Rekodifikasi RKUHP Setengah Hati, Pembahasan Setengah Mati
Era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mengajukan draf RKUHP dengan jumlah 766 pasal kepada DPR. Seiring pergantian rezim pemerintahan, draf RKUHP mengalami penambahan menjadi 786 pasal. Meski mengalami penambahan jumlah pasal, namun tak terdapat peruban signifikan.
Tim ahli Komisi III DPR, Mei Susanto berpendapat rekodifikasi awalnya bersifat konsolidasi, namun tak diimbangi dengan adanya upaya proses harmonisasi. Belakangan, rekodifikasi tak saja membahas kompilasi, namun juga melakukan desain sebuah kitab.
“Inilah yang rumit disederhanakan dalam suatu kitab. Tujuan kodifikasi modern adalah membuat suatu kodifikasi yang berujung pada suatu unifikasi hukum,” ujarnya dalam sebuah diskusi pertengahan pekan lalu di Bandung, Jawa Barat.
Mei Susanto berpandangan rekodifikasi berproses setengah hati. Ia beralasan model RKUHP masih seperti KUHP warisan Belanda. Setidaknya, masih terdapat Buku I dan II. Sebaliknya, Buku III dihapuskan. Ia menilai Pasal 1 RKUHP mengulas asas legalitas. Padahal semestinya mengulas istilah atau definisi. “Intinya RKUHP masih konsep Belanda,” katanya.
Selain itu, tidak konsisten memuat peraturan di luar KUHP. Misalnya, korupsi. Setidaknya terdapat aturan pemidanaan di luar KUHP sebanyak 147 UU. Menurutnya, pemerintah tidak menjelaskan secara gamblang alasan memasukan pasal Tipikor dalam RKUHP. Tak hanya itu, kacaunya ketentuan peralihan. Misalnya Pasal 775 merepresentasikan ketentuan peralihan makin mengaburkan kodifikasi. “Implementasi KUHP yang baru mengacaukan sistem pemidanaan,” ujarnya.
Lantas, pembahasan setengah mati disebabkan secara kuantitas banyaknya jumlah pasal dan 2296 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) lebih yang mesti diperdebatkan DPR dengan pemerintah. Bahkan banyaknya isu krusial yang mesti disoroti satu persatu.
Selain itu, beban kerja DPR yang cukup berat. Ironisnya, rendahnya komitmen DPR.
Ia pun menyarankan perlunya dibuat road map penyelesaian RKUHP yang berkualitas. Selain itu adanya kesepakatan politik hukum rekodifikasi. “Kesepakatan mengenai model pembahasan dan ruang partisipasi publik,” ujarnya.
Di tempat yang sama, Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad) Nella Sumika Putri berpandangan semestinya secara bersama-sama menghindari membuat suatu aturan yang teramat sempurna. Hukum, kata Nella, membuat fenomena yang lebih pasti.
“Ide kodifikasi jangan sampai menjadi ide baru atau masalah baru yang tidak terselesaikan. Lebih baik menyederhanakan konsep kodifikasi dengan konsep konsolidasi, atau mengedepankan peranan hakim sebagai suatu sarana pembaharuan,” katanya.
Anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Anggara Suwahju menawarkan metode alternatif pembahasan RKUHP. Soalnya dengan banyaknya jumlah pasal mengharuskan ketelitian dan mengedepankan kualitas pembahasan. Pertama, pembahasan terhadap Buku I RKUHP dilakukan tidak terburu-buru. Kedua, penyisiran dan evaluasi seluruh ketentuan pidana di dalam mau pun di luar KUHP. Ketiga, pengelompokan dan pemberian titik fokus pembahasan RKUHP. Keempat, pembentukan panel ahli. Kelima, dibuatnya prioritas pembahasan RKUHP. “Dan keenam pelibatan publik yang luas dan intensif,” pungkas Ketua Badan Pengurus Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) itu.