Potret Kriminalisasi Pasca Reformasi dan Urgensi Reklasifikasi Tindak Pidana di Indonesia

Anugerah Rizki Akbari[1]

Tujuan utama studi ini adalah untuk mengeksplorasi praktik kriminalisasi di Indonesia dari 1998-2014 dengan menginvestigasi kecenderungan pemerintah Indonesia untuk mengkriminalisasi perbuatan tertentu melalui undang-undang dari tahun ke tahun. Mengingat literatur tentang kriminalisasi di Indonesia sangat minim, temuan-temuan dalam studi ini akan berdampak signifikan, baik dalam konteks teoretis maupun empiris. Pertama, studi ini membuktikan tingginya kecenderungan pemerintah Indonesia untuk menggunakan hukum pidana dalam mengontrol perilaku masyarakat. Dari 563 undang-undang yang disahkan dalam periode ini, 154 di antaranya memiliki ketentuan pidana yang mengatur 1.601 tindak pidana di dalamnya. Setelah mengeluarkan 171 undang-undang yang murni disahkan untuk kepentingan administratif dari data, kecenderungan tersebut tampak semakin tinggi dimana hampir setengah dari undang-undang yang disahkan pada periode tersebut memiliki ketentuan pidana. Temuan ini sejalan dengan prediksi Garland[2] dan Miller[3] yang menyatakan bahwa sebagian besar pemerintah di dunia akan mengembangkan strategi kontrol sosial dengan menempatkan hukum pidana sebagai inti strategi tersebut.

Kedua, studi ini memperlihatkan fakta bahwa tingginya ketergantungan pemerintah Indonesia terhadap hukum pidana dalam mengontrol perilaku di atas lebih banyak digunakan untuk memperbarui tindak pidana yang telah ada dibandingkan untuk menciptakan tindak pidana baru. Dari 1.601 tindak pidana yang ditemukan dalam perundang-undangan Indonesia dari 1998-2014, 885 di antaranya merupakan tindak pidana yang telah ada sebelumnya sedangkan 716 sisanya merupakan tindak pidana baru yang ditemukan di 112 undang-undang. Meski demikian, studi ini mencatat bahwa tren menciptakan tindak pidana baru tersebut semakin nyata dari waktu ke waktu.

Jika dilihat dari jenis tindak pidana yang baru diciptakan tersebut, studi ini mendukung temuan riset yang dilakukan oleh Farmer[4], Hildebrandt[5], Husak[6], Lacey[7], dan Leigh[8], yang menyimpulkan bahwa sebagian besar dari kriminalisasi tersebut digunakan untuk menciptakan tindak pidana pelanggaran. Dalam konteks Indonesia, jenis tindak pidana pelanggaran ini ditemukan sebanyak 442 dibandingkan dengan 274 tindak pidana kejahatan yang juga ditemukan pada periode yang sama. Hal ini mengindikasikan tujuan kriminalisasi di Indonesia bukan untuk menyelesaikan masalah kriminalitas di Indonesia, melainkan untuk memaksa masyarakat untuk mematuhi aturan yang dibuat pemerintah. Selain itu, studi ini juga mencatat bahwa dokumen-dokumen internasional tidak terlalu banyak berpengaruh dalam proses kriminalisasi di Indonesia. Dari 716 tindak pidana baru tersebut, hanya 54 perbuatan yang dikriminalisasi dan berkaitan dengan kewajiban Indonesia dalam forum-forum internasional untuk mengkriminalisasi perbuatan tertentu dibandingkan dengan 662 tindak pidana yang lebih bernuansa domestik.

Selain dari kecenderungan untuk mengkriminalisasi perbuatan non-kriminal dari waktu ke waktu, studi ini juga menemukan sebuah fakta bahwa praktik kriminalisasi yang terjadi dari 1998-2014 juga disertai dengan pendekatan punitif melalui berbagai sanksi pidana yang diancamkan pada tindak pidana baru ini. Setidaknya tercatat bahwa pidana mati masih ditemukan dalam 1 kasus dan pidana penjara seumur hidup diancamkan pada 7 tindak pidana. Selain itu, pidana penjara selama waktu tertentu, baik yang berdiri sendiri sebagai sanksi tunggal maupun diancamkan bersama dengan pidana denda, menjadi bentuk sanksi pidana yang paling sering diancamkan kepada tindak pidana baru tersebut dan ditemukan terjadi sebanyak 649 kasus, diikuti dengan pidana kurungan yang hanya ditemukan pada 53 tindak pidana dan pidana denda di tempat terakhir dengan 14 tindak pidana. Sebagai tambahan, Indonesia juga lebih tertarik untuk mengancam perbuatan kriminal tersebut dengan pidana penjara yang berkisar antara 1 hari sampai dengan 5 tahun. Temuan ini juga diikuti dengan dikenalkannya sistem pidana minimum khusus pada 219 tindak pidana, yang mengakibatkan pelaku tindak pidana harus menjalani batas minimum pidana yang ditentukan dalam undang-undang apabila melakukan salah satu dari 219 tindak pidana ini. Untuk melengkapi pendekatan punitif yang diambil oleh Indonesia, mekanisme hukum pidana tetap diperkenalkan sebagai jalur penyelesaian sengketa pada 279 tindak pidana meskipun undang-undang tersebut telah memperkenalkan jalur khusus untuk menyelesaikan sengketa dimaksud.

