Revisi Jadi Angin Segar, Hukuman Mati di Revisi KUHP Diberlakukan secara Ketat
Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang sedang dibahas di Parlemen menjadi semangat baru bagi pegiat hak asasi manusia dan pihak yang menentang hukuman mati. Hukuman ini lebih banyak menimbulkan dampak negatif.
Dampak yang ditimbulkan dari pelaksanaan hukuman mati ini. cenderung negatif, baik untuk terpidana, keluarga, maupun petugas lembaga pemasyarakatan.
Dalam seminar nasional “Pro dan Kontra Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia” di Auditorium Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) di Depok, Jawa Barat, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengatakan, harapan hilangnya hukuman mati di Indonesia muncul ketika moratorium hukuman mati diwacanakan pada 2008. Namun, pada 2015, hukuman mati kembali dilakukan dengan alasan perang terhadap narkoba.
“Kalau ditanya, saya termasuk yang tidak sependapat denganhukuman mati. Hukum harus membawa ke arah yang lebih baik, bukan menjadi lebih buruk. Apalagi perkembangan ilmu modern saat ini. pelaksanaan hukuman bukan untuk membalas. Kalau tetap memegang teori pembalasan, bisa berbahaya,” tutur Yasonna, Rabu (28/10).
Hukuman bisa diubah
Ia menambahkan, hukuman mati sudah tidak diterapkan di 103 negara.
Yasonna berharap revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) segera selesai. Di dalam Rancangan KUHP, pidana mati dijatuhkan dengan syarat yang ketat dan terikat masa percobaan.” Jadijika dalam masa percobaan terpidana mampu mem-perbaiki diri, hukumannya bisa menjadi hukuman seumur hidup,” kata Yasonna.
Ia menjelaskan, kebijakan hukuman mati itu juga harus dipahami oleh pegawai di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, khususnya petugas lembaga pemasyarakatan. “Ini berpengaruh pada LP, bagaimana kalian harus memperlakukan mereka, itu tidak mudah sehingga memang harus dipikirkan,” ungkap Yasonna.
Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI) Muhammad Mustofa juga berharap pembahasan Rancangan KUHP segera tuntas agar dapat menggantikan KUHP yang berlaku saat ini. Menurut dia, pencantuman hukuman mati dinilai sebagai tindakan sesat pikir para perumus undang-undang saat itu.
Mustofa menegaskan, eksekusi hukuman mati tidak terbukti menurunkan angka kriminalitas dan memberikan efek jeni kepada masyarakat Yang terjadi, hukuman mati justru memunculkan dampak brutalisasi.
“Sebab, setelah eksekusi hukuman mati dilakukan, secara rata-rata malah terjadi penambahan dua angka pembunuhan yang awalnya hanya satu,” ujar Mustofa.
Secara terpisah, Jaksa Agung HM Prasetyo berpendapat, selama hukuman mati masih menjadi hukum positif di negara ini, pelaksanaan eksekusi tetap berlanjut. Hanya, pada akhir tahun 2015, Kejaksaan Agung memilih untuk tidak lagi mengeksekusi terpidana mari karena fokus kerja kejaksaan saat ini lebih mendukung upaya pembangunan.
Sepanjang tahun 2015, Kejaksaan Agung telah mengeksekusi 14 terpidana kasus narkoba dalam dua tahap, yaitu pada Januari dan April 2015. Dari jumlah tersebut, dua di antaranya merupakan warga negara Indonesia, yakni Rani Andriani pada tahap pertama dan Zainal Abidin pada tahap kedua. Sisanya merupakan warga negara asing yang sudah menjalani hukuman penjara lebih dari 10 tahun.