Jelimet RKUHP, dari Penentuan Ancaman Pidana hingga Kejahatan HAM Berat
Sejumlah isu dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tetap menjadi perhatian banyak kalangan. Mulai dari pasal keasusilaan hingga hukum yang hidup di masyarakat. Hingga pada akhirnya terkait pola penentuan ancaman besaran hukuman pidana.
Direktur Pelaksana Institute Criminal fo Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, mengaku terus melakukan pemantauan setiap pembahasan RKUHP di DPR maupun di luar parlemen. Dari sejumlah isu yang pending, pola dan penentuan ancaman pidana menjadi bagin penting dalam pembahasan RKUHP. Sejumlah catatan pun diutarakan ICJR beserta Aliansi Nasional Reformasi KUHP.
“Khususnya pola dan penentuan besaran ancaman pidana, khusus pidana penjara dalam RKUHP,” ujarnya di Jakarta beberapa waktu lalu.
Menurut Eras, RKUHP tidak memiliki metode dalam merumuskan ancaman hukuman terhadap seluruh perbuatan pidana. Sebab dalam naskah akademik RKUHP tidak menyebutkan dengan tegas mekanisme merumuskan dan penentuan ancaman pidana terhadap semua tindak pidana di RKUHP.
Metode Delphy yang belakangan digunakan pemerintah dan Panja memang dikenal sebagai salah satu metode penelitian. Metode tersebut menjadi jalan dalam mencari titik temu terhadap berbagai pandangan yang kemudian disilangkan menjadi kesimpulan. Metode Delphy diperkenalkan pemerintah untuk mencari besaran hukuman.
“Itu sebabnya metode ini merupakan metode yang digunakan Jaksa Penuntut Umum dalam merumuskan tuntutan pidana, yang tentu saja tidak dapat dipersamakan dengan metode penentuan pola dan besaran ancaman pidana dalam konteks legislasi,” ujarnya.
Eras dan yang juga anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP itu menilai metode Delphy hanya mendukung argimen dalam penentuan besaran ancaman pidana. Namun, pola tersebut dinilai amatlah eksesif, bahkan berpotensi menimbulkan overkriminalisasi. Pratiknya, pemerintah tak pernah melakukan evaluasi terhadap penjatuhan pidana melalui tuntutan yang dilakukan penuntut umum di persidangan pengadilan.
Hasil riset yang dilakukan aliansi dan ICJR, kata Eras, menemukan dalam isu perbuatan zina, pemerintah menaikkan ancaman hukuman dibandingkan dengan KUHP. Pada RKUHP ancaman hukumannya menjadi 5 tahun penjara. Sedangkan ancaman dalam KUHP hanya ancaman pidana 9 bulan penjara.
“Padahal Pengadilan menjatuhkan pidana untuk delik ini rata-rata 3,5 bulan. Ini menunjukkan, pada saat menentukan ancaman pidana, pemerintah tidak memiliki dan melakukan penelitian apalagi evaluasi terkait praktik penjatuhan pidana di pengadilan,” tambahnya.
5 Langkah
Atas dasar itulah aliansi bersama ICJR memberikan rekomendasi 5 langkah yang dapat ditempuh DPR dan pemerintah dalam menentukan besaran ancaman hukuman pidana terhadap semua perbuatan pidana yang diatur dalam RKUHP. Pertama, terhadap delik yang diduplikasi dari KUHP, maka pemerintah dapat menggunakan ancaman yang sama.
“Pada dasarnya akar pemidanaan dalam RKUHP masih meniru dari KUHP yang saat ini berlaku,” ujarnya.
Kedua, ketika terjadi pemberatan tindak pidana dari delik yang sudah ada dan diatur dalam KUHP, maka patokan delik umumnya, mesti merujuk pada ancaman pidana yang terdapat dalam KUHP. Ketiga, DPR mesti mendesak pemerintah melakukan penelitian dan evaluasi terhadap praktik penjatuhan pidana di Pengadilan.
Nah, hasil penelitian dan evaluasi itu mesti disinkronkan dengan ancaman pidana yang direkomendasikan. Bila hasil penelitian menunjukkan bahwa tuntutan dan putusan pidana selama ini cenderung kecil, maka tidak ada alasan untuk menaikkan ancaman pidana. Hal tersebut dapat dilihat dari pidana pencemaran nama baik yang ternyata rata-rata penjatuhan pidananya 3 bulan penjara. Begitu pula dengan perbuatan zina, rata-rata ancaman hukuman pidana 3,5 bulan penjara. “Maka tidak ada alasan pemerintah untuk menaikkan ancaman pidana,” ujarnya.
Keempat, DPR dan pemerintah mesti memaksimalkan serta mengefektifkan dan mengimplementasikan pidana denda dalam RKUHP. Hal tersebut sebagai bentuk jenis hukuman pidana yang dapat menggantikan jenis pidana penjara. Menurutnya, langkah tersebut dalam rangka mengurangi jumlah orang yang masuk ke dalam rumah tahanan dan Lapas.
Kelima, pemerintah dan DPR perlu mempertimbangkan khususnya soal beban biaya penegakan hukum. Sebab praktiknya upaya kriminalisasi sebuah perbuatan hanya dilandasi pertimbangan politik daripada beban biaya penegakan hukum. Menurutnya, tanpa melakukan evaluasi dengan memasukkan pertimbangan beban biaya penegakan hukum, maka akan terjadi “kebocoran” APBN untuk upaya penegakkan hukum pidana.
