RKUHP sekarang: Tidak Cukup Sosialisasi, Periode Baru, Bahas dengan Pendekatan Baru
Menteri Hukum dan HAM RI dan Komisi 3 DPR RI periode 2019 – 2024, pada Senin, 18 November 2019 sempat dikabarkan akan menggelar Rapat Kerja Pertama, bisa dipastikan juga dalam Raker tersebut akan dibahas RKUHP yang merupakan naskah usulan pemerintah yang sempat menimbulkan berbagai perdebatan. Sejak ditunda pengesahannya pada 20 September 2019 lalu oleh Presiden untuk dibahas ulang dan dijaring ulang masukkan dari semua kalangan, timbul kabar bahwa anggota Komisi III dan Menteri Hukum dan HAM enggan membahas kembali RKUHP pada periode 2019-2014. Anggota Komisi III DPR justru berpendapat perubahan hanya dilakukan pada penjelasan, hanya untuk 14 pasal yang di-klaim pemerintah bermasalah dan hanya untuk diadakan sosialisasi.
Hal ini jelas bertentangan dengan UU No. 15 tahun 2019 tentang Perubahan UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Lewat pernyataan yang telah disampaikan oleh Presiden untuk menunda dan menjaring kembali masukkan, artinya tidak ada persetujuan dari Presiden terhadap rumusan RKUHP yang sekarang untuk disahkan. Pada masa penundaan ini pun, terdapat beberapa klaim pemerintah menyatakan terdapat perubahan subtansi RKUHP. Perubahan tersebut harus dibahas antara pemerintah dan DPR secara terbuka di DPR, jelas tidak bisa disahkan begitu saja. Pembahasan itu sesuai dengan Pasal 71A UU No. 15/2019 harus dengan mendorong RKUHP dimasukkan kembali ke dalam daftar Prolegnas, Komisi III kemudian kembali membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk membahas RKUHP. Hal itu harus dilakukan, karena setiap perubahan RKUHP harus dibahas bersama Pemerintah dan DPR untuk menjadi UU.
Pembahasan antara Panja dan Pemerintah DPR juga tidak boleh hanya 14 pasal yang disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM. Presiden berkali-kali menyatakan memiliki perhatian besar terhadap investasi dan pembangunan manusia, RKUHP banyak memuat masalah yang juga akan bedampak buruk pada investasi dan pembangunan manusia.
Tiga isu mendasar yang tak pernah menjadi perhatian menteri hingga akhir pembahasan RKUHP bahkan sampai dengan ditunda adalah:
Pertama, mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam RKUHP (Pasal 45-50 RKUHP), Pasal 48 dan 50 dalam RUU KUHP tentang tindak pidana korporasi memasukkan rumusan yang tidak jelas dan sulit untuk diimplementasikan dalam tataran penegakan hukum. Pasal-pasal tersebut bersifat karet, cenderung menyasar individu dan bukan untuk menjerat korporasi sebagai badan hukum yang merupakan entitas terpisah. Seharusnya dalam pasal-pasal tersebut diatur dalam kondisi apa korporasi dapat dijerat dengan dakwaan pidana, dan pada kondisi terbatas seperti apa individu/organ korporasi (baik struktural ataupun fungsional) dapat dimintakan pertanggungjawaban. Pasal-pasal karet tidak kondusif untuk dunia usaha karena menciptakan ketidakpastian hukum. Pengusaha/pengurus korporasi akan takut melakukan tindakan apapun karena apabila business judgment mereka salah maka rentan dipidana. Hal ini jelas akan berdampak buruk pada iklim investasi.
Kedua, rumusan tindak pidana lingkungan hidup dalam RKHUP (Pasal 346-347 RKUHP) masih bermasalah. Rumusan pasal ini kembali pada rumusan UU 23/1997. Padahal UU tersebut tidak efektif dalam penegakan hukum lingkungan hidup sehingga diganti dengan UU 32/2009. Rumusan pasal 346 RKUHP akan menyulitkan pembuktian karena adanya unsur melawan hukum dan akibat. Pelaku dapat berdalih jika mempunyai izin maka tidak akan mungkin melawan hukum dan menyebabkan pencemaran atau kerusakan, melainkan cukup dibuktikan apakah tindakan pelaku melebihi baku mutu pencemaran atau kriteria baku kerusakan.
