RUU HP, Pers, dan Demokrasi
Hukum merupakan kehendak kebajikan yang ada dalam struktur rohaniah masyarakat bangsa. Dalam konstelasi yang demikian, hukum sejatinya menjadi pemberi arah dan pendorong moral sosial bangsa. Sebagai hukum modern, Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RUU HP) dituntut untuk rasional, mengandung nilai kemanusiaan, dan universal. Ideologi atau pilihan nilai RUU HP harus terkait dengan tali sumbu nilai Pancasila, yaitu beresensi kemanusiaan yang adil dan beradab, berspirit kerakyatan yang memuat nilai kebenaran moral, kebenaran ilmiah, serta kepantasan.
Sebagai negara demokrasi kerakyatan, Indonesia berbeda dengan negeri Belanda atau Inggris yang memiliki raja atau ratu sebagai simbol negara yang melekat pada keturunannya. Sedangkan presiden Indonesia dipilih oleh rakyat secara langsung yang kekuasaannya merupakan artefak yang bisa dilepas setiap saat. Tidak memiliki nalar hukum kalau presiden Indonesia tidak boleh dikritik, dikatakan sebagai simbol negara dan disakralkan. Dalam supremasi hukum tidak boleh ada orang berada di atas hukum.
Ideologi hukum RUU HP yang mengambil klise postulat moral Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) buatan kolonial Belanda merupakan ironi demokrasi Indonesia karena negara demokrasi Indonesia yang egaliter, bukan negara
feodal seperti Belanda pada saat membuat KUHP. Penerapan hukum oleh pengadilan Indonesia adalah ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang berbeda dengan pengadilan negeri Belanda yang atas nama ratu Belanda. Kedudukan hukum presiden Indonesia bukan seperti raja atau ratu Belanda.
Ancaman kebebasan pers
Dalam negara demokrasi, kebebasan pers merupakan prasyarat tegaknya kedaulatan rakyat karena keberadaan pers sejatinya merupakan representasi dari eksistensi keberadaan dan peran sosial dari masyarakat bangsa. Negara demokrasi akan kehilangan predikat kedemokrasiannya tanpa adanya kebebasan pers. RUU HP sejatinya harus menunjukkan fungsi protektifnya bagi demokrasi dan kebebasan pers. Pasal tentang penghinaan presiden dan pejabat publik lain akan menjadi ancaman terselubung bagi kebebasan pers.
Kebebasan pers sejatinya untuk mencapai tujuan sesuai hakikat keberadaannya, antara lain menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia (vide, Pasal 6 UU Nomor 40 Tahun l999). Konsekuensi logisnya, pers harus bebas dari segala bentuk tekanan dan ancaman dari pihak luar pers. Misalnya, bebas dari tekanan berupa telepon, teguran, dan ancaman pidana atau kekangan aturan yang membelenggu lainnya. Ancaman pidana bagi penghinaan pejabat publik seperti yang tertera dalam RUU HP merupakan ancaman potensial bagi kebebasan pers dan demokrasi.
Kebebasan melekat dengan nilai etis, yaitu keadilan, karena manusia, masyarakat yang di dalamnya ada masyarakat pers dan negara, tidak akan dapat melakukan peran diri kelembagaannya tanpa ada kebebasan. Untuk itu, kebebasan pers dalam sejarahnya selalu diperjuangkan secara berkelanjutan (Freedom is not given, it is won by struggle) karena dalam dinamika kehidupan selalu muncul musuh-musuh kebebasan pers, baik yang tersembunyi maupun yang nyata dengan berbagai corak dan variasinya. Tantangan kendala kebebasan pers pada zaman Orde Lama, Orde Baru, dan era Reformasi berbeda penampakannya. Bukti sejarah menunjukkan bahwa perjuangan menegakkan nilai-nilai kemerdekaan pers merupakan upaya berkelanjutan yang tidak pernah final.
Nilai kemerdekaan pers sebagai cita ideal dituntut untuk diperjuangkan guna mencapai kehidupan bernegara yang baik. Peran pers dalam pengembangan masyarakat dan pembangunan negara mencakup beberapa nilai yang melekat pada entitas keberadaan pers, terutama kebenaran, kebebasan, dan keadilan yang secara normatif telah disebut dengan jelas dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Harus diingat, pers juga memiliki posisi sosial , special privileges, kalau menyangkut konfidensialitas.
Jaminan dan perlindungan hukum serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari mana pun terhadap kemerdekaan pers merupakan konsekuensi yuridis dari postulat moral yang melatarbelakangi berlakunya UU No 40/1999. Dalil moral tersebut lalu menjadi landasan dari adanya konstruksi hipotetis pasal-pasal yang ada dalam UU No 40/1999. Ideologi hukum dari UU No 40/1999 adalah kemerdekaan yang sejatinya merupakan kebutuhan asasi bagi kehidupan individu dan komunitas sosial dalam negara demokrasi.
