Catatan Pembahasan DIM R KUHP 22 Januari 2016
Betawi I Room Santika Hotel Jakarta
10:00 – 11.30 dan 13.20 -17.00
Rapat Panja RKUHP Komisi III
Hotel Santika – Jumat, 22 Januari 2016
Nama | Fraksi/Pemerintah | Konsiyering |
Benny K Harman | F-Demokrat | Waktu kemarin kita bahas asas nullum delictum, soal hukum yang hidup di masyarakat, waktu itu kita pending pembahasannya. Silahkan nanti pemerintah membuat formulasi, kita punya cara pembahasan undang-undang 1 dim dengan dim yang lain, 1 pasal dengan pasal yang lain, bab yang satu dengan bab yang lain, ini saling berhubunngan, oleh sebab itu kita memang harus cermat dari awal. Kalo hanya ikut dari belakang, gak nyambung lagi.
Jadi, pemerintah, kalau bisa dim nya bener-bener dim yang solid, dim substansinya dan dim pembahasannya. Kemudian, TIMSIN. Ini penting, Sinkronisasi untuk melihat pasal yang satu dengan pasal yang lain itu saja dulu, baru nanti tim sin dengan UU yang lain. Nah ini yang nanti kita bahas di bab 2. Kalau bisa pasal-pasal yang selama ini berserakan nanti di undang-undang, nanti kita sepakati atau tidak untuk kita masukkan, itu nanti. Tapi kita cukup dulu timsin untuk di dalam uu ini dulu, di KUHP ini dulu supaya pasal yang satu tidak bertabrakan dengan pasal yang lain. Apalagi untuk pasal yang kemudian bertabrakan dengan pasal yang sudah kita sepakati, jadi ini untuk menjadi pemahaman kita bersama. Saya memohon pemerintah, kalau memang sudah siap, dengan formulasi-formulasinya, yang sudah kita minta, kita persilahkan untuk disampaikan. Tapi kalau belum siap, kita lanjutkan dulu. Tetapi sekali lagi dimohon pemerintah mulai sekarang ini, mulai tadi malam ini disusun ulang sebagai pembandingnya kita punya dewan komisi III, selalu lengkap. Jadi pagi ini kita bahas, siang nanti sudah keluar ini dibagikan. Maksudnya dibagi supaya dibaca kalau ada yang tidak sesuai langsung di kasih tau, sebab mungkin saja kita salah tangkap atau apa. Kita setuju ya pak begitu mekanismenya ya, atau ada yang usul? Kita lanjutkan dengan DIM yang ada ini, melanjutkan yang semalam. Mengenai pemidanaan, dan itu satu paket pak, pemidanaan itu, yang ragu dalam Rancangan KUHP ini tentang pidana anak aja, itu nanti. Tentu saja kita ambil dari UU peradilan pidana anak. Jadi kita sepakat begitu ya mekanismenya. Jadi yang akan kita bahas ini tentang pemidanaan. Sedangkan yang sebelum-sebelumnya yang waktu itu kita pending, kita minta pemerintah susun ulang, pemerintah tetap jalankan, nanti mungkin besok atau minggu depan kita minta pemerintah untuk mempersentasikan.
Dalam bayangan saya itu, pak dirjen, jadi buku I ini, kalau kita sudah selesai nanti, itu nanti dengan catatan pemerintah sudah siap, nanti kita ulangi lagi, pemerintah nyisir lagi itu. Sehingga kita lihat bagaimana. Begitu ya mekanismenya. Pak Dosi, setuju? (jawab : setuju) Pak Dirjen, setuju? (Jawab : setuju) (Ketok Palu)
Kita lanjutkan dengan DIM Pemidanaan. Kembali memulai dengan DIM Pidana. Pasal 60, kalau headingnya ini tidak ada masalah. Kemudian DIM 218 Pasal 66. Disini kan langsung disebutkan dalam ayat (1) ini tidak ada “pokok”dan “tambahan”. Padahal dalam diskusi kita kemarin itu, kita masih mempersoalkan apakah perlu pidana pokok dan pidana tambahan ini. Kalau misalnya kita tidak perlu pidana pokok ini, berarti kata “pokok”ini kita hapus. Apakah perlu pidana pokok dan pidana tambahan ini? Kalau misalnya kita tak perlu pidana pokok, maka tambahan dan pokoknya itu dihapus Dan “tambahan”nya pun itu kita kemarin, kita harus putuskan itu sekarang.
Pak Dosi, silahkan. Pemerintah dulu, silahkan. Pasal 66. |
Kemenkumham | Pemerintah | Untuk Pasal 66 itu dirumuskan di ayat (1), Pidana pokok terdiri atas :
a. Pidana penjara b. Pidana tutupan, c. pidana pengawasan d. pidana denda e. pidana kerja sosial kemudian ayat (2) “urutan pidana sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) menentukan berat ringannya pidana kecuali, pidana bagi anak.” Kemudian juga dikaitkan dengan Pasal 67 itu terkait dengan pidana pokok yang bersifat khusus, yaitu pidana mati. Itu kira-kira pembahasan kemarin. Prof. Barda kami persilahkan untuk memberikan tanggapan. Karena kemarin dipersoalkan Pidana mati itu kenapa harus dikeluarkan dari Pasal 66. |
Barda | Pemerintah | Terimakasih.
Kalau diminta untuk menjelaskan mengapa posisi dari pidana mati itu tidak dimasukkan kedalam pidana pokok, sekali lagi, karena materi penyusunan ini cukup lama, saya pun tidak bisa mengikuti terus menerus perubahannya, tapi yang seingat saya saja, saya bisa menyampaikan sebagai berikut :
Ini hanya model formulasi yang didasarkan pada pandangan, seperti kita ketahui bersama masalah posisi pidana mati sebagai salahsatu jenis pidana itu sudah cukup lama, ada pro kontra yang sudah cukup lama, kemudian di indonesia sendiri pada tahun-tahun sebelum konsep ini disusun ini pernah ada penelitian kerjasama undip dan kejaksaan agung untuk meneliti posisi pidana mati yang kesimpulannya terdiri dari 2 pihak, pihak pro kontra, namun kebanyakan kalo diliat dari persentase tetap menghendaki pidana mati. Jadi eksistensi pidana mati berdasarkan penelitian itu masih ada, tapi karena ada pro kontra dan dikaitkan negara kita berdasarkan pancasila dan asas kemanusiaan, maka ada pandangan bahwa posisi pidana mati itu sebagai pidana pokok, jangan ditonjolkan.
Untuk pidana penjara saja kita sudah mengambil sikap mengubah kepenjaraan menjadi kemasyarakatan dengan keluarnya UU 12/95, disitu jelas sekali ada filosofi yang berubah dari pandangan klasik yang tadinya berorientasi pada perbuatan, pembalasan, penjara itu penjeraan untuk agar orang itu kapok, berubah jadi pemasyarakatan yang latar belakang orientasinya jadi pada orang, itulah yang dikenal pada pandangan modern, jadi orientasi pada orang ini dari pemikiran keilmuan ada yang disebut dengan istilah Individualisasi Pidana. Karena bertolak dari individualisasi pidana itulah maka cara pandang terhadap pidana yang sering diidentikan dengan obat, makanya muncul istilah remidy, ultimum remedium, obat terakhir/senjata terakhir, maka hendaknya pidana itu digunakan sebagai dokter yang mengobati penyakit pasien, dokter selalu berpendirian bahwa jalan terakhir seorang misalnya dioperasi.
Jadi sekiranya orang itu bisa diobati dengan jalan biasa, sebaiknya jangan mengambil langkah operasi. Jadi, operasi ini diidentikan dengan pidana mati, jadi kalau bisa diselesaikan dengan cara lain, maka cara lain aja. Tapi kalau jalan satu2nya hanya dengan operasi, maka itu harus dilakukan.
Begitu juga dengan pidana mati, jadi kalau pidana mati ini dikaitkan dengan tujuan, karena pidana itu adalah alat untuk mencapai tujuan, yang dulu di KUHP kita, tujuan itu tidak pernah diluruskan. Sementara di dalam RKUHP tujuan itu diluruskan, antara lain, intinya adalah untuk memperbaiki orang. Apakah pidana mati itu merupakan sarana pokok untuk mencapai sarana itu? Setelah dianalisis, Ternyata tidak. Karena tidak bisa pula memperbaiki. Oleh karena itulah dilihat dari adanya pandangan yang masih pro kontra, inilah salahsatu jalan untuk memposisikan pidana mati dalam konsep yang tidak sama dengan pidana mati dalam posisi WvS, lalu ini dikatakan pidana pokok yang bersifat khusus. Yang ini pun sebetulnya berbeda dengan kondisi sekarang.
Kondisi perundang-undangan selama ini walaupun pidana mati itu adalah pidana pokok, tetapi dalam realitanya jarang sekali yang menggunakan pidana mati sebagai ancaman hukuman. Hanya delik-delik tertentu yang sifatnya eksepsional yang disediakan untuk diancam dengan pidana mati. Jadi Walaupun tidak ada klausul dalam hukum pidana positif bahwa pidana mati itu bersifat eksepsional, realitanya bersifat eksepsional. Jadi ini hanya masalah formulasi saja. Jadi sekali lagi, perubahan cara memformulasikan bahwa pidana mati tetap diakui tetapi dinyatakan bersifat eksepsional itu hanya untuk jalan keluar untuk mengatasi permasalahan keresahan filosofis di masyarakat. Di filosofi negara kita juga ada asas kemanusiaan, Oleh karena itu lah kita mengambil contoh formulasi di kajian-kajian komparasi, kajian berbagai negara pun cara merumuskan pidana mati ini bermacam-macam. Dan antara lain, ada negara yang merumuskannya seperti ini, yaitu mendudukkan pidana mati sebagai hal yang eksepsional. Saya kira dari saya hanya itu.
|
Benny | F-Demokrat | Oke. Jadi ini kan substansi Pak. Ini sudah bagus, ini untuk kita, silahkan kalau masih ada yang butuh digali, kita gali. Untuk kemudian kita putuskan.
Yang kedua nanti sistematika, substansinya oke, masuk sistematikanya. Kemarin itu dalam bayangan kita diskusi panjang di Komisi III, Substansi ini sudah, lalu kita minta pemerintah ini susun sistematikanya. Tapi, udah. Kita gausah ingat lagi itu. Silahkan teman2 DPR soal substansi, kalau sistematika nanti kita bahasnya.
|
TB sumanjaya | F-PKS | Ada pertanyaan.
Karena memang usaha pemidanaan ini semata-mata bukan untuk balas dendam, apakah mungkin susunannya diubah. Jadi tidak yang berat dulu, tapi jadi dari yang ringan ke yang berat. Misalnya dimulai dari denda, baru kemudian penjara itu dibawahnya, lalu terakhir hukuman mati. Khusus untuk hukuman mati ini, kami mohon ijin karena kami berdua ngobrol ini belum konsultasi ke DPP, kita bahwa dari F-PKS apakah masih diperlukan, atau masih ada pandangan lain. Kami khusus minta di pending dulu. |
Nasir Jamil | F-PKS | Kami berfikir hal seperti ini pidana mati ini dimasukkan ke pidana pokok apakah tidak, kami meminta waktu agar kami dapat berkonsultasi seperti yang dikatakan pak sumanjaya tadi |
Dosi Iskandar | F-Hanura | Tadi saya menangkap jelas apa yang disampaikan Prof.Barda, bahwa ada perubahan orientasi, sebagai kesadaran kekinian dari pidana mati sebagai pidana pokok yang orientasinya pada pembalasan dan penjeraan, kemudian berkembang menjadi cara modern menjadi pembinaan dan kemudian konsepnya menjadi menjadi pemasyarakatan, disitu jelas menggambarkan bahwa ada tujuan, sedangkan pidana mati itu tidak ada tujuan, itu kalau saya mau menggampangkan kesitu. Nah yang ini saya tanyakan pada prof. Barda, sebelumnya saya berpendapat pidana mati itu harus tetap dicantumkan, namun penempatan substansinya dimana, yang harus kita bahas bersaama,
Prof barda, Pidana mati ini dalam konsep pidana pokok yang ditawarkan ini, pidana mati ini adalah bagian dari pidana pokok, atau pidana pokok yang dikembangkan? Nanti posisinya dalam konstalasi perumusan pidana ini, ini yang mau saya tanyakan terlebih dahulu lebih lanjut. Demikian.
|
Benny | F-Demokrat | Soal kita setuju ataukah tidak, kita fraksi masing-masing yang memutuskan. namun pertanyaan yang mendasar, locusnya pidana mati ini sebenarnya dimana?
Karena kalau kita melihat ayat 1 pasal 66 lalu pasal 68 tiba-tiba ditengahnya itu ada pidana mati, padahal kita membaca ini ada 2 jenis pidana umumnya, pidana pokok dan pidana tambahan. pertanyaaannya, pidana mati ini masuk dalam kelas yang mana? Pidana pokok atau pidana tambahan?
Kedua, pidana mati ini masuk exceptional clause yang disampaikan oleh Prof tadi, kalau memang itu maksudnya mungkin lebih tepat dia tetap masuk dalam pidana pokok, tapi dibawahnya nanti ada ayat berikutnya yang menjelaskan pidana mati ini penerapannya hanya terbatas untuk pidana tertentu, kalau ini sudah sepakat, kita masukkan ke teknis perumusan normanya. Kita setuju dengan F-PKS, kami juga setuju. Kita jangan putuskan dulu, pidana mati ini. Apakah masuk atau tidak di RKUHP.
Tapi kita putuskan dulu kalau nanti disetujui, locusnya dimana, kalau gak setuju kan tinggal delete.
Kita setuju begitu pak ya? Oke (ketuk palu)
Kalau sudah setuju, kita masuk ke perumusan normanya. Ini kan jenis pidana, saya usulkan setelah pasal 66 itu ada frasa jenis-jenis pidana adalah pidana pokok dan pidana tambahan. Atau jenis-jenis pidana adalah 1. Pidana pokok, terdiri atas : supaya nyambung gitu pak. Teknis merumuskan normanya.
Pasal 66 jenis2 pidana adalah..
Tapi Kenapa gak diatas? Kenapa disitu ya? |
Dosi Iskandar | F-Hanura | Mungkin kenapa tempatnya disitu, saya pikir ini bener jenis, tapi tempatnya Harusnya sebelum pasal 66 ini. Saran saya jadi Pasal 66 min atau 65 A |
Benny | F-Demokrat | Jadi..
Pasal 65 A Pidana terdiri atas: a. Pidana Pokok b. Pidana Tambahan
Pidana pokok adalah…
Pidana tambahan adalah..
Ini lazim ini.. Jadi tidak ada pidana lain diluar itu. Setuju ya? Kita kan gapake “hukuman”ya, gitu kan ya prof? Kita pake “pidana”kan ya?
Pidana terdiri atas : a. Pidana Pokok b. Pidana Tambahan
Begitu, setuju ya? |
Dosi | F-Hanura | Ada tambahan.
