Kerap Bermasalah, Kewenangan Menkumham Ngasih Remisi Dicabut Aja

Aliansi Reformasi KUHP mendesak pemerintah dan DPR mengkaji kembali prinsip pemidanaan dalam merumus­kan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Selama ini, sistem pemidan­aan di Indonesia masih mendukung hukum yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Buktinya, aparat penegak hukum rajin mengirim orang ke penjara. Sebaliknya, pemerintah rajin mengumbar remisi bagi pelaku tindak kejahatan luar biasa.

Direktur Central Detention Studies (CDS), Ali Aranoval mengusulkan agar semangat yang diangkat dalam revisi KUHP adalah semangat non cus­todial di mana penegak hukum berusaha seminimal mungkin memasukkan pelaku pidana ke penjara.

Semangat tersebut dapat di­realisasikan dengan membuat pengaturan yang jelas soal pem­berian remisi. “Remisi itu ada dua langkahnya, lewat putusan pengadilan dan oleh pemerin­tah. Di Indonesia, remisi hanya diberikan Menkumham,” ka­tanya di Jakarta, kemarin.

Untuk pemberian remisi bagi terpidana dengan hukuman dua tahun ke atas, hakim dapat me­nyatakan terpidana tidak menda­pat remisi.

Dalam Pasal 58 pada rancanganrevisi KUHP, permo­honan remisi dapat dilakukan narapidana, wali, hakim, jaksa dan pengawas.

“Yang dimohonkan ini bukan hak, tapi jenis pidana yaitu pokok dan tambahan. Lama huku­man bisa berubah,” katanya. Pihaknya meminta wewenang Menkumham memberikan re­misi dicabut karena selama ini dalam pemberian remisi banyak permainan dan manipulasi.

“Lalu diserahkan kewenangan memberikan remisi itu pada ha­kim supaya kita tiap tahun tidak ribut soal pemberian remisi,” tandasnya.

Koordinator Bantuan Hukum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Julius Ibrani mengatakan, sistem pemidanaan harus mampu mere­habilitasi para terpidana.

“Ada pikiran sesat dalam mengurusi pemidanaan, teru­tama pada pemberian remisi, asimilasi, hingga pembebasan bersyarat,” katanya.

Hak-hak para terpidana terse­but selama ini disebut pemerin­tah sebagai hak asasi manusia (HAM). Padahal, semua itu adalah hak yang melekat namun bersyarat.

“Gara-gara salah kaprah soal pemberian remisi ini banyak koruptor dan penjahat kakap mendapat remisi yang luar biasa.Sementara, pemerintah sangatbersemangat menghukum pelaku kejahatan kecil-kecilan,” ungkapnya.

Julius mengkritik pemahaman pemerintah soal double punish­ment jika seorang narapidana tidak diberi remisi. “Jika seorang dihukum lima tahun tanpa remi­si, maka dia tidak bakal dihukum lebih lima tahun, tapi pemerintah menyebutnya sebagai double punishment karena tidak ada remisi,” sebutnya.

Pemberian remisi harus ada indikator yang jelas. Pasalnya, perilaku pelaku kejahatan tidak berubah meski ditahan di lem­baga permasyarakatan (lapas).

“Pembinaan di lapas harus diberitahukan secara terbuka kepada masyarakat, bukan seke­hendak pemerintah saja memberi remisi tanpa kita tahu bagaimana pembinaan terhadap narapidana, bahkan kita juga melihat banyak kepentingan lain di luar penga­dilan dalam pemberian remisi,” tandasnya.

Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho mengeluhkan koruptor di Indonesia sering kebanjiran remisi.

“Setiap hari kemerdekaan dan hari raya keagamaan pemerintah dikritik karena memberi remisi kepada koruptor. Di sini, kita perlu pertanyakan komitmen pemerintah terhadap pemberan­tasan korupsi,” katanya.

Dia menuturkan, banyak ko­ruptor yang tidak memenuhi syarat tapi tetap diberikan re­misi. Bahkan, pemerintah tengah berusaha merevisi Peraturan Pemerintah No 99 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

“Isunya justice colaborator akan dihapus sebagai syarat untuk dapat remisi. Jadi, un­tuk mendapatkan remisi hanya syarat berkelakuan baik dan telah menjalani sepertiga huku­man,” katanya.

ICW mendorong, para jaksa hendaknya menambahkan pen­cabutan hak terpidana yaitu tidak mendapatkan remisi di pengadilan tindak pidana korupsi.

Sumber: RMOL

Leave a Reply