Melihat pada kondisi-kondisi di atas, menjadi rasional untuk kemudian menyatakan bahwa Indonesia memiliki keyakinan tinggi terhadap hukum pidana, dengan berbagai elemen koersif yang dimilikinya, untuk menjamin kontrol secara efektif atas perilaku masyarakat. Akan tetapi, kondisi yang terjadi di Indonesia tidak se-intens seperti apa yang terjadi di AS dan Inggris. Jika dibandingkan dengan fenomena just desert crime policies dan expressive justice, sebagai contoh Sex Offenders Notification Laws di AS dan Pedophile Registration Laws di Inggris, situasi di Indonesia sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan keduanya. Jika mengingat temuan-temuan di atas yang menyatakan bahwa sebagian besar dari praktik kriminalisasi di Indonesia digunakan untuk menciptakan tindak pidana pelanggaran, dapat dikatakan bahwa tujuan untuk menggunakan mekanisme hukum pidana sebagai strategi kontrol sosial Indonesia, paling tidak di level legislasi, adalah untuk memastikan masyarakat Indonesia patuh terhadap aturan yang telah diundangkan dan bukan untuk menyelesaikan masalah kriminalitas. Meminjam kata-kata Ana Aliverti[9], pada akhirnya begitu meledaknya jumlah tindak pidana pelanggaran di perundang-undangan tersebut hanya digunakan sebagai ‘tuas atau alat cadangan’ untuk memastikan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum yang berlaku.

Meski demikian, Husak[10] telah mengingatkan pemerintah di berbagai dunia bahwa pilihan untuk menggunakan hukum pidana sebagai strategi kontrol sosial akan berakibat pada terciptanya banyak ketidakadilan dalam praktik. Dengan jumlah tindak pidana baru yang diciptakan selama 17 tahun terakhir mencapai angka 716, menjadi sangat tidak mungkin bagi siapapun di Indonesia, bahkan untuk anggota DPR dan penegak hukum, untuk mengingat jenis-jenis perbuatan yang telah dikriminalisasi dalam 112 undang-undang tersebut. Sebagai konsekuensinya, Husak[11] berpendapat bahwa akan sangat mungkin terjadi suatu kondisi dimana calon pelaku tindak pidana tidak terinformasikan dengan baik bahwa apa yang akan dilakukannya dilarang oleh hukum pidana Indonesia. Selain itu, sebagaimana telah dikritisi oleh Garland[12], Husak[13] menambahkan bahwa praktik kriminalisasi juga hampir pasti disertai dengan diberikannya tambahan kewenangan kepada kepolisian untuk menahan seseorang dalam kondisi-kondisi tertentu. Dengan melihat pada kondisi tersebut, menjadi sangat logis untuk memprediksi bahwa kemungkinan terjadinya penahanan yang tidak sah terhadap warga negara akibat kriminalisasi yang tidak terkontrol menjadi semakin tinggi. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu memikirkan temuan-temuan ini secara serius dan meninjau ulang ‘strategi’ yang mereka lakukan serta mulai mengembangkan cara-cara yang lebih rasional untuk mendorong masyarakat mematuhi aturan yang dibuatnya.

Di sisi lain, studi ini juga memperlihatkan bahwa praktik kriminalisasi di Indonesia tidak sepenuhnya sesuai dengan prinsip proporsionalitas yang berkembang dalam hukum pidana. Hal ini terlihat ketika sifat tindak pidana dan berat-ringannya sanksi pidana dari tindak pidana yang baru diciptakan pada periode 1998-2014 tersebut dibandingkan satu sama lain dan juga dibandingkan dengan tindak pidana yang ada di dalam KUHP. Pada saat yang sama, diperkenalkannya sistem pidana minimum khusus dan digunakannya bentuk sanksi kumulatif dalam perundang-undangan ini mengaburkan tatanan keseriusan tindak pidana yang telah ada mengingat keduanya memiliki sistem pemidanaan yang berbeda dengan apa yang telah diatur KUHP. Selain itu, banyaknya jumlah tindak pidana pelanggaran yang dikriminalisasi pada periode ini menunjukkan rendahnya tingkat keseriusan tindak pidana yang baru diciptakan tersebut. Lebih lanjut, hal ini juga diikuti dengan semakin beratnya sanksi pidana yang diancamkan pada tindak pidana ini, yang tentu semakin merusak tatanan keseriusan tindak pidana yang dimiliki selama ini. Sebagai konsekuensinya, reklasifikasi tindak pidana perlu dilakukan apabila Indonesia ingin memiliki hukum pidana yang lebih baik.

