, kenapa ada pergeseran asas legalitas menjadi asas “plus-plus”? Jika suatu pelanggaran hukum diberikan pengaturan berupa pengurangan hukuman 2-5 tahun apakah ada relevansi atau dampaknya? Secara kriminologi, apakah pengurangan pemidanaan efektif atau sebaiknya tetap seperti saat ini?
Dossy Iskandar (Hanura)
Draft Rancangan KUHP harus menampilkan konteks-konteks tertentu seperti kebangsaan, nilai-nilai kemanusiaan
Risa Mariska (PDIP):
Apakah penyadapan perlu dimasukan dalam Rancangan KUHP karena akan berbenturan dgn UU KPK?
Erman Suryani Ranik (Demokrat):
Terkait fungsi penyadapan yang sampai saat ini masih dimiliki KPK, apakah para ahli bisa memberi gambaran praktek penyadapan yang tidak melanggar HAM?
Dwi Ria Latifa (PDIP):
Apakah Indonesia masih layak tetap berlakukan hukuman mati?
Ahmad Zacky (Golkar):
Dasar filsafat apa yang dipakai untuk bisa membangun kriminologi hukum pidana?
Benny Kabur Harman (Demokrat):
Apa sebetulnya filosofi dari pasal penghinaan terhadap Presiden yang akan dimasukkan di Rancangan KUHP menurut pandangan para ahli?
Jawaban:
Prof. Andi Hamzah:
Rancangan KUHP yang baru harus dibuat dengan visi jangka panjang dan bukan untuk sekarang saja. kepastian dan keadilan itu satu, tidak bisa saling dihadapkan. Falsafah dari Pasal Penghinaan Presiden adalah menjaga kewibawaan Presiden. Terkait penggunaan fungsi penyadapan ada pengecualian. Jika ada hal yang mendesak demi pemberantasan korupsi, tidak perlu izin. Maka saya sepakat bahwa berbagai hal terkait pemberantasan korupsi berada di UU terpisah, tak perlu masuk KUHP. Susah sekali nanti mengatur-atur upaya pemberantasan korupsi di dalam KUHP.
Kritik kepada Presiden dan penghinaan kepada Presiden itu berbeda. Kritik itu ke kebijakannya, tetapi jika penghinaan lebih ke pribadinya. Maka sebaiknya penghinaan Presiden diatur lagi sampai mana batasannya.