Jadi, sudah masuk pada kategori jenis tadi, Supaya kita konsisten dan koesif tentang apa yang kita sepakati soal posisi pidana mati itu barangkali disana supaya tata urutannya menjadi tepat itu disana ditambahkan juga, menjadi :
Pidana terdiri atas : a. Pidana Pokok b. Pidana Tambahan c. Pidana yang bersifat khusus
Kalau saya baca konsepnya ini Pidana mati ini dianggap khusus, walaupun khusus ini saya belum paham. Khusus ini bagaimana maksudnya, apa nggak ada kata lain selain kata “khusus” untuk batasan perumusannya. Makanya saya tadi tanyakan prof barda, belum dijawab. Pidana mati ini tidak mengandung tujuan pemidanaan. Tadi belum terjawab pertanyaan saya ini pidana mati ini bagian dari pidana pokok, atau pidana pokok yang dikembangkan? sehingga bersifat khusus? Ini maksudnya alur berpikirnya supaya menurut saya ini supaya agak benar begitu. Sehingga nanti ada tawaran alternatif, itu posisinya jelas dalam jenis pidana yang akan dijatuhkan. Kan pidana pookok itu tadi ada 5, nah pidana mati ini masuk kategori yang mana? Kan diluar pidana pokok. Kalau masuk pidana pokok yang dikembangkan, konsekuensinya harus diberikan tempat dalam struktur jenis. Terimakasih.
|
Benny | F-Demokrat | Kita harus bikin struktur normanya,
Ada pidana pokok, ada pidana tambahan, ada pidana yang poin c, Untuk mengakomodir pidana mati ini. Lalu yang poin C itu saya usulkan pidana khusus seperti yang ditentukan dalam UU ini, jadi kita batasi. Jadi, C itu pidana khusus yang ditentukan dalam UU ini. Jadi nanti yang ditentukan dalam UU ini adalah pidana mati ini. Supaya nanti jangan sampai ada khusus lain di rezim yang akan datang, dia bikin lagi. Jadi nanti tidak adalagi khussu selain pidana mati ini. Biar struktur normanya beraturan. Kalo ga sepakat tindak pidana khusus, ya kita tinggal hapus.
Yang sekarang ini masuk Pasal 67 ini jadinya nanti elaborasi dari huruf c ini. Jadi pidana khusus yang ditentukan dalam UU ini adalah pidana mati. Sebagai pidana pokok yang bersifat khusus, jadi yang diusulkan pak dosi, hanya struktur perumusan normanya. Tidak mengubah substansi. |
Barda | Pemerintah | Jadi saya yang sudah cukup lama melakukan kajian pidana ini memang sulit, dan cukup bervariasi, jadi sebetulnya ukuran untuk menyatakan sesuatu itu pidana pokok atau pidana tambahan. Pidana pokok itu apa, itu sulit sekali. Akhirnya kita sepakat aja lah mengikuti model yang sudah ada. Jadi misalnya begini, untuk dinyatakan pokok atau tidak, itu apa.
Kalau dulu, secara penelusuran filosofi aliran klasik, pokok itu dirujukan pada sasaran yang mau dipidana itu, orang/pelaku. Kepentingan pokok dari seseorang itu adalah nyawa. Sasarannya nyawa, oleh karena itu pidana mati adalah pidana pokok. Kepentingan yang kedua adalah kemerdekaan. Sasaran kedua adalah penjara, yang ketiga adalah kurungan. Dan kepentingan hukum yang selanjutnya dilindungi adalah harta maka denda masuk pidana pokok. Dan ini berkembang di masyarakat. Kalau masyarakat sekarang memandang bahwa jabatan itu adalah pokok, kepentingan yang bakal jadi perebutan, dia rela mati-matian mempertahankan atau kalau perlu ia main uang untuk merebut kekuasaannya itu, maka jabatan itu merupakan kepentingan pokok. Jadi, yang tadinya ia ada di pidana tambahan, sebagai pencabutan hak, itu sekarang bisa naik. Jadi ukuran pokok itu bisa berubah. Dilihat dari kepentingannya. Jadi pidana pokok itu dilihat dari sasaran. Yang kedua, kita bisa melihat pokok itu dari tujuan. Kalau tujuannya begini.. apa sarana ini pokok apa tidak? Jadi kalau sasarannya lebih ditujukan pada memperbaiki orang, dia tidak pokok. Jadi pidana mati, bukan pokok! Sama seperti, jadi kaya dokter itu untuk mengoperasi itu kan tidak utama, Kemudian istilah khusus itu apa, kita ketahui selama ini “khusus”itu kan artinya “tertentu”. Jadi kalau pidana mati itu digunakan untuk delik delik tertentu saja, itu kita bisa mengatakan khusus. Jadi seperti dalam buku II, buku III itu kan sering dikatakan khusus. Seperti bahkan diluar KUHP pun disebut delik khusus, bahwa tertentu itu bisa dilihat sebagai bentuk perkecualian tidak menjadi sebagai delik umum bisa saja disebut sebagai eksepsional. Seperti yang pernah saya jumpai dalam rumusan KUHP asing. Ini juga tentang urut2an, ini juga sangat mengganggu. Sewaktu kita akan meng urut kan beberapa ringannya pidana itu. Kalau filosofinya itu filosofi pembalasan, filosofi retributif, ini memang seolah2 berat dulu lah yang diancamkan, baru ke ringan. Tapi kalau orientasinya filosofi kemanusiaan, orientasinya orientasi pada orang, harusnya berbalik. Sehingga model formulasi dari berbagai negara pun ada bermacam-macam. Ada yang dimulai dari ringan dulu ke berat, ada juga yang sebaliknya.
Nah di kita model berat, terjadilah semacam bertukar pikiran, menganut 2. Artinya begini, bahwa sifat hukum pidana sebagai hukum yang dipandang berat itu memang harus bersifat keras. Jadi sering diistilahkan hukum pidana itu adalah hukum keras, hukum Pidana yang memberi rasa takut itu harus ada. Makanya yang berat yang didahulukan makanya biar orang takut. Tetapi didalam filosofinya, didalam hukum pidana nya, asas-asasnya itu harus dengan asas kemanusiaan. Oleh karena itulah dimunculkan pidana mati sebagai pidana pokok misalnya. Itu bersifat kekhususan karena ada filosofi kemanusiaan. Kalau asas kemanusiaan itu, jadi istilahnya hukum pidana adalah memang hukum yang keras, kejam, tapi dalam penggunaannya harus berdasarkan kemanusiaan. Jadi oleh karena itulah tetap dipertahankan, seperti filosofi keseimbangan, di dalam memberikan ancaman pidana, jadi ukuran pidana itu diukur dari ukuran objektif dan ukuran subjektif. Ukuran objektifnya adalah perbuatan. Kalau perbuatannya membunuh, itu berarti ia melakukan perbuatan yang secara objektif adalah delik berat. Oleh karena itu lah maka ancaman pidana yang dimunculkan 15 tahun. Tetapi Kalau dilihat dari unsur subjektif, maka rumusan ini seharusnya unsur subjektif ini diperhatikan dengan cara merumuskannya dengan ilmu formulasi hukum pidana, dengan sistem yang tidak dipastikan. Jadi sistem perumusan pidana itu ada yang definite, dan ada yang indefinite. Sistem yang definite itu sistem yang pasti, apabila mencuri misal 5 tahun. Apabila membunuh = 15 tahun. Itu model pasti.
Tapi ada modelnya yang Seperti kita sekarang ini model kita ini boleh milih antara 1 hari sampai maksimal 15 tahun, ini namanya sistem indefinite. Disitulah hakim bisa bergeser dengan melihat faktor2 subjektif yang ada pada pelaku. Orang itu melakukan pembunuhan, ukuran objektifnya 15 tahun, tapi karena hakim diberi peluang untuk milih dari 1 hari sampai 15 tahun, itu ada asas. Apabila begini..begini..begini.. dahulukanlah yang lebih ringan, misalnya gitu. Ada asasnya. Yang di kita, asas-asas seperti itu tidak dirumuskan. untuk menjatuhkan pidana harus orang yang bersalah, itu asasnya. Dalam KUHP tidak ada, dalam konsep dimunculkan. Orang yang dipidana maksimalnya 15 tahun, adalah logikanya secara asas adalah orang yang paling bersalah. Kalau dia kesalahannya absolut / melakukan suatu perbuatan yang dipandang sangat berbahaya, maka dia dapat maksimal lah yang paling tinggi.
Jadi ini memang dilihat dari sudut memformulasikan memang tidak mudah. Apakah itu tidak bertentangan dengan HAM, seperti dalam UUD 45 dikatakan bahwa hak hidup adalah hak asasi. Cara berpikirnya orang pidana itu bisa berbeda pendapat. Di dalam kelompok misalnya saya, saya cara berpikirnya Jangan menghadapkan secara diameteral antara asas yang ada di dalam UUD dengan hukum pidana. Jadi kalau mati, hak hidup, adalah hak asasi manusia. Kemudian arti dia tidak boleh dijatuhi pidana mati, apa betul cara konklusi atau berkonstruksi pikir seperti itu sudah betul atau tidak. Sebab kalau itu dikatakan betul, sesuatu yang bertentangan dengan hak asasi itu lalau tidak boleh ada pidana, ini kita bisa membantahnya begini.
Apakah kemerdekaan itu bukan hak asasi manusia? Kan hak asasi manusia, tidak hanya nyawa. Kemerdekaan pun hak asasi manusia, harta pun hak asasi manusia, jadi kalau kemerdekaannya dirampas, dengan pidana penjara, apakah pidana penjara itu tidak bertentangan dengan ham? Lalu tidak boleh dalam KUHP karena bertentangan dengan ham?
Kalau orang hartanya dirampas, kena denda, kena pidana gantirugi, apakah ini tidak boleh? Hukum yang menentukan, negara yang buat hukum, negara yang membolehkan.
Jadi Walaupun hakekatnya dia bertentangan dengan ham, tapi negara yang menentukan, ya boleh. maka tidak melanggar HAM. Sama dengan PBB yang mengatakan torture, torture itu penganiayaan, lalu didefinisikan penganiayaan itu bagaimana? Lalu dia bilang semua jenis pidana itu adalah penganiayaan, penderitaan. Sering kan kita mendengar, pidana itu adalah derita. Sehingga dulu kan, “derita, nestapa, siksa” itu istilah-istilah lain dari straf. Sehingga dulu KUHP kita namanya KUHS (kitab undang-undang hukum siksa), karena Straf diartikan siksa. Adajuga mengartikan KUHD (Kitab UU hukum derita) karena straf = derita.
Jadi Pada hakekatnya pidana itu apapun bentuknya itu menyiksa, lalu, dokumen PPB itu bilang, betul torture tidak boleh, tapi kalau torturenya itu oleh hukum, oleh negara, itu bukan torture. Nah ini juga sama halnya dengan pidana mati, betul pidana mati itu bertentangan dengan HAM, tetapi kalau negara yang menentukan itu, tidak. Itu pendapat yang mungkin tidak semua orang berpendapat sama dengan saya. Tapi saya dalam buku saya, apa betul pidana mati itu bertentangan? Menurut saya tidak. karena jika logika itu semua dipakai, maka semua pidana itu pada hakikatnya bertentangan dengan HAM. Apalagi hukum positif kita selama ini masih mengakui Ada 51 tindak pidana di indonesia yang mengatur pidana mati, bahkan dalam UU HAM ada yang mengatur pidana mati.
Jadi sekali lagi, ini konstruksi berpikir yang sifatnya filosofis tapi filosofisnya itu konstitusional, jangan dihadapkan begitu saja secara diam-diam, bertolak belakang, dibentur-benturkan, kalau dibentur benturkan itu salah. Sama seperti pasal 1 ayat (1) melarang retroaktif. Asasnya asas non retroaktif. Kalau dihadapkan dengan ayat (2) yang berlaku surut, itu kalau dihadapkan ya bisa berbenturan.
Beginilah sistem hukum, sistem hukum itu keseimbangan, karena hukum harus mengatur semua hal yang mungkin terjadi. Kemungkinan ada retroaktif itu bisa saja. kemungkinan satu perbuatan yang dulunya belum diatur sekarang harus diatur. Itu bisa terjadi. Untuk itulah pasal retroaktif dimungkinkan. Sehingga menurut saya apalagi kalau dikomparasi, Hampir semua negara rumusan seperti pasal 1 ayat 2 di berbagai negara itu ada.
Sehingga Apakah betul MK indonesia mengatakan itu bertentangan dengan HAM, bertentangan dengan asas legalitas? Tidak boleh katanya.
Sehingga, Itu kan ada putusan MK sewaktu mengadili diberlakukan surutnya UU terorisme di kasus bom bali, itu dikatakan tidak konstitusional, kalau sampai MK mengatakan itu tidak konstitusional, lalu apakah RKUHP itu tidak boleh bikin? Padahal jelas itu bisa terjadi. Jadi, jangan ukurannya itu sesuatu yang sudah diputus oleh MK, berarti… ya itu sedikit penjelasan dari saya, kembali pada pertanyaan pak Dosi tentang status kalau kembali ke konsep rumusan yang awal yang menyatakan bahwa pidana mati adalah pidana pokok yang bersifat khusus, ya jelas dia pidana pokok gitu pak.
Tapi karena kita mau menjembatani antara pro dan kontra, secara filosofis, itu kita tempatkan posisi itu bergeser ke istilahnya pidana pokok bersifat khusus. Ya pidana pokok, secara taktik rumusan, itu satu-satunya jalan untuk menyelamatkan prof barda, ya harus dipotong ususnya, kan obat juga. Jadi, kadang-kadang operasi itu jadi obat. Nah, apakah pidana mati ini demi menyelamatkan masyarakat luas, ini apakah para penjahat seperti ini harus dihilangkan? Jadi melindungi masyarakat dari suatu kejahatan bisa dengan orang nya dijauhkan dari masyarakat selama-lamanya (seumur hidup), bisa dengan dimatikan. Dengan dimatikan ini selamat.
Tapi ini kan sifatnya eksepsional, karena punya filosofi pembinaan. Karena pelaku jahat itu dilihat dari filosofi pemidanaan ia adalah warga negara indonesia yang harus dilindungi. Jadi dalam ilmu pidana itu ada social defense perlindungan masyarakat, itu bukan berarti si pelaku jahat pun adalah bukan anggota masyarakat. Pelaku jahat juga anggota masyarakat yang harus dilindungi. Jadi istilah perlindungan masyarakat itu inklusif. Perlindungan terhadap pelaku jahat, itu filosofinya, Pak Dosi.
|
Benny | F-Demokrat | Penjelasan prof tadi membuat terang
Tapi bagi kita yang penting sudah jelas Isinya sudah benar, tinggal struktur normanya khusus mengenai pemidanaan ini Kalau kita mengimajinasikan, saya ajak untuk menstrukturkan normanya, cara menyusun normanya itu
Pidana terdiri atas: a. Pidana pokok b. Pidana tambahan c. Pidana khusus untuk delik2 tertentu yang ditentukan dalam UU ini
Apa itu? nanti di elaborasi di pasal 67 |
Tadi Prof mengatakan Pidana pokok yang bersifat khusus yang ditentukan oleh UU.
