Sejak 2017, MK Sudah Serukan DPR untuk Atur LGBT di KUHP

Jakarta – Isu lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) dalam konten YouTube Deddy Corbuzier masih menjadi sorotan. Lima tahun lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memerintahkan DPR untuk segera mengatur LGBT dalam hukum Indonesia.
Sebagaimana dikutip detikcom dari putusan MK, Rabu (11/5/2022), perintah itu dituangkan dalam Putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016 yang diketok pada 2017. Putusan itu atas permohonan pemohon yang merupakan guru besar IPB Bogor, Prof Euis Sunarti dkk.

Para pemohon meminta agar MK meluaskan makna zina yaitu semua hubungan seks di luar pernikahan dikenai pidana. Termasuk pula hubungan sesama jenis agar bisa diatur di KUHP. Salah satu alasan menggugat ke MK karena pemohon menilai RUU KUHP di DPR sangat lama. Bahkan sejak 50 tahun silam. Apa kata MK?

“Argumentasi bahwa proses pembentukan undang-undang memakan waktu lama tidak dapat dijadikan alasan pembenar bagi Mahkamah untuk mengambil-alih wewenang pembentuk undang-undang,” demikian pertimbangan MK.

Lagi pula, menghilangkan frasa tertentu dan/atau menambahkan pemaknaan baru terhadap suatu norma hukum pidana, yang berarti mengubah pula sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) perbuatan itu, tanpa melakukan perubahan atau penyesuaian dalam ancaman pidana (strafmaat)-nya dan bentuk pengenaan pidana (stafmodus)-nya tidaklah dapat diterima oleh penalaran hukum dalam merancang suatu norma hukum pidana karena hal itu melekat pada jenis atau kualifikasi perbuatan yang dapat dipidana atau tindak pidana (strafbaarfeit) yang bersangkutan.

“Bahwa dengan seluruh pertimbangan di atas bukanlah berarti Mahkamah menolak gagasan “pembaruan” para Pemohon sebagaimana tercermin dalam dalil-dalil permohonannya. Bukan pula berarti Mahkamah berpendapat bahwa norma hukum pidana yang ada dalam KUHP, khususnya yang dimohonkan pengujian dalam Permohonan a quo, sudah lengkap,” ujar MK.

Mahkamah hanya menyatakan bahwa norma pasal-pasal dalam KUHP yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo tidak bertentangan dengan UUD 1945.

“Perihal perlu atau tidaknya dilengkapi, hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang melalui kebijakan pidana (criminal policy)-nya yang merupakan bagian dari politik hukum pidana. Oleh karena itu, gagasan pembaruan yang ditawarkan para Pemohon seharusnya diajukan kepada pembentuk undang-undang dan hal tersebut seharusnya menjadi masukan penting bagi pembentuk undang-undang dalam proses penyelesaian perumusan KUHP yang baru,”

Putusan MK itu tidak bulat. Empat hakim konstitusi, hakim konstitusi Arief Hidayat, hakim konstitusi Anwar Usman, hakim konstitusi Wahiduddin Adams, dan hakim konstitusi Aswanto menyatakan sebaliknya. Keempatnya memulai dengan pijakan argumen bahwa Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan UUD 1945

Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

“Pasal 284 KUHP (perzinaan-red) yang mengatur delik overspel pada hakikatnya sangat dipengaruhi filosofi dan paradigma sekuler-hedonistik yang menjadi hegemoni pembentukan norma hukum di Eropa pada masa silam yang tentunya sangat berbeda dengan kondisi sosiologis masyarakat di nusantara, baik secara historis jauh sebelum dilakukannya konkordansi Wetboek Van Strafrecht oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun dalam konteks kekinian di negara Republik Indonesia,” ujar Arief Hidayat.

Ruang lingkup Pasal 284 KUHP sejatinya (hanya) meliputi kriminalisasi dan penalisasi terhadap perbuatan overspel (Echtbreuk, de Schending van de huwelijkstrow/pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan). Sehingga sifat ketercelaan (verwijtbaarheid) delik overspel sebagai persetubuhan di luar perkawinan dalam Pasal 284 KUHP adalah hanya karena perbuatan tersebut dianggap merusak kesucian dan keutuhan lembaga perkawinan.

“Paradigma dan filosofi sebagaimana tersebut di atas jelas mempersempit, bertentangan, dan sama sekali tidak memberi tempat bagi nilai agama, sinar ketuhanan, serta nilai hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia (living law) yang memandang bahwa sifat ketercelaan (verwijtbaarheid) dari persetubuhan di luar perkawinan sejak dahulu di bumi nusantara sejatinya lebih luas, yakni termasuk juga karena perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai agama serta living law masyarakat Indonesia, sebab menurut nilai agama dan living law yang hidup dan berkembang di masyarakat Indonesia dari dulu hingga kini (minus Pasal 284 KUHP),” papar Arief Hidayat.

Bagaimana nasib KUHP di DPR kini? Pada Oktober 2019, DPR mengesahkan RUU KUHP di Tingkat I, termasuk di dalamnya mengatur LGTB. Tapi RUU ini kunjung disahkan di Tingkat II karena ditolak mahasiswa. Kini RUU itu teronggak di DPR.

Baca berita selengkapnya di sini

Leave a Reply