Rumusan Perkosaan dalam R KUHP Harus Diperluas
Pembahasan RKUHP di DPR pada tanggal 14 Desember 2016, telah sampai pada Bab XVI tentang Tindak Pidana Kesusilaan. Tindak Pidana Perkosaan termasuk salah satu jenis kejahatan yang diatur dalam bab ini. Hingga saat ini, rumusan perkosaan masih diartikan sempit, yaitu terbatas pada “memaksa seorang wanita bersetubuh di luar perkawinan yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan”. Rumusan Pasal 285 KUHP ini menimbulkan banyak masalah dalam praktiknya. Oleh karena itu, RKUHP kemudian menawarkan rumusan baru yakni ketentuan yang diatur dalam Pasal 491 RKUHP7 yang berbunyi:
1) Dipidana karena melakukan tindak pidana perkosaan, dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun:
- laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut;
- laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, tanpa persetujuan perempuan tersebut;
- laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai;
- laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yang sah;
- laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun, dengan persetujuannya; atau
- laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
2) Dianggap juga melakukan tindak pidana perkosaan, jika dalam keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
- laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan; atau
- laki-laki memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan.
3) Jika salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 491 mengakibatkan luka berat atau mengakibatkan matinya orang maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
Akan tetapi, rumusan tersebut diatas masih terdapat kelemahan terutama :
Pertama, Pengaturan perkosaan dalam R KUHP terkait kosep non competent consent tidak diatur secara komperehensif. Konsep dari non competent consent berangkat dari asumsi bahwa setiap tindakan harus dilakukan dengan kesadaran penuh atas tindakan yang dilakukannya. Maka pada saat seseoarang menyetujui akan suatu tindakan, maka pihak yang menyetujui harus mempunyai suatu kompetensi bahwa dirinya adalah pihak yang cakap didepan hukum. Contohnya, adalah anak (dibawah 18 tahun), yang dikategorikan sebagai pihak yang tidak dapat membuat suatu keputusan, sehingga persetujuan yang diberikannya tidak menghilangkan terjadinya tindak pidana perkosaan. Terkait perkosaan anak (statutory rape) R KUHP telah cukup mengaturnya dalam pasal 491 ayat (1) huruf e. Namun, RKUHP tidak memasukkan penyandang disabilitas intelektual sebagai bagian dari non competent consent. Mappi dan Aliansi merekomendasikan agar perumus RKUHP menambahkan subjek hukum lain yang dianggap sebaga bagian dari non competent consent
Kedua, KUHP telah mencoba memperluas elemen perkosaan dengan mencantumkan di pasal 491 ayat (2) yakni melakukan tindak pidana perkosaan, termasuk pula jika, laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan; atau laki-laki memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan. perluasan Ini merupakan suatu kemajuan, namun rumusan ini masih terbatas, R KUHP lupa memasukkan elemen tambahan yakni “ laki-laki memasukkan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan”. Penambahan ini cukup penting untuk memperluas elemen perkosaan.
Ketiga, Pada Pasal 491 ayat (1) pembuat RKUHP masih menggunakan istilah persetubuhan. Yang sebenarnya sudah tidak dipergunakan di banyak negara. Sekalipun pada 491 ayat (2) pembuat RKUHP memperluas akan makna perkosaan, akan tetapi penggunaan istilah pada Pasal 491 ayat (1) sebaiknya sudah harus diganti dengan istilah “penetrasi seksual”. Hal ini dikarenakan jika pembuat RKUHP masih mempertahankan akan istilah persetubuhan, maka pembuat secara konsekuen harus menjelaskan, sejauh mana suatu perbuatan dikategorikan sebagai persetubuhan. Dalam beberapa literatur hukum pidana klasik dan putusan Majelis Hakim mengungkapkan persetubuhan harus dimaknai dengan masuknya penis ke dalam vagina sampai dengan mengeluarkan air mani. Padahal dalam berbagi ketentuan internasional sudah menggunakan istilah penetrasi seksual yang ditafsirkan “penetration, no matter how slight”, bukan sesempit persetubuhan semata yang dimaknai dalam literatur pidana klasik dan Putusan Majelis Hakim