Jadi masih disebutkan pidana pokok. Cuma mungkin agak sedikit mengulang kata “pokok”, cuman kalau tadi dari penjelasan tadi tetap memakai kata “pokok”nya itu. Apakah tidak redundant? Karena penjelasannya tadi ini model formulasi saja, kata prof. makasih |
||
Benny | F-Demokrat | Jadi ada 2 opsi,
Opsi yang pertama adalah rumusan Pidana pokok, pidana tambahan, dan ada pidana lain yang disebut dengan pidana khusus itu.
Opsi yang kedua, hanya 2. Yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Tidak ada khusus lagi. Sedangkan yang khusus ini adalah masuk di dalam pokok. Begitu ya pak?
Tapi saya diingatkan penjelasan prof muladi bahwa adanya pidana mati yang dirumuskan diluar pidana pokok dan pidana tambahan, adalah konsensus para ahli. Yang menyusun KUHP ini waktu itu. Karena ada pro kontra mengenai hukuman mati ini. Kita setuju itu,
Pertanyaan lebih lanjutnya adalah.. Locusnya dimana? Didalam perumusan norma ini apa? Pidana terdiri atas: a. Pidana pokok b. Pidana tambahan c. Pidana mati sebagai pidana khusus untuk tindak pidana tertentu
Nanti delik delik tertentu ini apa saja itulah yang kita diskusikan dengan prof muladi itu tolong pemerintah rumuskan, kan begitu pak. Saya masih ingat. Ada gagasan waktu itu untuk kejahatan terorisme, narkoba, pelanggaran ham, dan tindak pidana korupsi. Tapi ini kan ide ide dulu, silahkan digagas.
|
Dosi | Hanura | Yang bagian itu, pemerintah supaya jangan cepat-cepat dirubah-rubah sendiri tapi jadi ruwet, jadi ini soalnya begini bahwa Perumusan hukum pidana ini tidak hanya untuk penegak keadilan, tidak hanya itu, tapi ini kembangan ilmu pengetahuan.
Jadi kalau perumusannya salah, jadi nanti kaderisasi perguruan tinggi, cara berpikirnya kacau nanti. Kan kita ini menentukan sejarah perkembangan pengetahuan yang akan dibahas dalam pendidikan tinggi. Jadi ini mesti sangat hati-hati.
Mengingatkan kembali baik dari Prof Muladi dan Prof Barda bahwa, intinya pidana mati itu adalah pidana pokok. Intinya disana, kalau tadi dikatakan pidana mati sesungguhnya itu tidak tercabut dari pidana pokok, hanya dibuat khusus, ya sudah pidana ini ditentukan dua saja. Pidana pokok dan pidana tambahan. Nanti, pidana mati itu masuk di pasal 66, pidana pokok terdiri dari pidana yang bersifat khusus. Masuk disana. Ada kata “yang bersifat” dalam perumusan nanti ini didalam penentuan disana. Kenapa demikian? Kalau nanti ditambahkan di C, misalnya pidana bersifat khusus kalau yang di Pasal 65A, atau pidana mati seperti yang disampaikan Pak Benny, Ini akan mengacaukan sistematika dan cara berpikirnya gak berurutan. Dari berat ke ringan, ini dari berat—ringan—ke yang lebih berat lagi. Jadi nanti kacau lagi, ini kan soal pengembangan pengetahuan ini. Jadi yang ingin saya sampaikan, jangan habis berat, ke ringan, menjadi tambah berat. Harusnya kan, paling berat, berat, kemudian ringan, gitu kalau dalam pemidanaan tadi jenis pidana yang ingin disampaikan. Nah oleh karena itu saya mengusulkan Pak Benny bahwa pidana sudah terdiri dari Pidana pokok dan Pidana tambahan saja, nanti ke khusus, masuk ke Pasal 66.
Baru pidana pokok terdiri atas, …….. begitu Cuman tempatnya dimana, apakah pidana khusus itu tempatnya di atas? Ataukah dibawahnya pidana penjara? Supaya struktur berat sampai ke ringan itu kita konsisten. Pidana tambahan terdiri atas…. Atau seperti teman saya dulu pidana tambahannya diawal baru pidana pokok, karena sifatnya pembinaan |
Benny | F-Demokrat | Prof muladi menyampaikan, pidana mati itu masuk dalam pidana khusus.
Waktu dim tadi malam saya jelaskan untuk menstrukturkan kembali. Kalau nanti kita tidak sepakat, gapapa beberapa opsi. Jadi seperti ini. Pidana terdiri atas: a. Pidana pokok b. Pidana tambahan c. Pidana yang bersifat khusus untuk tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam UU ini. Alternatif C: Pidana mati sebagai pidana yang bersifat khusus untuk tindak pidana tertentu
Bagaimana kalau dibuat catatan : Khusus c ini dipending tergantung apakah hukuman mati tetap dipertahankan
|
Erma | F-Demokrat | Kalau kita menyepakati catatan, pidana 65 A poin c pidana yang bersifat khusus untuk poin-poin tertentu |
Benny | F-Demokrat | Apa saja pidana pokok, tambahan, dan apa itu pelaksanaan
Nanti soal alternatif ini tinggal pilih soal yang mana |
Benny | F-Demokrat | Untuk sementara ini, kita butuh break dulu yah.
Rapat di skors sampai jam 1.30. nanti lanjut lagi hingga jam 5.
Skors dicabut. Rapat dibuka, hingga sampai jam 5. Tadi kita tetap di bab yang sama tentang pemidanaan. Jadi saya ulangi lagi tadi, rumusan pasal 65 ini Pasal 65 Pidana terdiri atas : a. Pidana Pokok b. Pidana Tambahan, dan c. Pidana yang bersifat khusus untuk tindak pidana yang bersifat khusus
Untuk c ini dipending? Menunggu kesepakatan apakah hukuman mati tetap dipertahankan, nah ini tadi kita sepakati. Selanjutnya masuk ke DIM 219. Masuk ke pasal 66 ayat (1). Ini pasal 66 nanti timus dan timsin akan sinkronisasikan ini semua ya, perubahan pasal-pasalnya. Selanjutnya kita elaborasi 3 jenis pidana ini Pasal 66, Pasal 66 (1) Pidana pokok terdiri atas : a. Pidana penjara b. Pidana tutupan c. Pidana pengawasan d. Pidana denda, dan e. Pidana kerja sosial Diskusi kita yang terakhir itu di komisi III, sesuai dengan penjelasan prof muladi , sebetulnya pidana disitu adalah yang benar-benar pidana itu yang huruf a dan huruf d. Huruf c dan e pidana kerja sosial, sedangkan huruf b dan c adalah tentang pelaksanaan pidana. Pidana tutupan, dan pidana pengawasan. Jadi pidana tutupan dan pidana pengawasan menurut penjelasan beliau adalah cara melaksanakan pidana, sehingga ada hubungan sebetulnya pidana penjara dan pidana tutupan dan pidana pengawasan. Kalau saya tidak salah dulu penjelasannya begitu. Lalu, setelah diskusi waktu itu, prof. Harkristuti menyampaikan tetap ini pidana pokok tetapi supaya seolah-olah pidana tutupan dan pidana pengawasan itu adalah pelaksanaan dari pidana penjara, maka rumusan pidana tutupan dan pidana pengawasan ini jangan dikaitkan dengan pidana penjara. Jadi dirumuskan sebagai pasal atau ayat yang otonom. Itu maksudnya.
Tadi, pidana pokok terdiri atas a sampai dengan e. Kita setujuin ya? Nanti soal kebawahnya ini nanti kita bahas pas masuk pasal tentang pidana penjara itu apa, pidana tutupan itu apa, pidana pengawasan, dst ya begitu ya pak Dosi?
|
Dosi Iskandar | F-Hanura | Yang itu, Pasal 65 A huruf c itu ga masuk?
|
Benny | F-Demokrat | Ya nanti kita bahas kebawah nanti.
Yang kita bahas di pasal 66 ayat (1) adalah elaborasi dari pasal 65 huruf a. Iya kan? Nah, kita ini mau bahas pidana pokok dulu. Pertanyaan pak dosi yang seperti apa bentuk pidana tutupan seperti apa pidana pengawasan, kita bahas dibawah. Waktu itu kan prof muladi dan prof tuti juga sudah jelaskan. Nanti kita robah nanti kebawahnya, tapi substansinya kita setuju dulu ya? Oke soal pidana pokok terdiri atas : a. Pidana penjara b. Pidana tutupan c. Pidana pengawasan d. Pidana denda, dan e. Pidana kerja sosial
Jadi Pak Dosi, waktu itu saya yang mempertanyakan ke Prof Muladi. Kalau pidana tutupan dan pengawasan adalah pelaksanaan pidana penjara tadi, maka jangan dimasukkan sebagai jenis pidana. Begitu pak. Itu bukan jenis pidana. Itu pelaksanaan dari pidana. Waktu itu saya minta kalau memang itu maksudnya, dikeluarkan saja. Lalu Prof Tuti bilang, “tidak, itu tetap disitu, nanti baru kita rumuskan, kita harus robah caranya” nah ini juga jadi pidana penjara penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda dan pidana kerja sosial. Atau kecuali kalau kita mau nambah lagi, ada lagi gak jenis pidana pokok ini jenis pidana apalagi? Coba kita lihat Pasal 66, Pasal 67, atau Pasal 68 ya.
Pencabutan hak tertentu, perampasan barang, ini jadi menambah daripada pidana pokok. Selain misalnya penjara 10 tahun, dicabut hak politiknya. Kecuali kita kesana, mau mengubah pencabutan hak politik itu adalah pidana pokok.
Itu kan jadi pertanyaan. Oke kita kembali ke pasal atas, jadi pidana pokok terdiri atas : a. Pidana penjara b. Pidana tutupan c. Pidana pengawasan d. Pidana denda, dan e. Pidana kerja sosial Ada tambahan?
Itu Cambuk itu gimana ya di Aceh itu?
|
Asrul Sani | F-F-PPP | Iya itu makanya, gimana itu, itu di Aceh juga kan harus diakomodasi juga itu. |
Benny | F-Demokrat | Cambuk, itu kan pidana juga ya.
|
Asrul Sani | F-F-PPP | Ada 2 orang wakil dari Aceh ini. |
Nasir Jamil | F-PKS | Kita kesana (aceh) dulu apa kita? Hahahah
Atau kita undang mereka kemari? |
Erma | F-Demokrat | Kita Kesana lah. |
Benny | F-Demokrat | Bagaimana kalau sementara kita, kecuali ada perubahan atau penambahan ya silahkan.
Atau dari pemerintah ada masukan? Ini sebenarnya sudah kita bahas waktu itu. Prof Barda, ? |
Barda | Pemerintah | Kalau membicarakan pidana badan, cambuk itu termasuk dalam
teori, hukum cambuk itu adalah pidana badan, istilah inggrisnya itu corporal punishment, pidana badan ini salahsatu yang diwacanakan sebagai pidana pokok. karena sebetulnya sasaran pidana adalah kepentingan-kepentingan pokok. Atau benda hukum pokok dari seseorang. Yang ada di kita, baru : 1. Nyawa 2. Kemerdekaan 3. Harta Nah badan belum.
Memang sementara ini di dunia internasional, pidana yang pada pada awalnya mendapat sorotan tajam adalah pidana mati.. kemudian bergeser ke pidana penjara khususnya pidana penjara seumur hidup. Kemudian bergeser lagi sampai ke pidana penjara.
Artinya, dari pemikiran global, Ada keinginan untuk mencari alternatif lain, antara lain dari pidana penjara yang selama ini ada. Nah antara lain ada corporal punishment, sehingga masalah ini, pilihan terhadap jenis pidana apa yang seyogianya dijadikan alat sebagai sarana pemidanaan itu termasuk wilayah politik hukum pidana (penal policy). Kebijakan. Kebijakan tiap negara itu berbeda2 artinya diliat dari politik hukum pidana, sarana pidana apa sebagai alat untuk menanggulangi kejahatan itu tidak bisa absolut, dia bisa berubah. Tergantung situasinya. Jadi kalau.. ini sebetulnya butuh kajian khusus yang lebih mendalam berdasarkan teori-teori dan dikaitkan dengan efektifitas. Karena selama ini ada pembahasan pidana mati tidak efektif. Pidana penjara tidak efektif.. Jadi misalnya, apakah efektif memberantasi terpidana korupsi dengan pidana mati? Apakah efektif memberantas korupsi dengan penjara? Kenapa tidak ada alternatif lain? Jadi Kalau dalam penjara ada gagasan untuk mencari alternatif terhadap pidana penjara, maka di pidana mati pun ada gagasan alternatif dari pidana mati. Nah alternatif dari pidana mati itu apa? Nah ada yang melontarkan, pidana itu pidana badan.. Badan bisa.. Tapi sewaktu itu dilontarkan dalam tim, tidak semuanya sepakat, oleh karena itu tidak masuk, artinya sampai dirumuskannya ini gagasan yang menolak lebih banyak. Karena seolah2 pidana badan itu lebih kejam dari pidana-pidana lain. Sementara di banyak kajian itu juga dipersoalkan, mana yang lebih kejam? badan yang dipukul hanya 7 atau paling maksimal 12 pukulan, dengan pidana penjara 3 bulan. Orang dipenjara, dirampas kemerdekaannya selama 3 bulan, itu dirasakan lebih kejam bahkan mungkin masih ingat bapak-bapak statement dari Profesor Dr. Hazairin yang menolak pidana penjara, ia menulis buku berjudul “Negara tanpa Penjara” itu beliau mengatakan bahwa proses seseorang di penjara itu lebih kejam daripada orang dipukul. Bahkan sewaktu banyak kasus di Aceh, yang dicontohkan dengan dicambuk, itu diberitakan di internet ada seorang tionghoa yang bukan muslim, yang dia terkena kasus judi waktu itu, dia melihat orang dicambuk, dia bilang begini, “saya lebih baik dicambuk daripada di penjara” karena kalau dicambuk itu paling 7 kali pukulan, ketentuannya itu kan sudah diatur. Berapa kali yang dipukul, apa yang dipukul, itu semua diatur, yang sedemikian rupa pengaturannya itu, tidak sangat tidak manusiawi. Artinya cukup manusiawi. Dipukulnya hanya dalam batas-batas misalnya tadi jumlah 10-12, bagian badan yang dipukul yang mana, kemudian pas dipukul dia harus berpakaian misalnya. Itu kalau dibandingkan dengan di negara lain yang menganut, kalau tidak salah, sampai saat ini ada sekitar 7 atau 9 negara yang masih mempertahankan corporal punishment. Dan disitu lebih kejam, dirasakan sangat lebih kejam. Seperti di ekuador, kemudian di Negara Singapur, Malaysia, semuanya itu lebih kejam daripada yang di Aceh. Jadi sekali lagi, apakah itu layak atau tidak di angkat sebagai salahsatu sarana/alat untuk mencapai tujuan pemidanaan itu dipandang sebagai policy, apakah itu suatu hal yang layak untuk menyasar sasaran badan ini yang sampai saat ini belum masuk pada sasaran pidana. Sementara ini merupakan realita yang ada di masyarakat. Baik itu di dunia pendidikan, baik itu di dunia militer, bahkan di rumah tangga. Jadi istilah corporal punishment itu kalau di rumah tangga, ayah ibu kan juga sering mukul anaknya. Tapi tidak sedemikian rupa sembarangan. Kalangan pendidikan, ada guru memukul anak, di kalangan militer, di akpol, di ipdn, jadi dimana-mana di masyarakat itu dipake. Sebagai salahsatu alat untuk mendisiplinkan seseorang. Sebatas tentunya ada aturannya. Nah itu jadi sekali lagi, karena waktu itu dikalangan tim banyak yang tidak setuju, ya sudahlah, tidak dimasukkan, tapi ini bisa dilontarkan ke DPR yang memang punya wewenang untuk itu. Untuk mengambil policy (kebijakan). Apakah itu layak atau tidak. Mungkin itu saja sebatas pemahaman saya. Menambah saja sebetulnya, sebagai wawasan, tetapi walaupun itu sudah pernah ada. |
Benny K Harman | F-Demokrat | Baik, itu dari pemerintah ya. Mengenai jenis-jenis pidana pokok ya.