Sehubungan dengan hal tersebut, Indonesia dapat belajar dari sistem klasifikasi tindak pidana yang dimiliki KUHP dalam memetakan keseriusan tindak pidana dan berat-ringannya sanksi pidana. Untuk melakukan hal tersebut, pertama-tama, Indonesia perlu memiliki definisi yang jelas tentang keseriusan tindak pidana dengan memperhatikan tiga hal esensial dalam kriminalisasi, yaitu harms, wrongs, dan paternalism.[14] Sebagai contoh, klasifikasi tindak pidana dapat dibagi ke dalam empat kelompok, yaitu tindak pidana paling serius, tindak pidana serius, tindak pidana biasa, dan tindak pidana yang tidak serius. Selanjutnya, berat-ringannya sanksi pidana yang akan diancamkan pada tindak pidana harus memiliki sistem yang sama. Oleh karena itu, penghukuman atas suatu tindak pidana yang tidak serius harus lebih ringan jika dibandingkan dengan tindak pidana yang berada dalam kategori ‘tindak pidana serius’, begitu juga sebaliknya.[15] Selain itu, perbuatan-perbuatan non-kriminal yang akan dikriminalisasi di masa yang akan datang juga harus mengikuti sistem ini demi memiliki sebuah sistem hukum pidana yang tertata dengan baik, tidak terkecuali untuk tindak pidana pelanggaran. Dengan kata lain, kriminalisasi dengan produk tindak pidana pelanggaran tetap diperbolehkan sepanjang sanksi pidana yang diancamkan terhadapnya tidak mengacaukan tatanan keseriusan tindak pidana dan berat-ringannya sanksi pidana yang telah dijelaskan sebelumnya.

Di luar kepentingan untuk melakukan reklasifikasi tindak pidana, studi mengenai topik ini di masa depan harus bisa memberikan sumbangsih teoretis dan praktis dengan menginvestigasi area-area kriminalisasi yang belum disentuh oleh studi ini. Sebagai contoh, dengan melihat jangka waktu dalam studi ini yang terbatas pada 1998-2014, penelitian-penelitian selanjutnya dapat menganalisis praktik kriminalisasi sejak awal masa kemerdekaan Indonesia untuk memperoleh gambaran utuh mengenai hal tersebut dan lebih leluasa untuk membandingkan kecenderungan pemerintah Indonesia untuk menggunakan hukum pidana dalam mengontrol perilaku masyarakat dari berbagai rezim politik. Sebagai tambahan, penelitian berikutnya dapat menggunakan data-data penegakan hukum sebagai tambahan informasi dalam melihat intensitas penegakan hukum atas tindak pidana yang baru diperkenalkan tersebut. Yang paling penting, penelitian-penelitian lanjutan harus dapat menciptakan database mengenai tindak pidana di Indonesia yang bisa dikelola secara terus-menerus. Dengan memiliki database tersebut, peneliti, akademisi, pemerhati hukum pidana, dan berbagai pihak yang memiliki ketertarikan terhadap isu kriminalisasi dapat memonitor dan mengevaluasi kinerja Pemerintah dan DPR dalam menggunakan wewenangnya untuk menciptakan tindak pidana baru dan yang lebih esensial, dapat terus mengkritisi keduanya untuk tidak mengeksploitasi hukum pidana secara berlebihan sehingga hukum pidana dapat ditempatkan di tempat yang seharusnya, yaitu sebagai jalur terakhir untuk menyelesaikan permasalahan hukum di Indonesia.

[1] Penulis adalah anggota Bidang Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan segala komplain terhadap tulisan ini dapat ditujukan kepada penulis melalui alamat email: anugerah.rizki.akbari@hotmail.com

[2] Garland, op.cit.

[3] Miller, op.cit.

[4] Lindsay Farmer, “The obsession with definition: The nature of crime and critical legal theory” dalam Social & Legal Studies, 5, 57-73.

[5] Hildebrandt, op.cit.

[6] Husak (1), op.cit.

[7] Lacey, op.cit.

[8] Leigh, op.cit.

[9] Ana Aliverti, “Making people criminal: The role of criminal law in immigration enforcement” dalam Theoretical Criminology, 16(4), 417-434.

[10] Husak (1), op.cit.

[11] Ibid.

[12] Garland, op.cit.

[13] Husak, op.cit.

[14] Andrew Simester dan Andreas von Hirsch, Crimes, Harms, and Wrongs on the Principles of Criminalisation, (Oxford and Portland: Hart Publishing, 2011).

[15] Von Hirsch, op.cit.

No Comments

Leave a Reply