Supaya hukum digdaya menjerat jual beli pengaruh

Kasus dugaan suap terkait lobi penambahan kuota seribu ton gula di Sumatera Barat menjegal mantan Ketua DPD, Irman Gusman. Irman tersohor sebagai salah satu pegiat anti korupsi di Indonesia diduga menerima sogokan Rp 100 juta dari CV Semesta Berjaya.

Uang disimpan dalam sebuah bungkusan itu diberikan langsung oleh pemilik CV SB, Xaveriandy Sutanto, dan istrinya, Memi, di kediaman Irman di Jalan Denpasar C3 Nomor 8, Setiabudi, Jakarta Selatan, Sabtu (17/9). Selepas ditangkap tangan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan ketiganya sebagai tersangka.

Lembaga nirlaba, Indonesia Corruption Watch (ICW), menilai perbuatan Irman sebagai memperdagangkan pengaruh (trading in influence). Irman diduga sengaja menggunakan jabatannya buat memuluskan CV Semesta Berjaya mendapatkan seribu ton gula dari Bulog.

“Karena dia (Irman Gusman) diduga mempengaruhi pengambil kebijakan yang tidak menjadi bagian dari tugas dan kewenangannya. Dan dia menerima keuntungan yang tidak semestinya (undue advantage) dari pihak yang dibantu,” kata peneliti senior ICW, Donal Fariz, ketika dihubungi merdeka.com di Jakarta, Kamis (7/10) pekan lalu.

Dorongan merevisi KUHP

Kasus dagang pengaruh bukan sekali ini saja terjadi di Indonesia. Pada 2013, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishaaq, divonis 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar gara-gara kasus sama.

Luthfi bersama rekannya, Ahmad Fathanah, terbukti menerima suap Rp 1,3 miliar dari Direktur Utama PT Indoguna Utama, Maria Elizabeth Liman, terkait kepengurusan penambahan kuota impor daging sapi. Luthfi ketika itu menjabat anggota Komisi I DPR RI.

Selepas kasus Luthfi mengguncang PKS, mantan Sekretaris Jenderal Partai Nasdem, Patrice Rio Capella, divonis satu tahun dan enam bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tahun 2015.

Rio dianggap terbukti menerima hadiah dari mantan Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho, dan istrinya, Evy Susanti, buat mengamankan kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial di Kejaksaan Agung.

Perkara di atas menjadi bukti betapa kekuasaan dan pengaruh amat rentan diselewengkan. Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Miko Susanto Ginting mengatakan, kasus menimpa Irman (termasuk Luthfi dan Rio) merupakan buktinya. Menurut Miko, KPK tentu berkaca pada perkara sebelumnya.

“(Jabatan) punya pengaruh. Karena perkembangan itulah terulang di kasus Irman,” ujar Miko.

Wakil Ketua Komisi III DPR, Beny K. Harman mengatakan, kasus Irman jelas dijerat dengan Undang-Undang Pemberantasan Tipikor dan tidak bisa dipidana hanya karena pengaruh jabatan. Sebab, perdagangan pengaruh tidak terdapat dalam delik pidana diatur dalam UU Tipikor ataupun KUHP. Soal dugaan dagang pengaruh Irman, kata Beny, hanya akan menjadi bukti tambahan yang memperberat hukuman.

“Saya rasa belum (dipidana karena dagang pengaruh) tapi hakim yang akan menilai nanti. Enggak usah pakai dagang pengaruh, ini orang (Irman Gusman) kan OTT,” kata politikus asal Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur ini.

Undang-Undang di Indonesia memang belum memasukkan perdagangan pengaruh sebagai salah satu delik pidana. Sebab, dalam UU Tipikor dan KUHP, seseorang baru bisa dipidana jika dilengkapi bukti (azas legal).

Menurut Beny, saat ini Komisi III sedang menggodok revisi KUHP 2015. Rencananya, kata Beny, delik dagang pengaruh akan menjadi salah satu bagian diatur dalam RUU KUHP itu.

“Ya nanti kita lihat. Dan itu yang kita mau rumuskan nanti,” ujar politikus Partai Demokrat itu.

Kendati demikian, Miko khawatir delik dagang pengaruh ini nantinya tidak berlaku efisien jika tidak ada keseriusan pemerintah dan DPR dalam merevisi KUHP. Dan inilah yang menjadi tantangan Indonesia dalam memberantas kasus korupsi di Indonesia.

“Mereka belum punya komitmen kuat untuk kasus korupsi. Apakah keduanya mau memasukkan ini dalam UU Tipikor?” tegas Miko.

Dalam draf RUU KUHP diterima KPK pada 15 September 2015, delik korupsi diatur dalam Bab XXXIII Pasal 687 sampai dengan Pasal 706, termasuk delik Tindak Pidana Korupsi yang berhubungan dengan kerugian atau perekonomian negara. Kecuali Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan dengan rasuah tidak dimasukkan, yaitu Pasal 21 sampai dengan Pasal 24 UU Pemberantasan Tipikor.

Apabila dicermati, maka delik-delik pidana korupsi itu hampir semua diambil dari UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 (UU TPK). Maka jika RUU KUHP disahkan menjadi KUHP, maka secara otomatis beleid lama tidak berlaku.

Hal selalu menjadi perdebatan apabila dikaitkan dengan eksistensi KPK. Sebab jika revisi KUHP lolos, maka secara otomatis KPK tidak mempunyai pijakan hukum. Kecuali, dalam RUU KUHP diatur KPK masih berwenang menangani perkara-perkara korupsi.

Sumber: https://www.merdeka.com/khas/supaya-hukum-digdaya-menjerat-jual-beli-pengaruh-jerat-jual-beli-pengaruh.html

Leave a Reply