Ketiga, yang tak pernah masuk 14 pasal bermasalah, adalah Pasal 2 jo Pasal 597 RKUHP tentang living law atau hukum yang hidup di masyarakat, klaim bahwa pasal ini dimaksudkan untuk mengakui masyarakat adat tidak tergambar oleh rumusan dalam RKUHP. Dalam Pasal 2 jo Pasal 597 Tidak jelas yang dimaksud antara hukum yang hidup di masyarakat dengan hukum adat. Penjelasan Pasal 2 menjelaskan living law akan diatur dalam Perda sehingga berpotensi akan memunculkan Perda diskriminatif, karet dan tidak jelas, termasuk juga peluang apapun dinyatakan sebagai “hukum yang hidup di masyarakat” termasuk ketidakpastian hukum bagi dunia usaha dan investasi. Penerapan Pasal 597 ayat (1) dan (2) pun dapat menimbulkan kesewenang-wenangan karena Aparat Penegak Hukum berpotensi mendefinisikan “hukum yang hidup di masyarakat” berdasarkan penafsirannya sendiri tanpa batasan yang jelas dengan menggunakan pasal ini. Jika pasal ini dimaksudkan mengakui masyarakat adat, maka masyarakat adat harus dihadirkan dalam pembahasan, dan penerapannya tidak dengan mengambil kewenangan pranata penyelesaian sengketa di masyarakat kepada aparat penegak hukum negara.
Tiga permasalahan ini saja luput dalam 14 pasal yang dinyatakan bermasalah oleh Menteri Hukum dan HAM, padahal ketiga masalah ini jelas akan berdampak pada sulitnya mencapai tujuan meningkatkan investasi dan pembangunan manusia.
di Periode baru ini, Pemerintah dan DPR harus memiliki semangat baru dalam pembahasan RKUHP. Tak henti Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengingatkan, bahwa permasalahan RKUHP kemarin disebabkan 2 masalah sentral:
Pertama, lahirnya pasal-pasal bermasalah tidak terlepas dari minimnya evaluasi komprehensif berbasis data yang harusnya dilakukan Pemerintah sebelum merumuskan RKUHP. Banyak pasal lahir tanpa evaluasi, tanpa melihat perkembangan hukum dan tidak relevan untuk negara merdeka yang demokratis.
Kedua, lahirnya pasal-pasal bermasalah di RKUHP berasal dari ketidakselarasan program pembangunan Pemerintah dari berbagai aspek yang diatur dalam RKUHP mulai dari ekonomi, investasi, bisnis, kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial.
Atas kedua masalah tersebut, tidak mungkin perbaikan RKUHP dilakukan tanpa melalui pembahasan yang komprehensif. Solusi “sosialisasi” saja jelas bukan jalan yang tepat ketika Presiden telah menyerukan penundaan pengesahan RKUHP.
Untuk menjamin perbaikan RKUHP, maka yang seharusnya dilakukan adalah:
- Presiden membentuk Komite Ahli Pembaruan Hukum Pidana yang melibatkan seluruh elemen masyarakat: akademisi dan ahli dari seluruh bidang ilmu yaitu ahli ekonomi, kesejahteraan sosial, psikologi, kriminologi, dan kesehatan masyarakat.
- Komite Ahli tersebut ditugaskan untuk membantu Pemerintah dan DPR menguatkan pembahasan RKUHP dengan data dan evaluasi terhadap implementasi penggunaan hukum pidana di Indonesia (evidence based policy).
- Pemerintah dan DPR membuka konsultasi lintas sektor yang lengkap dan didokumentasi dan hasilnya dianalisis serta berdiskusi dengan publik melibatkan kelompok masyarakat sipil untuk memastikan keselarasannya dengan program pembangunan dan kepentingan masyarakat.
- Pemerintah dan DPR menjamin keterbukaan informasi publik terhadap proses pembahasan RKUHP, termasuk memastikan tersedianya dokumen pembahasan RKUHP terkini, minutasi pembahasan, dan dokumen-dokumen terkait publik lainnya.