Waspada, Kepastian dan Keadilan Hukum Bakal Luntur Jika Pasal 597 RKUHP Tentang Hukum Yang Hidup di Masyrakat Disahkan!
Oleh: Ayunda Nurul Afifatur Rizqiyah
Keberagaman budaya di Indonesia sangat berhubungan dengan aturan-aturan adat tertentu. Masyarakat kita saat ini menganut dua peraturan, yaitu peraturan hukum nasional dan peraturan adat dari tempat tinggalnya masing-masing. Pengakuan deklaratif atas hak-hak masyarakat hukum adat sebagaimana dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 kini mulai diusahakan agar dapat bersifat unifikatif oleh pembentuk undang-undang melalui RKUHP dalam Pasal 597.
Pasal 597 tentu berhubungan dengan Pasal 2 RKUHP, di mana keduanya secara implisit menyebutkan peraturan hukum adat. Keduanya berpotensi menimbulkan analogi yang jelas diharamkan dalam hukum pidana. Maksudnya adalah, dari perbuatan seseorang tersebut akan timbul perbedaan pendapat dan pembahasan yang berkepanjangan dari sudut pandang asal-usul adat suatu daerah. Persoalannya, adat biasanya berhubungan dengan mitologi ataupun hal-hal metafisik yang sulit untuk dibuktikan. Padahal, syarat kriminalisasi adalah bahwa perbuatan itu mudah dibuktikan dan tidak menyangkut dengan hal-hal yang bersifat irasional. Hal ini tentu akan mengganggu penilaian normatif oleh hakim sebelum menjatuhkan sanksi atau hukuman pidana. Oleh karena banyaknya kebudayaan di Indonesia, maka akan banyak pula tafsiran dari suatu perbuatan yang sama. Contohnya, pada wilayah adat A, membunuh hanya sebatas kasus kemanusiaan saja. Akan tetapi, pada wilayah hukum B, perbuatan membunuh termasuk ke dalam hukum adat yang berhubungan dengan mitologi atau hal-hal metafisik kepercayaan warga setempat, sehingga wajib diberi hukuman sesuai dengan anjuran para petuah. Akibatnya terdapat pada perbedaan berat-ringan hukuman perbuatan pidana pembunuhan (begitupun kasus lainnya). Pada wilayah A bisa saja pelaku hanya mendapat hukuman pidana secara umum, tetapi di wilayah lain, kasus serupa justru ditambahi hukuman pemenuhan kewajiban adat. Konsekuensi berikutnya adalah benturan antara Pasal 597 RKUHP dengan HAM. Di wilayah adat tertentu, masih ada masyarakat yang berpegang teguh pada prinsip “nyawa dibalas nyawa” dalam arti bahwa suatu perbuatan harus dibalas dengan perbuatan yang sama (seimbang.
Bagaimana jika tindak pidana yang dimaksud adalah pembunuhan, penculikan, atau perampasan kemerdekaan orang lain? Haruskah dibalas serupa? Yang ada, tujuan pemidanaan akan berubah menjadi represif. Perumusan Pasal 597 RKUHP juga semestinya selaras dengan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat (PPHMA) yang juga memuat aturan tindak pidana umum. Perumusan RUU ini lebih baik daripada Pasal 597 RKUHP yang fokus pada tindak pidana adat tertentu. Namun, karena pada Pasal 1 angka 9 RUU PPHMA menyebutkan bahwa perbuatan pidana adat diadili dalam ruang lingkup Peradilan Adat dan dibantu oleh Lembaga Adat, maka dapat diasumsikan untuk Pasal 597 RKUHP ini, mekanisme penjatuhan sanksinya sama. Sehingga, untuk satu kasus bisa saja ditangani oleh Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan Umum, Lembaga Adat dan Peradilan Adat. Padahal semakin banyak lembaga yang turut memproses tindak pidana, semakin besar pula peluang ketidakseragaman pendapat antarlembaga yang berujung pada ketidakpastian dan ketidakadilan hukum.