Saya masih ingat dulu di kampung saya dulu, kalau ada yang melakukan tindak pidana, misalnya melakukan zinah di kampungnya, hukumannya bisa berlutut ke sekeliling kampung, kemudian juga lebih berat dari itu, hukumannya bisa dibuang ke jurang 200-300 meter. Nah, efektif ga itu? Kalau itu efektif, ya takut dia jadinya. Kalau sekarang ini, gimana hukuman mati ya, jadi.. kita engga tahu.
|
Arsul Sani | F-F-PPP | Karena tadi disampaikan juga persoalan penal policy, Saya mengusulkan, walaupun tidak spesifik tapi dibuka ketentuan umumnya untuk pidana pidana yang diluar dari a, b, c, d, e plus pidana tambahan itu tadi,
Katakanlah pidana lainnnya di f itu tetap terbuka. Nah, untuk yang lainnya, selain dari a, b, c, d, e dan pidana tambahan yang ditetapkan/ditentukan/diatur UU. Jadi, terbuka. Sebab kalau tidak, terjadi perdebatan terus. Ketika misalnya, ini kalau jadi nih, untuk kejahatan pedofil ternyata tiba-tiba pemerintah ngeluarin kebiri nih, gak ada wadahnya, Perpu kebiri ini wadahnya dimana? Kemudian pidana badan di aceh, yang saya ketahui, saya pernah ketemu sama orang yang pernah di cambuk, itu sebetulnya kalau itu dicambuk, kita membayangkan dicambuknya sungguh-sungguh kaya di Singapur, ternyata enggak. Nah, Hukum cambuk itu lebih menciptakan rasa malu saja. Jadi usul saya, itu tetap dibuka tapi tidak di tentukan corporal punishment atau apalah itu selain dari a sampai e itu, selain dari pidana tambahan. Terimakasih. |
Benny | F-Demokrat | Untuk dibuka adanya jenis pidana yang lain, saya usul nanti yang disampaikan Pak Arsul itu dimasukkan di dalam pasal berikutnya, jadi selain pidana pokok, dan pidana tambahan, kemudian dimungkinkan pidana ini yang sesuai peraturan perundang-undangan. Tapi jangan masuk dia pidana pokok atau pidana tambahan, tapi itu kita canangkan saja, nanti tolong diingatkan, nanti kita bahas disitu tadi.
Selain pidana pokok dan pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 dan pasal 68 perlu dipertimbangkan untuk memasukkan pidana lainnya (pidana badan, pidana cambuk, dan pidana kebiri).
|
Kemenkumham | Pemerintah | Ijin, pimpinan. Ini dari Kepolisian ingin memberikan….. (dipotong oleh Benny) |
Benny | F-Demokrat | Iya, nanti dulu… Temen2 dewan ada lagi ga?
Tidak ada? Oke silahkan |
KombesPol Dr. Marbun | Divisi Hukum Mabes Polri | Ijin Pimpinan, ini pak. Kami ada pengalaman, khususnya kepada pelaku kejahatan yang dipenjara, atau dalam kurungan tahanan polisi.
Saya lama tugas di polsek, di polda, kemudian di mabes, sering saya meneliti kepada tahanan, pertanyaan kepada mereka pertama kenapa kalian bisa tertangkap polisi melakukan kejahatan? Itu mayoritas jawabannya. Kami sering berunding, sudah kita pilih waktu itu yang tepat, tapi kepergok. Jadi ternyata, penjahat penjahat itu mereka berdiskusi dan mempunyai rumusan masalah seperti ilmiah bagaimana supaya tidak tertangkap polisi apabila melakukan kejahatan. Ini pengalaman ini yang saya dapat dari mereka yang dikurung di tahanan polisi, kemudian yang kedua, saya tanya kepada mereka mulai dari polsek, polres, polda sampai dengan mabes, karena saya melalui tahapan-tahapn ini kurang lebih 31 tahun, kalian yang ditahan di rumah polisi ini, seandainya kalian di tempeleng sama polisi tiap pagi, datang tiap pagi ke polsek atau ke polda, ditempeleng kiri kanan 10 kali habis itu pulang. Pilih mana, ditahan, atau ditempeleng? Mereka serentak bilang : “enakan di tempeleng.” “Biar kami (penjahat) setiap pagi datang, di tempeleng kiri kanan. Tetapi jangan menjalani hukuman, begitu pak.” Artinya, tempeleng akpol itu tak..tak..tak..tak.. habis itu pulang. Jadi mereka serentak memilih kena tempeleng pipi kanan, daripada dikurung, misalnya penahanan 20 hari. Makanya itu tadi, begitu ada teori akademis dari prof. Barda, saya sepakat. Beliau akademisi, saya praktisi, tapi keliatannya nyambung. Cuma kalau dilihat ini kriteria dari pidana pokok yang a sampai e ini kalau mau kita atur sedemikian rupa, apalagi ada policy seperti itu, dimana letaknya, begitu. Kan ada juga bagusnya itu. Jadi tidak merupakan di tahanan itu orang jera, mungkin di tempeleng pun bisa juga. Cuma, bagaimana kriteria tempeleng ini. Atau kalau pelajaran di kepolisian itu, bagaimana ninju ulu hati tapi gak mati, begitu. Jadi ini pak, ilmu kepolisian. Itu kali untuk pimpinan, terimakasih. |
Benny | F-Demokrat | Baik, Ada tambahan lagi?
Ya, Prof. Barda. Silahkan. |
Barda | Pemerintah | Sedikit menyambung saja, kalau dilihat dari sudut teori, Banyak di berbagai negara, tidak hanya di indonesia, kita ini sedang menghadapi masalah overkapasitas di penjara. Banyak orang masuk ke penjara. Nah, salahsatu pilihan alternatif untuk tidak terjadi overload, adalah seperti ini, model hanya ditempeleng, dilihat kasus per kasusnya, tapi kesempatan itu ada. Artinya daripada orang dipidana pendek, makanya salahsatu putusan kongres PBB ke 2.. Kongres PBB pertama itu menelorkan, standart minimum rules for prisoners, itulah yang melatarbelakangi kemudian diubahnya reglement kepenjaraan menjadi pidana kemasyarakatan.
Tapi setelah itu, kita tidak merespon perkembangan-perkembangan PBB berikutnya. Yaitu mulai dari perkembangan kongres kedua PBB Tahun 1960 sampai sekarang, itu banyak putusan-putusan menarik yang seharusnya direspon. Antara lain, yang putusan kedua itu menghindari sejauh mungkin pidana pendek. Karena SMR (standart minimum rules) for prisoners, itu tidak didukung apabila hakim terlalu menjatuhkan pidana pendek, lebih baik dicarikan … Kalau gasalah konferensi.. Pidana pendek tidak ditampung, kita bisa melihat putusan dari SMR for non custodian … Kalau itu kita masukan itu salahsatuu upaya untuk mengurangi overload 98% ancaman pidana baik di kuhp dan diluar kuhp adalah pidana penjara Dan diantaranya 97% dirumuskan secara tunggal, berarti imperatif, harus. Oleh karena itulah, itu yang menyebabkan overloadnya. Jadi sudah terlalu banyak yang dipenjara. Sementara sekarang kita menghadapi masalah itu. Akibat dari overload, timbul berbagai masalah-masalah lain. Termasuk kasus yang kita kenal dengan sel mewah, kasus artalyta, karena sudah penuh, ya dia sudah bangun sel sendiri. Nah untuk bisa menikmati sel yang enak, ya dia nyuap, terjadilah korupsi di dalam LP. Jadi itu merembet kesana, itu akibat dari kebijakan yang tidak berubah. Jadi, situasi sekarang memang sudah berubah. Jadi kalau indonesia juga sedang dilanda krisis overload LP, maka ini pun harus direspon oleh politik kriminalnya, politik hukum pidananya gitu. Itu tambahan sedikit Pak. |
Benny | F-Demokrat | Baik, terimakasih pencerahan profesor Barda. Ada pendapat lain? |
Wihadi | F-Gerindra | Jadi, apa yang disampaikan oleh Prof Barda dan Mabes Polri mengenai masalah ada kecenderungan hukuman badan, dan juga adanya overload pada penjara. Tapi disini sepertinya kita jangan mengarahkan dulu bahwa ini hukuman badan semata-mata. Karena sebenarnya apa yang dikatakan overload itu bisa juga dengan kerja sosial. Nah, kenapa tadi di berikan contoh bahwa dipukul itu mereka lebih suka, karena di dalam itu mereka juga dipukul, dipukul oleh sipirnya dan juga di dalam juga dipukul oleh teman sesamanya. Jadi, mereka mendapatkan dua kali. Nah ini kan permasalahan lapas ini sebenarnya. Tapi kan disini KUHP tidak melihat bahwa permasalahan lapas itu menjadi suatu kita mengikuti permasalahan di lapas. Jadi sebenarnya condongnya kita adalah di kerja sosial kalau memang kita menghadapi overload, dan juga adanya suatu bukan mengarah pada hukum rajam atau hukum badan. Jadi mungkin apa yang disampaikan oleh pak Asrul tadi mengenai masalah kita terbuka pada satu poin dimana itu bisa terjadi miss daripada kasusnya, kalau misalnya dikebiri atau apa itu kan sebenarnya masih bisa disitu masuknya. Tapi, jangan kita masukkan bahwa ini rajam boleh. Atau apa boleh gitu. Jadi ini mesti terbuka seperti itu. Saya lebih cenderung ke situ.
Dibuka. Jadi jangan sampai kita terpengaruh pada ini nanti masuknya masuk lagi hukuman cambuk atau rajam, jangan seperti itu. Karena sebenarnya kasusnya memang kalau orang di dalam itu secara kejiwaan mereka juga merasa terbelenggu. Ini hukuman kejiwaan dan hukuman fisik. Lah kalo di lapas itu hukuman kejiwaan dapet, fisik juga dapat, materi juga dapet, karena mereka diperes juga di dalam. Jadi memang ini dobel gitu, daripada begitu mending kerja sosial itu lebih diarahkan kesana sebenarnya. Terimakasih. |
Benny | F-Demokrat | Baik Terimakasih masukannya.
Kembali pada pidana pokok ini, dalam rumusan pemerintah dan juga dalam DIM yang diajukan oleh fraksi-fraksi memang tidak ada penambahan. Jadi saya rasa untuk sementara ini kita terima dulu. Kalau nanti ada jenis yang lain kan sudah diakomodir disini untuk nanti kita akan bahas. Jadi untuk sementara pasal 66 ayat (1) Pidana pokok terdiri atas .. yang huruf a sampai e kita terima ya, kita setuju ya. |
Nasir jamil | F-PKS | Pak ketua, tadi kan ada ngobrol-ngobrol ya termasuk juga tadi prof memberikan ilusttrasi bahwa penghukuman itu kita mulai, apa mungkin kita balik begitu dari ringan kepada yang paling berat. |
Benny | F-Demokrat | Ya itu kan sudah ada di ayat (2) nya ituloh, urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat ringannya pidana.
Iya kan? Sudah ada disini, pak kyai. Ya, jadi kita setuju dulu ya, Pasal 66 ayat (1). Ok? Ada keberatan? Ya ibu. |
Erma | F-Demokrat | Tadi itu seingat saya ada usulan, kalau kita mengurutkannya dari ringan ke berat, yang di ayat (2).
Dari kerja sosial dulu .. baru.. |
Benny | F-Demokrat | Ooh, itu maksudnya. Mulai yang paling ringan..
Tapi kan tetap nanti bukan berarti yang paling atas yang diterapkan, kan gitu? Bisa dikunci oleh ayat 2 nya. Kan begitu kan. Udah ga relevan itu pak. Ya? (ketok palu)
Oke kita masuk ke ayat (2). Yang ayat (1) nya masuk ke timsin berarti ya. Timsin itu untuk pasal-pasal dan ayatnya. Kemudian ayat (2), “urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat ringannya pidana, kecuali pidana bagi anak.”
Saya ini yang belum terang betul ini maksudnya apa yang “kecuali pidana bagi anak”
Ya, Silahkan prof. |
Barda | Pemerintah | Mengenai tambahan itu, sedang saya telusuri, sebab kepada tim internal dari pemerintah, saya juga belum mendapatkan penjelasan. Sewaktu saya mempertanyakan hal itu. Karena seingat saya, dulu itu tidak ada. Kata-kata seperti itu, nah itu sedang saya telusuri sejak konsep 2004.
Jadi konsep yang ada di saya sejak 2004, kata-kata itu tidak ada. Sehingga, khusus mengenai tambahan istilah itu, Saya tidak mengerti. Hanya saya menangkapnya, memang betul kalau pidana itu ditujukan kepada orang nya, antara orang dewasa dengan anak, beda. Tapi yang dimaksud urut-urutan berat ringannya pidana disini, adalah urut-urutan secara yuridis. Bukan urut-urutan kepada siapa dia dikenakan, begitu. Jadi sebetulnya dulunya tidak ada. Sebab itu sama dengan kalau di KUHP itu di Pasal 169 pak. Itu kaitannya dengan aturan dengan concursus. Perbarengan. Eh, pasal 69. Bukan 169. KUHP lama.
Kalau itu yang ditanyakan, saya tidak bisa menjelaskan, kalau saya diseuruh menjelaskan Terkait concursus idealis dan realis Kalau diancam dengan beberapa jenis peraturan perundang-undangan, maka yang terberat |
Arsul Sani | F-PPP | Boleh ketua, saya ijin bacakan, pasal 69 ayat (1)? |
Benny | F-Demokrat | Silahkan |
Arsul Sani | F-PPP | Pasal 69 ayat (1) perbandingan berat ringannya hukuman pokok yang tidak sejenis, ditentukan oleh susunan dalam pasal 10. |
Benny | F-Demokrat | Jadi soal tadi ini kan, kata “kecuali pidana bagi anak.”
Itu soalnya, itu apa maksudnya. Ayat (2) ini, “urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat ringannya pidana, kecuali pidana bagi anak.” Kan begitu pak? Nah, yang menentukan berat dan ringannya ini kan, hakim? Hanya tiba-tiba muncul “kecuali pidana bagi anak” itu. Itu yang ingin kita tahu. |
Barda | Pemerintah | Ya kalau itu yang ditanyakan, saya tidak bisa menjelaskan. Tapi kalau yang ditanyakan pak Arsul, tentang terberat itu tadi, itu kaitannya pasal 69 itu dengan ketentuan perbarengan (concursus). Nah concursus itu bisa idealis, bisa realis. Itu ada ketentuan, apabila satu perbuatan itu melakukan beberapa tindak pidana, maka dikenakan pidana yang terberat.
