Sulit Akses Draft RKUHP, Komnas Perempuan Curiga Isi Banyak Berubah
Jakarta, CNN Indonesia — Komnas Perempuan menyebut draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih sulit diakses oleh publik meskipun akan disahkan pada Juli mendatang.
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani mengatakan kesulitan tersebut akhirnya membuat koalisi hanya bisa merujuk pada draft RKUHP yang dikeluarkan pada tahun 2019 kemarin.
Alhasil, berbagai termasuk koalisi masyarakat sipil menjadi sulit untuk mengikuti perkembangan pembahasan RKHUP. Hal itu termasuk untuk memastikan RKUHP mengakomodir isu kekerasan seksual yang masih belum tercakup dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
“Bisa jadi ada perkembangan-perkembangan lanjutan. Bahkan ketika kami menyusun tim, kami juga ragu, jangan-jangan sudah berubah banget,” ujarnya dalam diskusi daring, Rabu (25/5).
Karenanya, Andy berharap kepada pemerintah dan DPR agar pihaknya bisa diberikan akses lebih untuk mendapatkan draft RKUHP terbaru. Sebab, ada banyak isu di luar persoalan perkosaan, pencabulan, pelecehan seksual fisik, dan ekspolitasi seksual yang juga perlu diperhatikan secara seksama.
Di sisi lain, ia juga mengaku khawatir dengan akses draft RKUHP yang terbatas akan membuat pembahasan bergerak mundur dan kembali memperdebatkan antara norma kesusilaan dengan kekerasan seksual.
“Bisa jadi kita akan kembali kepada diskusi yang sangat awal. Konsep consent atau Kesukarelaan yang menjadi sebuah perdebatan yang luar biasa,” pungkasnya.
Diketahui DPR menargetkan bakal mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada akhir Masa Persidangan V DPR Tahun Sidang 2021-2022 awal Juli 2022.
Wakil Ketua Komisi III DPR, Desmond Junaidi Mahesa mengatakan RKUHP saat ini tinggal disahkan menjadi UU lewat Paripurna setelah pada 2019 lalu selesai proses pembahasan dan pleno tingkat Panja.
“Komisi tiga akan menyelesaikan paling lambat akhir masa sidang ini. Sebenarnya proses sudah selesai di Panja udah, tinggal diparipurnakan,” kata Desmond kepada CNNIndonesia.com, Kamis (19/5).
Sebelumnya, Komnas Perempuan mendesak tindak pemaksaan aborsi diatur sebagai kekerasan seksual dan masuk RKUHP. Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani berpandangan hal tersebut perlu dilakukan pemerintah dan DPR jika memang RKUHP sedari awal dibuat untuk memberikan perlindungan yang lebih mumpuni kepada masyarakat.
“Ini perlu ditegaskan di dalam RKUHP jika memang RKUHP ini memiliki visi untuk perlindungan yang lebih mumpuni terkait kekerasan seksual,” ujarnya dalam diskusi daring, Rabu (25/5).
Baca berita selengkapnya di sini