RKUHP Dan Dilemanya Sektor Pariwisata

Kitab Undang-undang Hukum Pidana  yang sekarang diberlakukan adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda, yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indië. Lalu ada tahun 2013, Pemerintah mengajukan RUU KUHP ke DPR dan saat ini sudah dalam proses draft yang akan disahkan. Lalu bagaimana dampaknya ketika RKUHP ini disahkan?

Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) melihat 6 (enam) isu diskriminatif yang akan membawa dampak besar terhadap Kesehatan Seksual dan Reproduksi, termasuk sektor pariwisata. Maka dari itu PKBI melangsungkan diskusi ahli pada 27 Agustus 2020, di Bogor dengan mengundang 10  perwakilan pelaku usaha pariwisata perhotelan. Tujuannya yaitu untuk melihat masukan-masukan dan pandangan dampak RKUHP terhadap usaha mereka.

Anggara Suwahyu mewakili Institute Criminal Justice Reform (ICJR) menjadi pemateri dalam diskusi. Dia mengungkapkan bahwa masuknya unsur moralitas pada hukum pidana  di Indonesia akan juga mempengaruhi pelaku pariwisata.

“Bisnis di tengah pandemi covid saja sudah sulit, apalagi adanya unsur-unsur moralitas yang dimasukkan dalam hukum pidana yang dampaknya akan ke sektor perhotelan” ucap Anggara yang juga adalah pelaku bisnis

Pasal 417 dalam RKUHP yang berbunyi “Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinahan dengan pidana penjaa paling lama 1 (tahun) dan denda kategori II”. Dalam diskusi mayoritas peserta ahli menilai pasal ini multitafsir dan melanggar privasi warga negara serta akan berpotensi menimbulkan persekusi kepada perempuan ataupun kelompok-kelompok rentan. Pasal ini juga alan berdampak pada sektor pariwisata terutama perhotelan karena:

1) mempengaruhi reputasi, dengan maraknya penggerebekan oleh organisasi masyarakat maupun aparat penegak hukum, otomatis menurunkan popularitas dan nama baik hotel itu sendiri.

2) mengurangi ketertarikan Warga Negara Asing untuk berkunjung, Australia dan negara-negara lainnya pada september 2019 lalu, mengeluarkan Travel Warning untuk warga negaranya yang berkunjung di Indonesia. Adanya standar moral baku yang membuat enggan turis asing berkunjung.

3) persyaratan menginap yang dipersulit, hotel syariah yang menawarkan halal tourism menerapkan serangkaian persyaratan menginap, mulai dari kartu nikah, foto bersama keluarga, bahkan ada pula yang menghakimi ekspresi seseorang hanya dari tampilan luarnya. Walaupun dengan persyarakat yang diperketat, pada intinya pihak hotel juga  tidak bisa memastikan seratus persen ada/tidaknya perbuatan zina pada tamu-tamu hotel.

Ketiga simpulan tersebut, berbanding terbalik dengan berhasilnya pembangunan suatu daerah. Terutama daerah-daerah yang bergantung dari berkembangnya bisnis pariwisata. Hal ini berkaitan dengan perda-perda baru yang ditakuti semakin diskriminatif karena adanya RKUHP melalui pasal living law. Anggara Suwahyu mencontohkan Qanun Aceh dan pariwisata dan kemacetan ekonominya.

“Di Aceh yang bahkan sebelum RKUHP ada hukum islam sendiri yang disebut qanun, melarang perhotelan tidak syariah berkembang, meskipun sumber daya dan kekayaan alam wisatanya sangat bagus di Aceh”, lanjutnya.

Informasi yang diberikan kepada pelaku usaha pariwisata cukup mengagetkan. Beberapa di antaranya secara eksplisit menyatakan kekawatirannya.

“Ternyata ribet jadi pengusaha, kita mau berbuat baik buat pemerintah aja sulit, mau membangun ekonomi daerah malah semakin sulit,  dan kita juga tidak bisa kalau harus menjadi dampak dari adanya RKUHP ini” ucap salah satu pelaku usaha pariwisata. 

RKUHP dan SEKTOR SWASTA (1)

 

 

 

 

 

Leave a Reply