Jadi, Ada istilah “terberat” Jadi, untuk menyatakan yang terberat itu yang mana? Nah inilah. Lalu ditentukan terberat secara yuridis, itu adalah menurut urut-urutan pasal 10. Dikatakan itu, itu yang dimaksud. Jadi bukan dalam artian berat-ringan itu ditujukan kepada terpidananya, bukan. Bukan anak, orang dewasa, atau wanita, bukan. |
Arsul Sani | F-PPP | Jadi, usulannya apakah dihapuskan saja? Itu, “kecuali”nya.. |
Barda | Pemerintah | Kalau saya, ya.
Gatau, kalau tim atau yang lain. |
Ahmad zaki | Golkar | Ketua, Sedikit ketua. |
Benny | F-Demokrat | Ya, silahkan.
Ini persoalan “kecuali pidana bagi anak” mungkin, saya minta pandangan dari prof. Kalau misalnya anak melakukan jenis pidana-pidana pokok diatas, apakah anak itu dikenakan pidana sama dengan orang dewasa? |
Prof. Barda | Pemerintah | Tidak.. Tidak.. |
Ahmad zaki | Golkar | Nah, kalau lah tidak, ini mungkin saya menebak-nebak itu kerangka rasionalnya, mungkin. Saya tidak paham betul cuman saya menebak-nebak aja, kecuali pidana bagi anak. Jadi anak yang melakukan jenis-jenis pokok pidana di atas, berbeda kalau orang dewasa melakukan. Saya kira, itu mungkin. |
Benny | F-Demokrat | Ya, kalau kita baca draft ini kan dibelakangnya nanti dibahas khusus pidana anak, pak. Yang nanti akan mengecualikan. Tadi kata “kecuali” ini ndak usah masukkan disini gituloh pak, itu maksudnya . supaya jangan mengganggu sistematika rumusan norma yang kita bikin ini.
Nah, tadi pengecualian ketentuan-ketentuan ini tentang anak, ada bab khusus nanti, yang sini nanti diadopsi dari UU Pengadilan anak itu, nanti kita akan bahas disitu ya. Makanya kita coret ya, kata “kecuali..” itu.
Kecuali ada maksud lain dari pemerintah, makanya kita tanya. Ya, gitu ya. Gimana? |
Kemenkumham | Pemerintah | Jadi benar ketua, di pasal 122 itu memang disebutkan jenis pidana pokok untuk anak. Jadi saya kira coret aja kecuali nya itu. |
Benny | F-Demokrat | Oke, kita coret ya “kecuali” nya itu. Setuju ya?
Sehingga ayat (2) ini bunyinya : “Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat ringannya pidana. kecuali pidana bagi anak.” Tulis “disetujui Panja”
Nah sekarang masuk pasal 68, Pasal 68 (1) Pidana tambahan terdiri atas: a. pencabutan hak tertentu; b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; c. pengumuman putusan hakim; d. pembayaran ganti kerugian; dan e. pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.
Ini yang kita ngomong tadi, pak asrul. Huruf e, misalnya di aceh, kan gitu. Ini sebetulnya rumusan ini dulu. Oke kita pasal 68 ayat (1) dulu coba. Untuk memberikan tanggapan, kami persilahkan pemerintah untuk memberikan pencerahan dulu, pasal 68 ayat (1) a sampai e ini. Khususnya yang e ini. |
Barda | Pemerintah | Yah, saya mengingat ingat dulu .
Munculnya istilah ini, itu tidak lepas dari perluasan azas legalitas di pasal 1. Yang kemudian di RKUHP ini dijadikan 2 pasal, yaitu di pasal 1 dan di pasal 2. Jadi kalau pasal 1 di KUHP, sumber hukum untuk menyatakan suatu perbuatan itu delik atau bukan, sumbernya hanya UU. Tetapi, di RKUHP ini, sumber hukumnya itu ada 2, bisa UU, bisa hukum yang hidup. Berarti ada delik yang ditentukan dia delik oleh UU. Tapi ada delik yang ditentukan oleh hukum yang hidup, jadi itu landasannya, jadi dengan kata lain, tindak pidana itu, menurut RKUHP itu bukan hanya perbuatan yang terlarang oleh UU, tapi bisa juga terjadi delik menurut masyarakat. Nah, pertanyaannya, kalau ada orang melakukan suatu perbuatan yang menurut pandangan masyarakat itu dia sebagai delik, itu ancaman pidananya apa. Karena di KUHP kita itu tidak ada. Nah oleh karena itulah dilihat dari sudut keadilan sosial, keadilan masyarakat pada umumnya, dimunculkanlah ini. Disamping pada waktu itu, banyak kasus terutama kasus-kasus di yurisprudensi di Bali, yang dijadikan juga kajian oleh prof. Nyoman, karena prof nyoman disertasinya tentang hukum pidana adat. Waktu itu ditemukan banyak kasus, katakanlah pencurian. Pencurian itu kalau di refer ke KUHP, dia Pasal 362. Karena 362, pidananya penjara. Maka, prakteknya itu hanya jadi pidana penjara. Walaupun menurut 362 bisa juga dijatuhi pidana denda. Tapi karena dendanya terlalu kecil, dalam praktek tidak pernah itu pencurian dijatuhi pidana denda, hanya dijatuhi pidana pendjara. Nah menurut prof nyoman, berdasarkan hasil penelitian di masyarakat bali, itu masyarakat bali merasa tidak puas. Kalau ada pencurian yang dicurinya itu adalah benda-benda pusaka. Benda-benda yang di kramatkan di pura. Itu dia harus dikenakan pidana adat juga katanya. Jadi, kalau hanya dikenakan pidana formal, menurut UU, itu masyarakat merasa tidak terima, tidak puas. Rasa keadilan, belum terpuaskan, yang menurut hukum mereka itu disini harus ada, karena benda yang dicuri itu benda pusaka, dia harusnya kena hukuman adat, katanya gitu, dan itu salahsatu kasus aja disana.
Dan itu banyak contoh yang lain, itulah lalu pemenuhan kewajiban adat sebagai bentuk sanksi menurut hukum tidak tertulis, itu dimasukkan. Tapi disini tidak ditentukan pemenuhan kewajiban adat nya itu apa, tidak di limitatifkan. Karena Pemenuhan kewajiban adat di seluruh negara indonesia itu tidak sama. Inilah model, yang model open namanya, model terbuka, jadi hanya dikasih wadah, tapi untuk mengisinya tergantung pada situasi dan hukum yang hidup. Jadi, memberi tempat pada hukum yang hidup adalah salahsatu wujud dari istilah di hukum nasional kita, Bhinneka Tunggal Ika. Jadi ada keanekaragaman, tapi juga memberi kebhinnekaan itu, disalurkan, ada salurannya. Karena ada juga pandangan waktu itu. Begini logikanya, bahwa belanda itu wilayahnya itu kecil sekali, tidak ada se jawa tengah, tidak ada se jawa barat. Kalau hukumnya itu bersifat kodifikasi, unifikasi, satu hukum untuk semua orang, itu bisa. tapi kalau indonesia ini sangat luas, beraneka warna, etnisnya, agamanya, hukum adatnya, dimana rasa keadilan bisa disalurkan jika hanya unifikasi? 1 hukum untuk semua orang, Itu malah tidak adil.
Itu salah satu pertimbangan, mengapa ini dimunculkan yang e ini. Ya asas legalitas ini. Itu saja yang dapat saya tambahkan. |
Benny | F-Demokrat | Baik, terimakasih pencerahan prof barda, Ini memang semangatnya ini pluralisme hukum, pluralisme keadilan, nah ini baik juga sih. kalau menurut van vallenhoven ini ada kan 19 lingkup hukum adat ini, kalau kita pake rujukan dia saja, berarti ada 19 versi keadilan di indonesia ini. Karena belum tentu sama.
Bagaimana pak? |
Barda | Pemerintah | Di KUHP itu ada pedomannya, walaupun dia beraneka, tapi ada patokannya. Sepanjang hukum yang hidup itu tidak bertentangan dengan nilai pancasila, tidak bertentangan dengan nilai ketuhanan, tidak bertentangan dengan nilai kemanusiaan, tidak bertentangan dengan keadilan sosial, tidak bertentangan dengan demokrasi. Itu satu. Yang kedua, kriterianya tidak bertentangan dengan asas2 umum yang diakui oleh bangsa-bangsa. Itu di pasal 2 ato pasal 3 RKUHP ada. Kriteria seperti itu. Jadi sekali lagi, Walaupun menurut van vollenhoven itu beraneka, tapi tidak berarti itu semuanya tidak ditampung.
Jadi kalau ada hukum adat yang tidak tertulis bertentangan dengan nasional yang berpancasila, itu yang ditolak. Itu alat saringnya itu. |
Benny | F-Demokrat | Ya, kita sudah diskusi panjang soal itu pak. Ketika kita bahas pasal 1, 2 itu dulu, dan kita belum putuskan soal itu, karena nanti lebih lanjut lagi, apa kriterianya bertentangan atau tidak bertentangan dengan pancasila, kan gitu. Kedua, siapa yang menentukan ini bertentangan dengan pancasila atau tidak.
Tambah panjang dan tanpa selesai-selesai. Kan gitu. Jadi, ini mengakomodir, kan ada prof barda, tahu lah, paham-paham aliran-aliran dalam filsafat hukum tentunya. Apa itu keadilan, ya bisa keadilan berdasarkan hukum yang hidup itu juga, tapi juga ada keadilan yang tertulis itu juga. Macam-macam lah. Tapi apapun, harus kita pilih. Dari sekian banyak pilihan, yang dijelaskan oleh para ahli filsafat hukum atau para penganjur tentang pluralisme hukum, dalam kaitannya dengan keadilan, nanti kita kaitannya dengan apa yang akan kita pilih dari sekian yang banyak pilihan. Tapi jangan tidak juga kita tidak pilih dengan alasan tadi, karena yang kita pilih ini menciptakan ketidak jelasan dan ketidak pastian. Tapi jangan juga kita membuat rumusan asal enak dibaca atau asal senang di puji oleh rakyat, kan tidak bisa begitu.
Jadi kita kembali ke pasal 68 ayat 1 ini, ya ini penjelasan tambahan dibawah ini.
Jadi, pencabutan hak tertentu, oke. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan, pembayaran ganti kerugian; ayat ini ada semua dalam penjelasan-penjelasnnya. Jadi soal pidana tambahan selain yang e ini mungkin perlu dijelaskan juga yang diatas itu prof, yang huruf a sampai d nya ini. Apa maksudnya, mungkin bisa sekalian dijelaskan itu prof.
Silahkan pemerintah, prof, bisa jelaskan pidana tambahan a sampai e ini. |
Barda | Pemerintah | Ya, mohon maaf kepada tim pemerintah yang selalu saja saya yang diminta menjawab, karena kemungkinan juga yang lain ga ngikuti.
Mengenai pidana tambahan a, b, c sampai d itu saya berasumsi saja. Karena ini sudah ada di dalam KUHP dan hukum positif kita, itu sudah di anggap paham. Mengerti, kecuali memang bukan orang pidana, ya. Seperti pak ketua barangkali, karena bidang Hukum Tata Negara.
|
Benny | F-Demokrat | Ya, semuanya disini kita ini gapaham ini pak.
Makanya kita minta bapak jelaskan. |
Barda | Pemerintah | Nah ini, kalau begitu terus, bapak ya. Ini terlalu lama. Jadi apakah tidak justru seharusnya kalau ini bapak-bapak diminta untuk membahas hukum pidana, ya mempersiapkan lah dirumah hal-hal yang terkait dengan hukum pidana ini. Gitu. Jadi referensinya itu, justru bapak yang cari dirumah sebetulnya. Dalam hal-hal yang berbeda sajalah, hal hal yang baru saja lah. Jadi kalau pencabutan hak tertentu, di KUHP sudah ada. Kenapa tidak dipertanyakan, kok sekarang ada di RKUHP, dipertanyakan. Begitu juga dengan perampasan barang, pengumuman keputusan hakim juga sudah ada, dari dulu ada. Jadi, kalau saya harus menjelaskan begini, ini nanti dianggap seperti memberi kuliah, pak. |
Semua anggota yang hadir rapat | (tertawa)
Hahaha |
|
Benny | F-Demokrat | Iya, gratis lagi. Hahaha
Ndak apa-apa pak, gak apa-apa. Jadi gini loh pak prof, yang itu tadi, prof juga ga usah banyak-banyak penjelasannya, karena ga usah prof anggap kita ini ga ngerti. Kita juga ngerti, jadi misalnya prof, cukup aja penjelasan pidana tambahan itu maksudnya apa, kan gitu. Pembahasannya alternatif atau apa, nah itu poin –poin itu loh. Ya harus kita bahas, gabisa kita ini. Itu satu. Yang kedua, tata cara pembahasan undang-undang yang diusulkan oleh pemerintah, pemerintah yang pertama menjelaskan, kan gitu pak. Baru kami tanggap. Itu mekanismenya.. jadi bukan sekedar tanya-tanya. |
Barda | Pemerintah | Tapi juga tolong ya, karena sebetulnya kesan saya, berulang kali, itu bapak-bapak itu, disodori ini tidak dibaca semuanya. Hanya membaca seperti kacamata kuda. Kalau yang dilihat pasal 18 ayat (1), ya itu saja yang dilihat, sementara yang lain sebetulnya ada. Jadi saya khawatir justru saya menjelaskan itu tidak sesuai…
(terpotong oleh Pak Benny) |
Benny | F-Demokrat | Tidak begitu pak. Tidak.. tidak.. tidak begitu.
Salah itu bapak! |
Barda | Pemerintah | Lah ya iya kesan saya begitu |
Benny | F-Demokrat | Kita tangkap kita ini salah begitu.
Kita baca sungguh-sungguh kok ini. |
Barda | Pemerintah | Weuhh, saya mengikuti beberapa kali, walaupun beberapa kali itu sering sekali saya jumpai hal seperti itu. |
Benny | F-Demokrat | Woiya, memang begitu, Bapak.
Sama. Sama juga kesan kami terhadap pemerintah juga sama. |
Barda | Pemerintah | Ya syukur lah ya kalo begitu. |
Benny | F-Demokrat | Jadi begitu. |
Barda | Pemerintah | Okelah, terserah bapak menilai. |
Benny | F-Demokrat | Ooiya, kalau penilaiannya sama, ya begitu |
Barda | Pemerintah | Kesannya yang bertanyanya itu dari sesuatu yang dia baca hal ini saja, begitu. |
Benny | F-Demokrat | Loh, bukan pak!
Saya jelaskan. Tahapan penjelasan kita, setiap pasal, setiap dim ini, dimulai dengan pemerintah jelaskan, itu loh, lalu kami tanggapi, ituloh pak. Supaya enak pembahasannya. Gitu caranya, |
Barda | Pemerintah | Ya tapi begini pak, ini tuh bawaannya tuh..