“Pemerintah selama ini lalai, karena hampir dapat dipastikan di semua undang-undang pemerintah tidak memiliki pertimbangan yang jelas terkait penentuan pidana,” ujarnya.
Terpisah, anggota Panja RKUHP Arsul Sani dalam praktik pasca penentukan sanksi pidana, pemerintah berjanji bakal mempersiapkan infrastrukturnya. Sebab dalam pemberlakuan RKUHP setelah disahkan menjadi UU, terdapat 2 tahun masa jedanya. Boleh jadi, masa dua tahun itu pemerintah mempersiapkan segala sesuatunya.
Terkait dengan rekomendasi ICJR dan aliansi, Arsul menjadikan sebagai masukan yang positif. Menurutnya, dalam penentuan ancaman sanksi hukuman pidana pemenjaraan menggunakan Delphy sistem. Menurutnya, Panja dan pemerintah melakukan klasifikasi kejahatan ringan, sedang dan berat.
“Baru kalau berat range-nya sekian sampai sekian,” pungkas anggota Komisi III dari Fraksi Partai Pesatuan Pembangunan itu.
Kejahatan HAM Berat
Sementara itu, Komnas HAM mendesak agar pengesahan RKUHP ditunda karena ada sejumlah ketentuan yang perlu dikaji lebih lanjut. Salah satu ketentuan yang disoroti Komnas HAM mengenai pengaturan tindak pidana khusus, terutama terkait kejahatan HAM berat. Komnas HAM menilai penundaan penting mengingat KUHP sebagai UU pokok yang mendasari hukum pidana.
Komisioner Komnas HAM bidang pengkajian dan Penelitian, Mohammad Choirul Anam, mengusulkan agar pidana khusus itu tidak dimasukkan dalam RKUHP tapi UU khusus.
Pidana khusus menurut Anam memiliki prinsip yang berbeda dengan pidana umum. Misalnya, dalam pidana umum ada prinsip nebis in idem dan daluwarsa, tapi prinsip itu tidak bisa berlaku begitu saja untuk kasus pelanggaran HAM berat karena ada prinsip yang berbeda.
Berbagai bentuk kejahatan HAM berat seperti kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, kejahatan perang, dan kejahatan agresi merupakan jenis tindak pidana luar biasa sehingga perlu diatur secara khusus melalui UU tersendiri. “Merevisi UU No.26 Tahun 2000 jauh lebih strategis daripada memasukan kejahatan HAM berat dalam KUHP,” kata Anam dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (2/2).
Peneliti Komnas HAM, Nurohman Aji, menjelaskan hasil kajian Komnas HAM menemukan ada pengaturan yang absurd mengenai tindak pidana HAM berat yakni pelanggaran HAM berat digabung dengan konsep pidana umum. Kemudian, frasa ‘setiap orang’ sebagaimana diatur dalam BAB IX RKUHP menunjukkan yang disasar adalah person, bukan peristiwa pelanggaran HAM berat.
Kemudian, ada penghilangan 2 bentuk kejahatan yakni kejahatan perang dan kejahatan agresi. Padahal kedua jenis kejahatan itu ada dalam draft RKUHP tahun 2015. Akibatnya, tidak ada pertanggungjawaban komandan dalam dua kejahatan tersebut, dikhawatirkan akan menimbulkan impunitas. “Kami mengusulkan ketentuan dalam BAB IX dikeluarkan dari KUHP,” urainya.
Perjudian
Anam juga mengkhawatirkan arah politik pemidanaan RKUHP seperti pengaturan tentang perjudian yang menekankan pada pentingnya perizinan. Dalam usulan tertanggal 16 Januari 2018, Pasal 505 RKUHP intinya mengatur ancaman pidana paling lama 9 tahun bagi setiap orang yang tanpa izin bermain judi. “Ini artinya judi yang mengantongi izin itu legal, sedangkan judi yang tidak berizin itu ilegal,” tukasnya.
Pasal 505 RKUHP (Usulan 16 Januari 2018)
(1) Dipidana dengan penjara paling lama 9 tahun, setiap orang yang tanpa izin: a. Menawarkan atau memberi kesempatan untuk main judu dan menjadikannya sebagai mata pencahariannya atau turut serta dalam perusahaan perjudian; b. Menawarkan atau memberi kesempatan kepada umum untuk main judi atau turut serta dalam perusahaan perjudian, terlepas dari ada tidaknya suatu syarat atau tata cara yang harus dipenuhi untuk menggunakan kesempatan tersebut; atau c. Menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai mata pencaharian |
Atas dasar itu, Anam mengusulkan agar dilakukan uji dampak karena RKUHP akan berlaku sebagai UU payung atau pokok dalam urusan pidana. Misalnya, ada perluasan tindak kriminalisasi, semangatnya menghukum orang secara masif. “Kita punya masalah penjara yang kelebihan kapasitas. Maka uji dampak itu penting, jangan sampai bersemangat mempidana dan membangun banyak penjara tapi mengabaikan kebutuhan publik lain seperti membangun gedung sekolah,” pungkasnya. (ADY)
Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a7562100eec7/jelimet-rkuhp–dari-penentuan-ancaman-pidana-hingga-kejahatan-ham-berat