Potensi Over-kriminalisasi Seorang Ibu dalam RKUHP
oleh: Riesta Aldila
Draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah mencapai versi siap untuk disahkan per September 2019 silam, akan tetapi masih ada pasal-pasal yang mengganjal di dalamnya. Salah satunya adalah kriminalisasi seorang Ibu yang terlihat di pasal-pasal berikut ini:
Pasal 436 dan Pasal 466 ayat (1) RKUHP, kriminalisasi seorang Ibu yang membuang dan merampas nyawa anaknya yang baru lahir
Pasal 436
Seorang ibu yang membuang atau meninggalkan anaknya tidak lama setelah dilahirkan karena takut kelahiran anak tersebut diketahui oleh orang lain, dengan maksud agar anak tersebut ditemukan orang lain atau dengan maksud melepas tanggung jawabnya atas anak yang dilahirkan, dipidana 1/2 (satu per dua) dari pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 435 ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 466 ayat (1)
(1) Seorang ibu yang merampas nyawa anaknya pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan, karena takut kelahiran anak tersebut diketahui orang lain dipidana karena pembunuhan anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.”
Rumusan yang ada dalam pasal-pasal tersebut mengandung unsur diskriminatif karena hanya mencantumkan frasa “seorang Ibu” sebagai pelaku tindak pidana membuang hingga merampas nyawa anaknya. Dari frasa tersebut juga diasumsikan hanya seorang ibu saja lah yang takut kelahiran anaknya diketahui orang lain, misalnya dalam kasus anak lahir di luar nikah.
Padahal faktanya, laki-laki atau seorang ayah yang menyebabkan kehamilan bisa juga mengalami ketakutan yang sama dengan seorang ibu. Namun karena frasa yang diskriminatif tadi, maka pasal-pasal di atas berpotensi untuk mengkriminalisasi seorang Ibu atau perempuan saja.
Pasal 469-471 RKUHP, kriminalisasi pengguguran kehamilan termasuk juga layanan kesehatan
Pasal 469
(1) Setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
(2) Setiap Orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan tanpa persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 470
(1) Setiap Orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.
Pasal 471
(1) Dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang membantu melakukan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 469 dan Pasal 470, pidana dapat ditambah 1/3 (satu per tiga).
(2) Dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang melakukan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf a dan huruf f.
(3) Dokter yang melakukan pengguguran kandungan karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap Korban perkosaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak dipidana.”
Ketiga pasal di atas memiliki potensi pemidanaan bagi penyedia layanan Kesehatan dan orang, termasuk anak dan juga remaja yang mengakses dan memberikan akses terhadap pengguguran kehamilan. Ketentuan dalam RKUHP ini tidak memberikan kejelasan terhadap pengecualian pemidanaan terhadap perempuan yang menggugurkan kandungannya atas indikasi kedaruratan medis atau bagi korban perkosaan.
Tentu selain bertentangan dengan UU Kesehatan yang memberikan perlindungan terhadap dua kondisi tersebut, kehamilan yang tidak diinginkan adalah risiko yang harus ditanggung perempuan bahkan juga anak perempuan, terutama jika kehamilan tersebut adalah akibat dari pemerkosaannya. Hal ini mengancam keamanannya dan berisiko pada Kesehatan jiwa, fisik serta nyawa baik bagi seorang Ibu maupun janin atau bayi yang dikandungnya.
Pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP ini secara tidak langsung menghilangkan hak konstitusional perempuan yaitu bebas dari perlakuan dikriminatif, perlu dipastikan Kembali apakah tujuan pengaturan hukum pidana ini nantinya akan memberikan perlindungan bagi seluruh rakyat Indonesia? Termasuk perempuan dan kelompok rentan lainnya.