(kepotong Pak Benny) |
Benny | F-Demokrat | Kalau bapak tidak mau, ya tidak usah! |
Barda | Pemerintah | Ya udah, ga usah saja lah! |
Benny | F-Demokrat | Iya, ga usah hadir lah! |
Barda | Pemerintah | Oh, Boleh! |
Benny | F-Demokrat | Silahkan, ya silahkan, itu urusan pemerintah! |
Barda | Pemerintah | Kok Begitu? |
Benny | F-Demokrat | Loh iya. Silahkan! |
Barda | Pemerintah | Ini masalah..
(terpotong Pak Nasir Jamil) |
TB Sumanjaya | F-PKS | Pak, Ketua, sudah Pak Ketua, mohon ijin prof. Yang juga pemerintah, yang sebetulnya juru bicaranya pak dirjen kan ya?
Jadi memang sudah menjadi tradisi kita prof, bapak juga sudah beberapa kali selalu lah permulaan membahas itu, pemerintah mengantar terlebih dahulu, setiap dim begitu prof, setiap dim. Jadi ini sudah jadi konvensi, dan juga etika, demikian. Saya pribadi juga sebetulnya kalau pada penjelasan, tentu kita semua sependapat ya. Tapi kalau ada poin yang sudah mafhum dimaklumi, sudah, saya kira tidak usah diterangkan kembali. Jadi ketika dipandang memang pemerintah perlu memberikan penjelasan, ya disampaikan. Kalau dianggap cukup, ya saya diberikan kepada pimpinan lagi. Sudah cukup jelas misalnya begitu prof. Saya kira begitu. Dan kami sangat produktif sekali. Sangat produktif sekali. Dan saya secara pribadi dan juga tadi saya ngobrol dengan profesor juga sangat memberikan informasi, sangat dapat ilmu yang banyak. Pengalaman yang luar biasa begitu. Jadi, tidak apa-apa prof menyampaikan elaborasi disini. Sejauh memang berkenaan dengan referensi yang sudah ada disini. Demikian. Saya kira kita ini sudah produktif ketua, sudah cukup bagus, hanya saja kita melihat lagi kepada mekanisme pembahasan kan? Pemerintah menerangkan, kita menanggapi pembahasan sampai kepada kesimpulan apakah dipending, ditetapkan, atau diserahkan timsin dan sebagainya.
Saya kira kita bisa berlanjut, pak ketua. Dan saya juga mohon prof tidak kemana-mana bersama kami disini ya. Karena kami sangat banyak hal yang diperlukan. Terimakasih pak ketua. |
Nasir Jamil | F-PKS | Tambahan pak ketua, tadi menambah atau melengkapi apa yang telah disampaikan pak sumanjaya tadi, saya pikir memang seperti itu selama ini, tradisi yang kita bangun saat kita masuk dalam tingkat panja, jadi pemerintah dalam hal ini pak dirjen, menyampaikan beberapa hal lalu kemudian lalu kemudian pak dirjen selaku wakil dari pemerintah bisa minta pendapat dari jajaran lain yang hadir disini ya. Sehingga kemudian sepertinya ada hal-hal yang perlu disampaikan atau mungkin bisa saja dalam pembahasan di tingkat pemerintah atau ketika pemerintah membahas ini ada hal-hal yang kemudian perlu disampaikan ke panja ini kepada DPR. Meskipun memang kalau kita lihat daftar DIM, itu kan ada fraksi fraksi yang mengosongkan, dalam artian tetap. Nah karenanya kita kembalikan lagi suasana ini dan seperti yang disampaikan Pak Sumanjaya, kami berharap kita tetap bisa melanjutkan rapat panja ini. Dan tidak ada yang meninggalkan, dan sebagainya. Kami minta kepada prof untuk tetap bisa hadir di sini dan kita lanjutkan lagi dengan istilahnya, sersan, serius tapi santai.
Terimakasih. |
Benny | F-Demokrat | Oke, bisa kita lanjutkan?
Jadi tetap pihak kita dari pemerintah pak, jadi tidak individu tertentu, pemerintah menunjuk si A jelaskan itu silahkan, jadi pemerintah. Tidak ada soal pribadi, disini. Begitu. Jadi mekanismenya begitu. Mungkin membosankan, ya iya membosankan. Kalau mau gampang saja, langsung kita ketok ini. Jadi, kita ikuti mekanisme, ikuti prosedur. Jadi kita kembali ke pasal tadi. Pasal 68 ayat (1). Ini belum bahas ini tadi, lalu supaya satu kali, tolonglah kita minta dijelaskan sekaligus a, b, c,d ,e itu kan gitu pak. Jadi reasoningnya, reasoning hukumnya. Legal reasoningnya kan gitu. Coba pemerintah jelaskan itu gimana. Ini pasal 68. Tidak usah profesor lagi lah. Gitu. Kasian kalau profesor terus nanti. Silahkan pemerintah jelaskan. |
Kemenkumham | Pemerintah | Baik, terimakasih pimpinan sidang.
Jadi, apabila merujuk pada pasal 68 disitu disebutkan, ada berbagai jenis pidana tambahan. Pidana tambahan ini memang, seperti tadi yang sudah disampaikan, sebagian besar ada 3 jenis ada yang sama dengan KUHP yang sekarang berlaku, yaitu yang a, b, dan c. Sedangkan yang d dan e itu merupakan sesuatu yang baru ditambahkan. Tadi untuk yang e, sudah disampaikan oleh prof barda, ini berkaitan dengan ketentuan perluasan dari asas legalitas, yang mengakui hukum adat, hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar untuk memidana seorang pelaku. Sedangkan ganti kerugian ini di dalam KUHP yang lama belum secara tegas disebutkan sebagai salahsatu bentuk pidana tambahan, meskipun di dalam pasal tentang ketentuan pidana percobaan atau pidana bersyarat, ini biasanya juga dijatuhkan. Untuk penjatuhannya sebetulnya kalau sesuai dengan terminologinya, pidana tambahan itu bisa dijatuhkan, bisa tidak. Berbeda dengan pidana pokok yang harus dijatuhkan salahsatu jenisnya tadi. Begitu, jadi hanya saja disini ada ketentuan yang baru yang ada di dalam pasal 68 ayat (2) disini dikatakan bahwa pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan lainnya. Nah ini sesuatu yang baru yang kita tentunya selama ini berpikir bahwa pidana tambahan itu hanya dapat ditambahkan. Jadi dijatuhkan pidana pokok, ada pidana tambahan tapi ini ada klausula yang baru yang dicantumkan di dalam ayat (2). Sedangkan mengenai uraian dari pidana-pidana tambahan itu, itu ada di belakang memang. Apa saja yang masuk dalam kelompok pencabutan hak-haknya. Itu mungkin yang bisa saya tambahkan, dari pasal 93 dan sampai dengan pasal 102. Itu uraian-uraiannya, itu yang bisa saya tambahkan, terimakasih. |
Kombespol Marbun | Kepolisian | Khusus yang e, pasal 68 ayat (1) huruf e masalah hukum yang hidup dalam masyarakat, yang kami alami di lapangan, sangat sering mendapat keadilan yang baik. Asalkan jangan dipaksakan hukum yang hidup dalam masyarakat ini misalnya dengan tekanan, atau ancaman atau menakut-nakuti dan sebagainya. Contoh : kalau misalnya di kampung tertabrak misalnya binatang peliharaan, misalnya babi. Itu masyarakat itu cenderung diselesaikan dengan adat setempat daripada dibawa ke pidana.
Cuma persoalannya ada yang lucu, misal ada pengendara mobil dan kemudian ada nenek-nenek yang menyebrang jalan, dihajar ke kanan, lalu yang tertabrak babi. Ini jadi persoalan karena ini nanti diselesaikan dengan adat, tidak dibawa ke polisi misalnya, tuntutan ganti rugi sangat mahal, ini seperti pidana denda. Apalagi babi betina lebih mahal dari babi jantan. Babi betina bisa 250 juta, begitu dibayar sama pengendara, akhirnya pulang dia dengan tidak enak, kalau tahu begitu mending kutabrak nenek-nenek. Ini kejadian di lapangan yang terjadi ini. Cuman, mediasi seperti ini, kami sarankan kepada masyarakat yang ada di daerah setempat itu, boleh saja menyelesaikan permasalahan di luar proses hukum, tapi yang paling penting diingat jangan ada pemerasan. Kedua, jangan ada ancaman misalnya nanti kau akan dibunuh oleh orang satu kampung, kemudian jangan ada tekanan. Jadi, dengan demikian kalau kita buat ini di pasal 68 e ini saya rasa membuat keadilan di masyarakat, itu sudah mengacu ini. Jadi kalau kami dari pihak kepolisian sangat setuju ini. Pasal 68 ayat (1) huruf e ini. |
Benny | F-Demokrat | Pendapat resmi kepolisian sudah setuju itu? Sudah dikonsultasikan dengan kapolri nya?
Konsultasi dulu baru ngomong disini. Jangan bapak ngomong disini baru dilaporkan. Nanti kalau kapolrinya tidak setuju, setahu saya kapolri tidak setuju dengan ini. Masih ingat kan, waktu kita bahas pasal 2 waktu itu kan? Kan dari kepolisian yang menolak. Kok lain lagi polisi ini? Makanya tadi saya tanya, betul ga ini?
|
Kombespol Marbun | Kepolisian | Kan saya diutus kesini, dikirim kesini |
Benny | F-Demokrat | Jangan bapak punya pikiran sendiri, disini atas nama institusi.
Kalau profesor lain, karena memang dia yang merancang. Tapi kalau yang itu, hati-hati.
Jadi kita kembali ke penjelasan pemerintah. |
Nasir Jamil | F-PKS | Pak ketua, ini kan dari pak kombes nih. Memang justru yang tidak setuju ini polisi, ketika menyangkut 338 kan polisi tidak mau adat. Sementara ini kan ada. Ada slot. Jadi memang ini kuncinya sebenarnya di polisi. Seringkali masalah-masalah seperti itu adat bisa, tapi polisinya ngadat.
Demikian. Kita berharap pak kombespol ini sudah masuk risalah ya, pernyataan resmi kepolisian risalah itu. |
Benny | F-Demokrat | Baik, kita putar soal ini sekaligus saja ya ini a sampai e ini, karena disini kalau tidak salah PDIP ada dalam DIM, F-PKS kami persilahkan, kami mulai dengan PDIP. Langsung saja ya. |
Erma | F-Demokrat | Pak Ketua, kalau berkenan di DIM 226 aja dulu, fraksi F-PKS untuk menyampaikan satu-satu. |
Nasir Jamil | F-PKS | Sebenarnya 226 ini, mengacu kepada DIM 227 sebenarnya. Cuman kemudian dimasukkan ke DIM 226, sebab kemudian kalau fraksi F-PKS dalam catatan ini meminta semacam penjelasan soal pidana tambahan ini tentu saya pikir hakim sudah paham betul dengan pidana tambahan ini. Jadi nanti di 227 sebenarnya fraksi F-PKS itu ingin mendapatkan gambaran dari pemerintah soal DIM ini, karena prakteknya ada mantan-mantan ketua umum partai politik yang kemudian dicabut hak politiknya dengan alasan pencabutan hak tertentu itu tadi pidana tambahan yang orang kemudian ini masih pro kontra soal pencabutan hak politik yang dilakukan oleh majelis hakim sehingga kemudian disitulah fraksi F-PKS meminta penjelasan soal ini sehingga hakim tidak memutuskan karena opini di media yang meminta agar politisi itu dicabut hak politiknya dls.
Kalau soal pidana tambahan ini harus jelas disebutkan dan tentunya ini kadang-kadang sesuatu yang buat kami dipahami selama ini soal pidana tambahan ini, barangkali demikian. |
Benny | F-Demokrat | Baik, silahkan golkar mulai satu-satu., pencabutan hak apakah ada? Normanya dulu saja disini, kalau ada batasan-batasannya nanti kita kan ada pelaksanaannya nanti. Tapi kita setuju dulu pokoknya ini. Pencabutan hak tertentu hak mana saja yang dicabut ini kita harus rumuskan nanti. Yang penting kita bahas setuju atau tidak setuju dulu dengan rumusan normanya ini.
Setuju? Pasal 68 (1) Pidana tambahan terdiri atas: (disetujui panja 22-1-2016) a. pencabutan hak tertentu (disetujui panja 22-1-2016) (ketok palu) Kemudian nanti derivasinya kita juga nanti bisa batasi pak hak-hak mana aja yang dicabut dan tidak.
Kemudian b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; (disetujui panja 22-1-2016) (ketok palu) Rumusan umum ini harus kita detailkan di belakang jangan sampai lewat nanti.
c. pengumuman putusan hakim; (disetujui panja 22-1-2016) Ada hakim ga? Bagaimana dalam prakteknya ini? Mungkin pemerintah bisa jelaskan ini dalam prakteknya kaya apa? |
Dosi | Hanura | Kita berharap maksudnya pemerintah menjelaskan ini, karena pada dasarnya, putusan hakim ini begitu dibacakan itu sudha terumumkan. Nah apakah yang dimaksud itu pengiklanan? Itu yang harus dijelaskan, karena putusan hakim itu kan terbuka tuh, gabisa tertutup kan? Apa bentuknya sosialisasi putusan hakim, atau pengiklanan? Karena kalau sosialisasi, bisa saja dalam komisi tertentu dia sosialisasi roadshow menjelaskan ada putusan ini, apakah oleh pihak yang menang, apakah oleh pihak yang diputus itu sebagai pidana tambahan, atau gimana, minta penjelasan itu aja. Terimakasih. |
Kemenkumham | Pemerintah | Sebetulnya di pasal 100 ayat (1) itu sudah dijelaskan itu ketua. Mungkin nanti kita rangkai.
Pasal 100 (1) Jika dalam putusan hakim diperintahkan supaya putusan diumumkan maka harus ditetapkan cara melaksanakan pengumuman tersebut dengan biaya yang ditanggung oleh terpidana. (2) Jika biaya pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibayar oleh terpidana maka berlaku ketentuan pidana penjara pengganti untuk pidana denda. |
Benny | F-Demokrat | Yang tadi saya bilang, detailnya nanti ada dibelakang, yang penting kita setuju dulu.