Kebebasan pers dan demokrasi
Posisi peran dari pers menjadi kuat dalam kehidupan bernegara karena pers merupakan lembaga sosial dan eksistensinya merupakan manifestasi dari kedaulatan rakyat dalam negara demokrasi. Keluhuran tugas dan sifat altruistik pers terletak pada pengabdian dan perjuangan untuk kepentingan umum. Dengan tegas Pasal 6c UU Nomor 40 Tahun 1999 menyebutkan: mengembangkan pendapat umum, jadi bukan pendapat pribadi dari seorang wartawan. Lebih dari itu, pers juga mengemban nilai-nilai luhur, yaitu kebenaran dan keadilan, hak asasi manusia, demokrasi, dan supremasi hukum. Nilai kejuangan pers juga terletak pada pelaksanaan peran pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Dengan demikian, harus dihindari adanya kontroversi intertekstual antara RUU HP dan UU No 40/1999.
Mahkamah Agung sangat menghargai kedaulatan kebebasan pers dengan mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 13 Tahun 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli, yang menyebutkan: sehubungan dengan banyaknya perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan yang berhubungan dengan delik pers, maka untuk memperoleh gambaran obyektif tentang ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan undang-undang pers, maka hakim dapat meminta keterangan dari seorang ahli di bidang pers.
Oleh karena itu, dalam penanganan/pemeriksaan perkara-perkara yang terkait dengan delik pers hendaknya majelis mendengar/meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers karena merekalah yang lebih mengetahui seluk-beluk pers tersebut secara teori dan praktik. Pernah terjadi gugatan perdata terhadap pers dengan dalil gugatan dari penggugat adalah adanya perbuatan melawan hukum Pasal 1365 KUHPerdata dengan dalil bahwa pihak pers telah melakukan penghinaan sebagaimana ditentukan dalam eks Pasal 310 KUHP, akan terjadi kesesatan relevansi karena pihak pers tidak dapat dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum atas dalil telah melalukan pencemaran nama baik tanpa ada putusan pengadilan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dengan demikian, sejatinya pers tak dapat dikenai eks Pasal 310 KUHP atau aturan sejenisnya jika pers menyampaikan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar serta hal-hal yang disampaikan merupakan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran demi kepentingan umum. Konstelasi yuridis ini menunjukkan bahwa hal-hal menyangkut pers harus mempertimbangkan relevansi yuridis Pasal 6 UU Nomor 40 Tahun 1999.
Terhadap pers atau insan pers yang telah melaksanakan tugas jurnalistiknya secara profesional, maka sejatinya penegak hukum harus menerapkan fungsi protektif hukum sesuai eks Pasal 310 Ayat 3 KUHP atau aturan sejenisnya atas dasar karena pers profesional menyampaikan pendapat umum dan demi kepentingan umum. Dalam perkara kasasi No 490K/Pid/2008 atas nama terdakwa Afdhal Azmi Jambak dari koran Transparan Palembang, yang didakwa melakukan pencemaran nama baik terhadap seorang pejabat di pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding terdakwa dijatuhi pidana atas dasar melanggar eks Pasal 310 KUHP, tetapi di tingkat kasasi diputus bebas dari dakwaan (Vrijspraak) karena terdakwa dalam melakukan tugas jurnalistiknya telah memenuhi standar profesionalisme dan sesuai dengan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), sehingga menurut Mahkamah Agung pemberitaan yang dibuat Afdhal Azmi Jambak di koran Transparan tidak berkualifikasi melakukan pencemaran nama baik.
RUU HP tidak boleh mengabaikan konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh negara Indonesia. Misalnya, ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) yang telah diratifikasi dengan UU No 12/2005. Dalam kovenan pada Pasal 19 dengan tegas dinyatakan: 1) setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa mendapatkan campur tangan, 2) setiap orang berhak atas kebebasan mengemukakan pendapat; hak ini harus meliputi kebebasan untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi dan semua jenis pemikiran, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tulisan, atau cetakan dalam bentuk karya seni atau melalui sarana lain yang menjadi pilihannya sendiri.
Konstruk hipotetis ketentuan pasal dalam UU Pers mencerminkan spirit demokratis dan perlindungan hukum (Pasal 8 UU No 40/1999) harus merupakan konsekuensi dari pelaksanaan fungsi tugas untuk kepentingan umum. Sejatinya produk jurnalistik adalah kenyataan sosial yang merupakan kebutuhan asasi masyarakat banyak. Untuk itu, RUU HP harus menghindari pemuatan pasal yang berpotensi mengancam hak asasi, nilai demokrasi, dan kebebasan pers. Memberlakukan aturan hukum yang cacat yuridis akan menjadi dosa politik bagi pemerintah dan DPR.
Artidjo Alkostar, Dosen Fakultas Hukum UII, Yogyakarta; Hakim Agung; dan Ketua Kamar Pidana MA
Sumber: https://kompas.id/baca/opini/2018/02/22/ruu-hp-pers-dan-demokrasi/