Jadi setuju ya, pengumuman putusan hakim ya? (disetujui panja 22-1-2016) (ketok palu) Nah yang d. Apa yang dimaksud dan bagaimana melaksanakan ada di belakang. Di |
Kemenkumham | Pemerintah | Di Pasal 101 itu sudah ada. |
Benny | F-Demokrat | Oke, setuju berarti ya?
d. pembayaran ganti kerugian; dan (disetujui panja 22-1-2016) (ketok palu) E ini, saya secara pribadi menolak ini, drop ini. Kalau bisa, pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. Coba bayangkan nanti, kaya apa negara ini pak. Coba golkar dulu, saya rasa sama kaya kita menolak ini. |
Ahmad Zaki | Golkar | Golkar dalam DIM 231 ini, itu dihilangkan.
pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat, Dihilangkan.. bukan tidak mewadahi kebhinekaan, tapi kemungkinan besar ini akan masuk ke dalam hukum adat. Dimana hukum adat itu nanti akan mengatur bagaimana eksistensi adat, di satu pihak memang dalam UUD 1945 adat memang dilindungi, dalam kapasitas hukum, disini barangkali perlu dipertimbangkan, dimana letaknya hukum adat. Namun demikian, di dalam kita menyusun UU, hukum adat ini pernah sampai pernah ke DPR dan sudah pernah dibahas, tapi pada saat itu nampaknya dulu sampai diketok di dalam paripurna ini tentang hukum adat ini. Jadi, saya kira golkar dalam hal ini menginginkan ini masuk di dalam hukum adat. Terimakasih. |
Benny | F-Demokrat | Baik, PDIP? Gerindra? F-Demokrat? |
Wihadi | Gerindra | Gerindra tetap. |
Didik Mukriyanto | F-Demokrat | Memang kami dari fraksi F-Demokrat melihat ini hukum adat ini cukup beragam, dan tentunya hukum adat ini banyak juga yang jadi kebiasaan dan norma yang tertulis. Sementara satu dan lain hal bahwa putusan yang berbasis formal yang diputuskan hakim ini juga bersumber pada hukum-hukum yang bisa memberikan kepastian hukum yang jelas. Kami melihat bahwa penerapan hukum adat ini, karena berbeda-beda, dan sangat keankeragaman yang cukup besar dan juga relevan atau tidak, maka ini akan menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dan subjektifitas dalam penghukuman siapa dan pada saat apa itu hukum itu dijalankan. Sehingga asumsinya kemudian bahwa pemidanaan ini sifatnya relatif. Jadi tidak memiliki unsur kepastian hukum yang gitulah. Namun, untuk itu kami melihat bahwa nanti asas kemanfaatan pidana ini juga harus memberikan sebuah perlindungan atau kepastian hukum, kalau ini berkembang kemudian asumsi dan persepsi masyarakat yang subjektif ini justru akan menimbulkan penyikapan yang berbeda. Tidak tertutup kemungkinkan juga akan menimbulkan hal-hal yang baru terkait dengan persepsi yang ada di publik, nah untuk itu terkait dengan konteks Untuk memberikan kepastian hukum, maka fraksi F-Demokrat memandang bahwa tidak setuju dengan diakomodirnya hukum adat pada huruf e. Dan merekomendasikan untuk mencabutnya. Terimakasih. |
Benny | F-Demokrat | Silahkan yang kasih catatan lagi, F-PKS? |
Nasir Djamil | F-PKS | Kalau kita melihat UU 17 tahun 2007 tentang RPJP 2005-2025, di huruf g itu menegaskan soal upaya kita untuk melakukan reformasi di bidang hukum. Jadi, reformasi di bidang hukum ini termasuk adalah pembangunan substansi hukum. Bisa hukum tertulis, maupun tidak tertulis. Lalu, yang kami pahami bahwa hukum itu memberikan yang terbaik untuk masyarakat. Apalah artinya hukum kemudian bila tidak memberikan kebaikan buat masyarakat.
Jadi, kebaikan hukum itu bukan dilihat dari bahwa ia sudah selesai legislasinya atau sebagainya. Jadi saya pikir itu yang jadi soal. Memang ini sesuatu yang ideal, artinya kita mencoba untuk menghadirkan hukum yang hidup di tengah masyarakat, dan kalau kita lihat seperti proses hukum di romawi misalnya dari kaidah-kaidah hukum adat, ketika di romawi sudah cukup baik, maka dikumpulkanlah kaidah-kaidah hukum adat itu, bahkan di inggris, perancis, juga demikian. Saya pikir kita harus pertimbangakan dengan baik, saya pikir hukum yang ada di masyarakat itu bisa jadi pidana tambahan, tapi dalam prakteknya memang itu tidak semudah yang kita bayangkan. Itu persoalannya. Kita ini punya banyak adat, bahkan satu provinsi bisa beda-beda adatnya. di Satu sisi kita ingin hukum yang di masyarakat hidup di pidana tambahan, tetapi karena setiap daerah memiliki hukum adat masing-masing maka pembahasan mengenai hal ini kita pending terlebih dahulu.
Mungkin nanti pemerintah bisa bantu Panja DPR untuk adanya simulasi soal ini sehingga kita dapat bayangan bahwa kedepan prakteknya barangkali bisa lebih baik, atau jangan-jangan ada yang tidak cocok, ya kita pindahkan ke tempat yang lain. Demikian tambahan dari kami. |
Sumandjaja | F-PKS | Memang, konsep ini tidak mudah untuk diterapkan, kalau tadi kita berapa kali menyebut, kami setuju dengan pak Nasir Jamil tadi, sebab bahwa kalau dalam aspek perdata ini tidak masalah. Tapi kalau masalah pidana, itu akan ada tarik-tarikan antara masyarakat adat dengan kepolisian. Justru pasal ini lah harus hadir menghakimi. Kami sendiri akan dalami dulu, menganggap bahwa hadirnya huruf e itu nantinya akan mengorbankan kawan-kawan kita yang lain terutama Kepolisian. |
Benny | F-Demokrat | Selanjutnya hanura. |
Dosi | Hanura | Saya kok tidak melihat urgensinya dengan tugas polisi ya. Yang e itu. Artinya secara langsung itu tidak ada. Karena yang terapkan pasal ini kan hakim. Bukan polisi. Kecuali dalam pemrosesan BAP itu, ada saat tertentu yang dihidupkan karena ada tuntutan itu dari masyarakat. Tapi kalo normal-normal aja, gak ada kaitannya ini. Karena kaitannya menjatuhkan pidana pokok dan pidana tambahan ini bukan polisi, hakim ini.
Kalau di aceh atau papua misalnya ini kalau menyinggung perasaan adat, hakim ini. Polisi kan gaboleh merumuskan, ga diberi tempat. Jadi, saya lebih setuju dan Ingin huruf e itu dihilangkan/dicabut.
Lalu pak dirjen, saya ingin ada beberapa dirjen yang hadir disini nanti yang kontekstual dengan pembahasan, pemerintah punya perencanaan memperkirakan misalnya sekarang lagi bahas pasal 64 sampai pasal 70, matangkan di pasal itu ya. Pemerintah ini yang sungguh-sungguh, karena kami anggota dewan juga ditekan sama pak ketua, besok bahas pasal ini ya.. begitu. Sehingga perdebatan kita ga panjang kedepannya. |
Benny | F-Demokrat | Kita 3 dari 10 fraksi, mengusulkan ini tidak dimasukkan dengan alasan itu tadi.
F-PKS, pending. Kenapa pending, karena yang di pasal 2 itu belum kita setujui, kalau di pasal 2 setujui, kan kita ikut pasal ini ikut kesana. Kalau F-Demokrat konsisten, yang pasal 2 kami tolak, ini juga ditolak. Golkar juga, PDIP juga. Cuman PDIP ini yang aneh, didepan mereka tolak, tapi belakang (pasal 68 huruf e) mereka setuju. Silahkan F-PPP. |
Arsul Sani | F-PPP | Ingin pembahasan tentang huruf e ini dipending. Karena pembahasan pasal 2 17 november 2015 ini memang catatannya dipending, bukan hanya pasal ini, ke belakang pun yang terkait pasal hukum adat, harus kita pending. Karena pasal 2 nya ini harus kita sepakati dulu setuju atau tidaknya. tapi kalau berubah, boleh saja berubah. |
Benny | F-Demokrat | Silahkan PKB |
Abdul Qadir | PKB | Memang ini rumit dalam implementasi. Tapi kalau melihat keberagaman, ada baiknya di akomodasi. Kita coba nanti ada simulasi agak mendalam, karena akhir-akhir ini kita banyak ikut barat gaya hukum barat, akhirnya kepribadian kita sendiri hilang. Olehkarena itu, kalau ini diakomodasi, kita akan punya warna sendiri hukum kita.
Jadi, kami Ingin huruf e jangan langsung diputus tolak atau diterima. Cari waktu khusus untuk membahas hal ini. Kalau dibahas hari ini saya kira akan panjang, apalagi konfigurasi politiknya berimbang. |
Benny | F-Demokrat | Selanjutnya Nasdem. |
Taufiqul Hadi | Nasdem | Kami telah melakukan beberapa FGD, dan ini akan menyusahkan penegak hukum. Menurut saya ini penting, karena kekayaan hukum di indonesia yang tidak dimiliki negara lain. Jadi, kami Ingin huruf e ini tetap ada. |
Benny | F-Demokrat | Selanjutnya Gerindra. |
Wihadi | Gerindra | Kami Gerindra meminta harus ada penjelasan terlebih dahulu mengenai kewajiban pemenuhan hukum adat setempat. Hukum adat dahulu yang kita lihat yaitu hukum adat yang mana yang ingin dipakai. Makanya kita butuh penjelasan yang jelas. |
Benny | F-Demokrat | Selanjutnya PDIP |
Risa Mariska | PDIP | Ingin pembahasan mengenai kewajiban hukum adat untuk dipending terlebih dahulu. |
Benny K Harman | F-Demokrat | Baik, itu tadi pandangan-pandangan 10 fraksi. 3 fraksi tegas mencabut, 1 fraksi tetap, fraksi yang lainnya mengendaki untuk dipending. Kenapa begitu, karena ini tersangkut banyak pasal dan sumber pokoknya ini menyangkut asas legalitas.
Pemerintah setuju untuk dipending ini ya?
|
Kemenkumham | Pemerintah | Ya, Setuju |
Benny | F-Demokrat | Oke, Baik.
Jadiiin catatan ya. Catatan : bagian huruf e ini dipending, menunggu keputusan pasal 2 ayat (1) tentang asas legalitas. (ketok palu)
Selanjutnya pasal 68 ayat (2), DIM 232 isinya: (2) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain.
Yang harus didudukkan terlebih dahulu apakah pidana tambahan bisa berdiri sendiri atau tidak? Sehingga kita bisa menyepakati bahwa tambahan bisa berdiri sendiri atau bergantung dengan pidana pokok. Tapi pokok juga tidak harus ada tambahan. |
Kemenkumham | Pemerintah | Ini sebetulnya pidana tambahan dapat dijatuhkan berdiri sendiri dalam konteks yang e ketika itu dasarnya adalah hukum adat. |
Benny | F-Demokrat | Gabisa dong.
Kalo misalnya argumentasinya begitu, mestinya huruf e itu masuk pokok. Jangan masuk tambahan. Kalau kita konsisten dengan itu, huruf e tidak boleh jd pidana tambahan? Jadi kita ini pending baru substansinya, belum statusnya. Dia ini otonom atau dependen. Kalau pidana tambahan ini kan yang saya lihat itu dia tidak otonom, gabisa berdiri sendiri. Kalau begitu, usul saya
(1) pidana tambahan sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a sampai d hanya dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok atau pidana yang bersifat khusus
|
Dosi | Hanura | Tempatnya itu bukan disitu, kalau tidak Pasal 65 ya Pasal 66, sejak awal sudah ditegaskan pidana tambahan itu tidak mungkin. |
Benny | F-Demokrat | Jadi, nanti formulasi pidana tambahan pokok itu, bisa depend on pidana pokok atau pidana yang bersifat khusus.
Kalau kita sudah setuju. Yang belum kita putuskan bentuknya seperti apa. Dan belum kejawab sama pemerintah ini, pidana tambahan ini berdiri sendiri atau yang tergantung pada pidana pokok dan khusus. Kalu udah ini, kita formulasikan.
Rumusan baru : disesuaikan dengan hasil kesepakatan Pasal 65 A ayat (1) huruf c dan Pasal 68 ayat (2) mengenai jenis pidana (disetujui Panja 22-1-2016) |
Kemenkumham | Pemerintah | Pidana tambahan adalah pidana yang melekat pada pidana pokok, walaupun tidak selalu apabila dijatuhkan pidana pokok harus selalu ada pidana tambahan. |
Benny | Iya paham, kita minta kita jelaskan yang kita minta saja. Karena kalau ga kita minta tapi ibu jelaskan, nanti capek.
Kalo capek bawaannya emosi mulu.
Jadi kalau hukum pidana aceh itu pak, sepenuhnya tunduk pada UU pemerintahan aceh. Jadi ga usah takut itu pak. |
|
Dosi | Hanura | Kalau pidana mati kan ga perlu pidana tambahan lagi toh? |
Kemenkumham | Pemerintah | Misalnya perampasan barang tertentu itu masih bisa |
Benny | F-Demokrat | Berarti ayat (2) nya
Usul baru (2) pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok atau pidana yang bersifat khusus
dengan catatan Rumusan baru : disesuaikan dengan hasil kesepakatan Pasal 65 A ayat (1) huruf c dan Pasal 68 ayat (2) mengenai jenis pidana (disetujui Panja 22-1-2016)
Iya, prof silahkan |
Barda | Pemerintah | Saya hanya mau memberikan catatan Ada hal-hal pemikiran baru yang seyogianya dipikirkan dengan tenang, saya khawatir ide-ide baru yang belum ditangkap bapak-bapak hanya ditangkap secara sepintas dalam pemikiran tradisional, misalnya :
pemikiran pidana tambahan harus dilekatkan pada pidana pokok. Itu pemikiran yang lama. Seolah-lama pidana pokok harus tercantum. Dalam tataran konsep tidak begitu, jadi walaupun pidana itu tidak tercantum dalam rumusan delik, itu bisa dijatuhkan oleh hakim. Misalnya : delik hanya diancam dengan pidana penjara.. dengan pidana denda.. itu sistem tunggal. Di kita, di dalam KUHP aturannya hanya pidana, tidak ada pedoman. Misalnya aturannya menyatakan kalau pencuri, dipenjara. Itu aturan. Jadi ada pidana yang dirumuskan secara tunggal, tapi tidak ada penjelasannya tunggal itu secara apa, apa Cuma satu, itu saja? Nah didalam konsep itu ada penjelasannya, kalau itu satu, dia bisa menjatuhkan yang tidak tercantum, sama seperti KUHP belanda sekarang, jadi di belanda sendiri pun sudah bergeser cara-cara berpikir yang pasti (kepastian hukum) ke prinsip2 flexibility of sentencing. Bukan hanya pada kepastian. Jadi di KUHP kita hanya ada sistem tunggal. Hanya ada sistem alternatif. Diancam pidana penjara, atau denda, itu artinya apa? Tidak ada. Pedomannya tidak ada. Jadi diartikan seolah-olah penjara atau denda ya milih salahsatu. Apa betul begitu? Nah konsep tidak begitu. Konsep bisa milih satu pake azas. Konsep boleh milih 2 atau salahsatu. Bahkan di berbagai negara bertolak asas flexibility of sentencing, hakim boleh memilih berbagai obat, terhadap pasiennya itu terserah hakim. Itulah asas flexilibity of sentencing, Karena hakimlah yang mengetahui penyakit dari si pasien itu. Jadi walaupun deliknya sama, tapi si pasiennya kondisinya berbeda2. Itu obatnya bisa bermacam-macam itu filosofinya. Sehingga Mohon maaf kalau ini yang dianggap oleh pak ketua sebagai penjelasan yang terlalu panjang, saya ingin singkat aja sebetulnya. Mohon hal-hal baru pemikiran baru dalam konsep Misal bapak lihat pasal 60, bunyinya:
“Jika tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda maka dapat dijatuhkan pidana tambahan atau tindakan.”
Jadi hanya pidana tambahan itu bisa.
Jadi inilah yang saya maksud, tolong saya yang membuat ini kadang-kadang lupa, harusnya saya tuh diberitahu lebih dahulu, bahwa hari ini agendanya ini, nanti saya mempersiapkan penjelasan. Ini ga dikasih tau soalnya. Ya mendadak semua itu. Jadi saya saja yang membuat bisa lupa, apalagi bapak-bapak. Itu saya sadari. Jadi inilah yang saya maksud, Pak Benny mohon maaf ini sudah 51 tahun, berubahnya berulang kali. Dan yang berubah nya pun kita tidak tahu dimana itu. Makanya saya coba menelusuri itu. Jadi sekali lagi, jangan sampailah pemikiran yang sudah 51 tahun yang coba dituangkan dan di try out kan di berbagai seminar ini tiba2 hilang begitu saja hanya dalam rapat ini. Sekian. |
Sumanjaya | F-PKS | Ijin pak ketua, Kita sudah membiasakan menggunakan alternatif dan kumulatif itu dalam satu tarikan nafas, agar tidak terjadi penafsiran. Ini juga sekaligus untuk membatasi kemerdekaan hakim.Ketika perancang UU punya pandangan juga, yang paling aman mungkin begitu prof, ketika dia alternatif, kita siapkan alternatifnya. Ketika kumulatif, kita berikan kumulatifnya. Tapi dia mengikat, perumusan normanya sudah begitu.
Saya khawatir kalau dilepas seperti penjelasan barusan, karena pemahaman saja, tapi kalau disediakan alternatif dan kumulatif itu akan berbeda. |
Benny | F-Demokrat | Apakah pidana tambahan ini depend on atau bisa berdiri sendiri? Itu kan pertanyaan kita.
Lalu dijawab oleh pemerintah, depend on, ya kan? Kecuali huruf e. Kalau itu, makanya saya tanya lagi pemerintah, betul ga ini? Jangan-jangan ini penafsiran ibu saja. Mohon maaf kalau bahasa saya bahasa lugas, nggak ada sopan santun aja disini, bahasa akal sehat. Apa betul ini pemerintah? Ternyata tadi prof bilang ga bener, kan gitu. Ada latar belakangnya. Nah ini soal gitu loh. Ini lah sebabnya makanya saya minta, Ini sebabnya saya minta pemerintah tolonglah setiap pembahasan di panja, pengawal untuk guru besar ini. Bahkan saya minta 5 orang waktu itu. Lalu setiap pembahasan pasal, mohonlah pemerintah jelaskan lebih dulu itu, itu tatacara pembahasan. Kembali pada pasal tadi, ternyata bukan begitu maksudnya. Jadi pak dirjen, mana yang bener ini? Kalau gitu kita tutup aja yah. Karena ini pemerintah ini sendiri ga jelas. Mana yang harus ini? Diminta untuk jelaskan, ngomel. Jadi kita, kembali malam aja ya jam 20.00. (ketok palu) |
20:45-22:30
Benny K Harman Fraksi Demokrat Dapil NTT 1
Pasal 68 ayat 2,rumusan asli kan pidana tambahan dpt dijatuhkan bersama pidana pokok sbg pidana yang berdiri sendiri atau bersama pidana lain. Jadi pidana pokok dan tambahan kedudukannya adalah sama,sebetulnya pidana pokok semua,tidak usah pakai tambahan.
Dossy Iskandar Fraksi Hanura Dapil Jatim 8
Kerangka pikir kita adalah disamping logika yang secara umum dpt dipahami bhw makna tambahan slalu brgantung pd yg pokok,sehingga pemerintah mnjwb seperti itu. Untuk memperkuat argument,sbgmn yg dipaparkan prof barda adlh,krn dipandang efektif,pidana tambahan bisa saja tanpa pidana pokok. Dalam rangka itu prof,sy ingin sampaika bhw pidana pokok berdiri sendiri,tp memunculkan pertanyaan bhw dg menempatkan pidana tambaha out independen atau berdiri sendiri mk memunculkan kekhawatiran akan terjadipenyelewengan oleh hakim,atau mafia penjatuhan pidana. Karena ada konstruksi lain yang membatasi,orang terkena korupsi,sudah dicabut saja politiknya tanpa pidana pokok,potensi ini hrs kita baca sekarang. Krn itu pimpinanharus dipandang perkembangan soal wawasan hakim,sistem hukum eropa amerika berbeda,ini soal pertumbuhan pemikirannya. Apalagi hakim senior masih berpedoman pada straafrecht sehingga bersumber pada ajaran lama. Kalau mau dibuka hrs ada kuncinya,ada penyangga utk menghalau.
Erma Suryani Fraksi Demokrat dapil Kalbar
Dg demikian rumusan pasal 68 ayat 2 tetap mengacu pd pidana tambahan mesti mengacu pada pidana pokok atau pidana tambaha yg lain,jd diusulkan tambahkan satu konsepsi lagi,kenapa pidana tambahan berdiri sendiri krn soal sanksi adat tadi
TB Soemandjaja Fraksi PKS dapil Jabar 5
Pidana pokok adalah variable independen,wacana yg sangat menarik krn blm pernah terjadi di Indonesia,selalu pd pdana pokok. Pemidanaan itu memberatkan bagi hukum,kemudian lagi pidana tambahan. Mungkin kita bisa bikin terobosan soal ini.
Benny K.Harman fraksi Demokrat dapil NTT 1
Diskusi kita terakhir begini juga,kenapa kita tidak hilangkan saja pidana pokok dan tambahan,tetapi kita masukan saja jenis2 pidana itu. Menurut saya kita tetap lanjutkan dengan pengambilan pembuatan rumusan mengenai pasal ini,untuk menyambung koherensi antara pidana pokok dan tambahan. Kita dewan tetap membuat rumusan baru seperti yg disepakati,tambahan seperti ayat 1 huruf b hanya dapat dijatuhkanbersama-sama dengan pidana pokok.
Prof Barda
Tawaran tadi,sy tidak menghadapkan pemikiran lama dengan pemikiran modern.antara pemikiran pembaruan dg alternative,jd ada ide-ide yg inkonvensional didalam RKUHP,yg konvensional mengatakan pidana tambahan itu slalu ikut pidana pokok,ada betulnya. Kata pak soemandjaja mungkin kita terpengaruh sebutan adanya pidana pokok dan pidanatambahan,olh krn itu ada tawaran model baru,pidana itu tidakperlu dibagi lagi apakah pokok atau tambahan. UU boleh memilih seperangkat sanksi yang boleh dipilih. Bagi kita yang konvensional selama ini apabila merumuskan delik slalu diikuti pidana,itu menunjukkan dg perbuatan. Ada di beberapa model di beberapa negara,kembali sekarang kepada pilihan sikap,apa kita mau menyatakan bahwa apa pidana tambahan itu bisa berdiri sendiri atau tidak,mengapa tidak menolak rumusan pada konsep,seperti tadi pasal 60,ada jenis pidana yang diancam tunggal,apa tunggal itu? Apabila diancam dengan denda saja,itu ringan kan,itu dianggap delik ringan,oleh karena itu bisa naik ke pidana tambahan,jadi pidana tunggal,bisa hanya jatuhkan yg tidak disebut,bisa dijatuhkan. Ini model filosofi yang elektrisiti tadi,tapi kewenangan hakim ada rambu2nya.
Taufiqulhadi fraksi Nasdem dapil Jatim 4
Rumusan terakhir pasti belakangan,ya lebih baik disepakati saja tidak perlu dicabut dari pemerintah
Benny K.Harman fraksi Demokrat dapil NTT 1
Makanya kita ikuti rumusan pemerintah. Pidana tambahan yg berupa pencabutan hak tertentu,apabila terpidana adlh korporasi,krn itu hakim dapat menjatuhkan pencabutan hak,meskipun dalam pidana,ancamantsb tdk dicantumkan.
Prof Barda
Tidak harus tercantum pidana tambahan,cth konkret pasal 60.
Benny KH
Pemerintah perlu konsolidasi naskah ini,dalam bayangan kita pemerintah datang mempertahankan gagasan ini.
TB Soemandjaja fraksi PKS dapil Jabar 5
Sejauh ini ygkita simak ya mendasar
Dossy fraksi Hanura dapil Jatim 8
Fakultatif tidak bisa berdiri sendiri,jangan dipending nanti ga terbahas. Sy usul pemerintah diberi kesempatan lagi,disamping usul pak soemandjaja,naskah yg diputus harus disiapkan. Sy usul jangan dipending
Perwakilan Pemerintah
Saya kira apa yg ada dalam draf ini,yg saya pahami bisa saja jadi suatu masalah,bahwa pidana tambahan itu pada dasarnya seperti itu,disini membuka peluang utk memberi ruang pd hakimdimana pidana yg tingkatan rendah utk dijatuhkan pidana tambahan. Artinya pidana tambahan tidak berdiri sendiri,prinsipnya pidana tambahan dijatuhkan penambah pidana pokok. Apabila dianggap rendah maka diberi ruang,pasal 60 saya kira beri ruang pd hakim khususnya denda.
Dossy
Kita ga bahas pasal 60,tetapi wacana pasal 60 seperti yg bapak sampaikan itu benar.
Benny KH
Kita akan ngomong soal pengecualian-pengecualian yg bapak sampaikan,tapi kita bicarakan pokok saja dulu
Perwakilan Pemerintah
Pada prinsipnya pidana tambahan berdiri sendiri,jangan selalu dipenjara orang itu,penuh penjara ini,beri ruang pada hakim. Kalau tidak bisa bayar denda ya kita kasih pidana tambahan.
Arsul Sani: kalau kita bicara tentang kewenangan hakim menjatuhkan vonis ini kan dibuka semangatnya,antara lain pidana penjara dsb. Pertanyaan saya krn pidana pokoksudah luas,dari penjara turun pengawasan,denda dan sosial. Apamasih perlu kita membuka sbuah ruang dimana hakim mengganti pidana pokok dan jadi tambahan?
Benny KH
Kita setuju dulu pidana tambahan sifatnya adalah independen.
Catatan: Penjatuhan Pidana Tambahan yang berdiri sendiri akan dikonsolidasikan terlebih dahulu oleh pemerintah
Prof Barda:
Benny KH: Kita sepakat jadi dua jenis,pidana pokok dan tambahan. Dr segi legal reasoning yang harus dijawab adalah bagaimana status keduanya ini,pidana tambahan sebagai apa pada pidana pokok. Pengertian kita tadi pidana tambahan melekat pada pidana pokok,maka ia tidak berdiri sendiri.
Arsul Sani Fraksi PPP dapil Jateng10 : Saya bisa memahami filosofis yg disampaikan prof barda,kita perlu formulasi kalimat yang lebih tepat,secara jiwa nya saya bisa menerimanya. Supaya tidak ada debat “pidana tambahan kok bisa berdiri sendiri”
Benny KH: Kita pending lagi kita beri kesempatan pemerintah beri usulan baru soal ini.
Prof Barda: Pendapat pak arsul tentang jiwa,semangat,konsep dan tata Bahasa. Yang mau dipilih itu rasa bahasa atau jiwa ? Konsepnya ?Artinya mau dipilih konsepnya pidana tambahan bisa berdiri sendirikah ? atau konsep lama KUHP ?
Dossy : Pertanyaannya adalah bagaimana jika hakim,bagaimana pidana penjara jika kuncinya berdiri sendiri?
Prof Barda : Saya dari rumusan ini saja,disini menyatakan bahwa pidana tambahan bisa mandiri kalau pokoknya hanya denda. Salah satu sifat kaku adalah perumusan tunggal,penjara atau denda,karena bersifat imperatif,itu satusatunya. Padahal logikanya hakim melihat pada orang,terhadap pidana tunggal ada pada pasal 59. Kalau hakim tidak mau menjatuhkan penjara ya jatuhnya ke denda. Ini tersedia hanya utk delik yang diancam pidana denda. Pidana tunggal itu bisa dibaca pidana alternative,suatu delik kalau diancam dg pidana denda maka dibaca alternative. Kalau tunggal berulang kali maka bisa penjara. Inikan sesuatu yg tidak konvensional. Fungsi pedoman bisa memfleksibelkan sesuatu seperti di Belanda. Pasal 9 ayat 3 WVS belanda saat ini ada ketentuan saat ini.
Benny KH: Kita ga mungkin bahas UU yg sangat penting ini di situasi yang gelap,sy usulkan skors 6x24jam,kita bisa mulai lagi kamis jumat sabtu. Tempo 6 hari ini kita meminta pemerintah konsolidasi naskah dari awal,pasal-pasal yang saya sebutkan sehingga kurang lebih seminggu ini pemerintah bisa kerja dan kita mulai kamis. Kamis kita mulai dg presentasi dari pemerintah.Yang kedua kita mohon ada perwakilan MA,Kejaksaan dan Kepolisian. Mohon dimengerti kami politisi jadi mohon maaf jika kami selalu minta dijelaskan. Bukan karena kami tidak berusaha memahami,bagaimana kita sepakati skors?
PerwakilanPemerintah: Izin ketua,usul 10 hari
Arsul: sy kira ide yg bagus untuk pemerintah mengkonsolidasikan,kami juga mohon dicantumkan apa yg ada dalam DIM.
Ichsan Soelistio fraksi PDIP dapil Banten 2: pak dirjen jgn terlalu lama,apa yg jadi persoalan ini fokus dulu diselesaikan,jadi dikluster2 sedikit aja
Nasir Djamil fraksi PKS dapil Aceh 1: Laksanakan saja yg selama ini kita jalankan. Kita sebaiknya mengancang2 DIM berapa saja yang harus kita bahas meski kadang meleset,dgdemikian pemerintah siap membawa pihak mana saja yang dibawa,barangkali yg dianggap patut dibawa pemerintah dg dim yg dibahas.
Zacky Siradj fraksi Golkar dapil Jabar 11: Yg dittd pak jokowi kemungkinan besar tidak tercantum dalam draf baru KUHP,dalam waktu konsolidasi seminggu itu sy minta pak dirjen meninjau kembali kejelasan-kejelasan itu. Kepada tim ahlinya,pak dirjen harus berikan tema-tema yang akan dibahas. Sangat memprihatinkan seorang pakar lupa apa yang akan dibahas.
Dwi Ria fraksi PDIP dapil Kepri: Perlu diminta hadir yang memiliki visi terkait yang akan dibahas seperti Mahkamah Agung,saransaya bisa saja ada forum lobi ketika diskors bisa dimanfaatkan pemerintah untuk melobi kawan-kawan sambil menyamakan persepsi yang disampaikan. Biasanya lobi-lobi itu mudah untuk saling menyesuaikan dan menyamakan persepsi,mudahmudahan kita bisa meningkat lagi daripada begini saja.
Benny KH: Bagaimana kalau kita adakan kunjungan kerja terkait hukum adat,seperti ke Kalimantan,bali atau aceh. Bali atau Kalimantan? Oke kita skors kita kunker ke Bali,kita sepakat mulai lagi. Kita mulai lagi kamis tanggal 4 februari.